7 Contoh Cerita Puasa Ramadhan untuk Anak SD yang Berkesan hingga Memotivasi

2 days ago 10

Jakarta -

Ramadhan selalu membawa kehangatan dan kebersamaan, terutama bagi anak-anak yang sedang belajar berpuasa. Bagi Si Kecil, pengalaman puasa pertama merupakan momen istimewa yang penuh dengan rasa ingin tahu, tantangan, dan kebanggaan.

Kemudian, momen-momen tersebut dirangkai menjadi cerita yang menarik tentunya. Cerita merupakan jendela bagi anak untuk memahami nilai-nilai kehidupan, termasuk makna puasa Ramadhan. Melalui kisah-kisah yang menyentuh, mereka bisa belajar tentang kesabaran, kebaikan hati, serta kebersamaan dalam berbagi.

Tidak hanya itu, cerita puasa Ramadhan juga dapat menjadi motivasi bagi mereka untuk menjalani ibadah dengan lebih semangat, tanpa merasa terbebani. Bayangkan seorang anak yang awalnya ragu untuk berpuasa, tetapi setelah mendengar kisah inspiratif tentang teman sebayanya yang berhasil menjalani Ramadhan dengan penuh kegembiraan, ia pun merasa termotivasi.

Hal ini menjadi kekuatan cerita membantu anak-anak memahami bahwa puasa bukan sekadar menahan lapar dan haus, tetapi juga melatih keikhlasan, keuletan, serta empati terhadap sesama. Cerita puasa Ramadhan untuk anak Sekolah Dasar (SD) juga bisa dikemas dengan cara yang menyenangkan.

Mulai dari kisah anak-anak yang berbagi takjil dengan tetangga, pengalaman seru menahan godaan di siang hari, hingga cerita tentang keberkahan sahur dan berbuka bersama keluarga. Dengan pendekatan yang ringan dan menggugah, anak-anak akan lebih mudah menyerap makna dari setiap pengalaman yang mereka jalani.

Di samping itu, Bunda juga dapat memberikan contoh cerita puasa Ramadhan yang menarik dan memotivasi Si Kecil. Lantas, seperti apa cerita Ramadhan yang seru dan menggugah semangat puasa?

7 Contoh cerita puasa ramadhan untuk anak SD yang berkesan hingga memotivasi

Dikutip buku Kumpulan Cerita Anak Hebat oleh Khanifah, Inez Kriya J terdapat contoh cerita puasa Ramadhan untuk dibacakan pada Si Kecil.

1. Puasa pertamaku

"Kamu puasa ya, Rey?" tanya Diki padaku.

"Iya dong," jawabku bangga.

Saat ini jam istirahat sekolah. Sebenarnya aku belum pernah puasa seperti sekarang ini. Aku masih duduk di kelas 3 SD. Ramadhan tahun lalu aku hanya ikut makan sahur, tapi aku buka puasa setelah pulang sekolah. Demikian juga dengan kemarin, aku puasa setengah hari. Kalian tentu tahu arti dari puasa setengah hari itu.

Hanya saja kemarin, hari pertama Ramadhan aku malu pada teman-temanku. Semua teman di sekolah baruku ini berpuasa hingga maghrib, sedangkan aku sudah buka puasa pulang sekolah. Mereka mengolokku karena badanku besar, tapi tidak mau puasa.

"Percuma aja badan besar, tapi nggak puasa. Anak-anak yang kurus aja pada kuat puasa," demikian olokan beberapa temanku. Walau jengkel mendengarnya, aku menerima olokan itu. Aku jadi malu karena belum bisa puasa seharian hingga maghrib.

Apalagi aku dan keluargaku baru pindah ke kota Bukittinggi. Papaku pindah tugas ke kota ini. Jadi kami sekeluarga juga ikut pindah bersama Papa. Kota Bukittinggi ini memang sangat terkenal dengan masyarakat. Muslimnya yang taat menjalankan ibadah. Padahal Papa dan Mama sudah mengingatkan agar aku mencoba puasa seharian. Sayangnya aku tidak kuat. Ketika azan zuhur bergema kemarin, aku langsung memohon pada Mama untuk membatalkan puasaku.

Tapi hari ini aku bertekad untuk puasa seharian penuh. Pertama karena malu pada teman-temanku, dan yang kedua karena aku senang melihat semua orang di sini berpuasa. Jadi tidak akan ada godaan dari orang yang makan dan minum di dekatku.

Oh ya, ada yang unik saat Ramadhan di kota Bukittinggi yang tidak kutemui di Jakarta. Aku mendengar raungan sirine yang menandakan sudah datang waktu imsak dan berbuka puasa. Sirine itu berasal dari Jam Gadang peninggalan penjajah Belanda dulu. Awalnya aku cukup kaget mendengarnya. Tapi setelah dijelaskan Mama dan Papaku, aku menjadi mengerti. Suara sirine itu menjadi waktu yang ditunggu-tunggu. Menurutku ini sangat keren!

"Nanti kita beli pabukoan yuk!" suara Diki membuyarkan lamunanku.

"Ayo! Nanti jemput aku ya," sahutku sambil membayangkan makanan buat buka puasa nanti. Orang Minang menyebut makanan atau jajanan buka puasa dengan kata pabukoan.

Kemarin Diki juga mengajakku untuk membeli jajanan buka puasa di pasar. Hmmm semua jajanan yang terlihat sangat mengundang seleraku untuk segera mencicipinya. Aku sempat membeli beberapa untuk kumakan di rumah.

Itu juga alasan mengapa hari ini aku ikut puasa seperti teman-temanku yang lain. Apalagi Mama berjanji akan memberi uang jajan lebih untuk membeli pabukoan jika aku puasa seharian. Aku sudah membayangkan pasti akan sangat mengasyikkan sekali jika bisa berbuka puasa bersama teman-temanku.

"Ayo kita ke pasar untuk membeli makanan buat buka puasa," Diki sudah berada di rumahku sore itu.

Bersama beberapa temanku yang lain aku pun pergi ke pasar tempat jajanan buka puasa dijual. Ramai sekali Pasar Atas sore itu. Banyak orang tua dan muda serta anak-anak yang ingin membeli pabukoan. Ada lemang tapai, aneka kolak, bubur kampiun, kripik sanjay dan masih banyak lagi. Semua makanan itu sangat menggiurkan. Aku membeli bubur kampiun dan kripik balado untuk buka puasa nanti.

Setelah membeli beberapa jajanan yang aku inginkan, kami pun jalan-jalan di sekitar Jam Gadang sambil menunggu sirine berbunyi. Kalau di Jakarta, dulu teman-temanku menyebutnya dengan ngabuburit. Jalan-jalan menjelang buka puasa.

Rumah kami hanya berjarak 100 meter dari Jam Gadang ini. Aku dan teman-temanku berkeliling taman Jam Gadang untuk sekadar melihat-lihat kegiatan orang di taman itu. Ada yang berjualan mainan anak-anak, mengamen, berfoto bersama badut di taman Jam Gadang. Dan masih banyak lagi kegiatan mereka.

Setelah puas berkeliling, kami melihat jarum Jam Gadang yang sudah mendekati waktu berbuka puasa. Kami pun bergegas pulang. Sepuluh menit kemudian, kami sudah sampai di rumah masing-masing. Mama dan Papa sudah duduk di ruang keluarga. Di atas meja makan sudah terhidang makanan untuk buka puasa. Baru saja aku meletakkan kantong belanjaanku di atas meja makan. Tiba-tiba suara sirine terdengar.

"Nguuuuuung... nguuuuuung..."

Papa dan Mama langsung mengajakku berbuka puasa. Mereka memintaku untuk membaca doa berbuka.

"Allaahumma laka shumtu, wa bika aamantu, wa 'ala rizqika afthartu. Birahmatika yaa arhamar raahimiin..." ucapku bersemangat. Aku lalu meminum teh manis yang sudah disiapkan Mama. Setelah itu dengan semangat aku menyantap makanan yang aku beli di pasar tadi. Rasanya aku akan menghabiskan semua makanan ini. Karena semua makanan itu terlihat menggiurkan. Apalagi perutku sangat lapar, karena seharian tidak diisi.

Aku memang suka makan. Itulah sebabnya badanku lumayan gemuk dan besar. Itu juga sebabnya aku tidak mau puasa seharian, karena takut kelaparan. Tapi setelah menjalankan puasa hari ini, aku merasa bangga karena berhasil menahan lapar.

"Rey, makannya sedikit saja dulu, nanti setelah shalat maghrib, baru makan lagi," ujar Mama memperingatkanku. Perutku yang sudah seharian menahan lapar membuat aku tidak memperdulikan nasehat Mama. Aku tetap saja memakan semua jajanan itu. Semuanya licin tandas dalam beberapa menit saja. Kenyaaang... aku mengusap perutku yang kembali penuh. Tapi, tiba-tiba perutku sakit sekali.

"Aduh! Perutku sakit, Ma!" teriakku menahan sakit. Entah mengapa rasanya semua makanan yang baru saja kumakan serasa ingin keluar lagi. Perutku terasa sangat mual. Dengan sekuat tenaga aku menahan agar aku tidak muntah. Mama terlihat cemas. Beliau segera mengoleskan minyak kayu putih di perut dan punggungku.

Sayangnya rasa mulai itu benar-benar tidak bisa kutahan. Makanan yang ada dalam perutku seolah mendesak tenggorokanku minta dikeluarkan. Karena tidak tahan lagi, akhirnya makanan yang baru beberapa menit berada di dalam perutku keluar lagi. Oeek! Aku pun muntah! rasanya sangat tidak enak. Air mataku sampai keluar ketika muntah tadi. Sakiiit sekali.

"Mama tadi sudah mengingatkan kamu agar makannya sedikit dulu. Tapi kamu tidak mendengarkan peringatan Mama. Perut kamu yang kosong tadi kaget menerima makanan sebanyak itu," Mama memikit punggungku.

Dengan suara lemah aku minta maaf kepada Mama dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Aku terpaksa tidak ikut shalat tarawih di mesjid karena aku masih lemah. Sayup-sayup aku mendengar ceramah ustadz dari masjid dekat rumahku.

"Sebenarnya puasa itu menyehatkan dan menyembuhkan berbagai penyakit," ujar sang ustadz.

Benarkah puasa bisa membuat kita sehat? Kalau memang demikian kenapa tadi aku muntah sewaktu berbuka puasa? Batinku.

"Contohnya, jika kita punya penyakit lambung atau yang biasa disebut sakit mag, maka dengan berpuasa Insya Allah penyakit mag ringan akan dapat sembuh dengan sendirinya. Karena saat berpuasa, kita akan makan secara teratur, saat sahur dan setelah magrib. Karena teraturnya pola makan kita selama bulan Ramadhan, dengan sendirinya lambung pun menyesuaikan diri dengan kebiasaan makan kita yang teratur itu. Sehingga penyakit yang semula ada menjadi hilang dengan sendirinya," jelas ustadz panjang lebar.

"Tentunya kita harus makan dengan porsi yang tidak berlebihan, karena Allah tidak suka dengan segala sesuatu yang berlebihan," tambah ustadz lagi.

Ooo pantas saja tadi aku muntah. Benar kata Mama, kalau berbuka itu kita sebaiknya makan sedikit dulu. Setelah lambung kita sudah siap untuk bekerja, barulah kita makan lagi tentunya tidak berlebihan. Aku jadi mengerti sekarang.

2. Mukena untuk Mutia

Dikutip dari buku Cerita Ceria Ramadhan oleh Manshurin Writers terdapat contoh cerita puasa Ramadhan untuk dibacakan pada Si Kecil.

Karya: Fitriyah Suryadini

Imam sudah bersiap memulai untuk shalat Tarawih, tapi batang hidung Mutia belum muncul juga.

Sudah 10 hari Ramadhan Mutia dan Tania selalu shalat berjamaah di masjid. Mereka ingin meraih keutamaan shalat Tarawih yang hanya datang setahun sekali.

"Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan (shalat Tarawih) karena imam dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni." (HR. Bukhari dan Muslim)

"Kenapa Mutia tidak datang, padahal kami sudah berjanji shalat Tarawih penuh selama Ramadhan ini? Apakah dia sakit?" Tania bertanya dalam hati.

Setiap selesai salam, Tania celingak-celinguk ke belakang. Dia berharap melihat Mutia, sahabatnya yang selalu ceria dan bersemangat. Namun, sampai shalat Tarawih selesai Mutia tak kunjung datang.

Tania pulang dengan penuh tanya. Sebenarnya, dia ingin sekali segera pergi ke rumah Mutia untuk mencari tahu kabar sahabatnya. Namun, dia ingat tugas mengemas baju-baju pesanan Bu Lurah ke dalam plastik bening belum selesai dikerjakannya.

Keesokan hari, setelah matahari terbit dan mulai menampakkan cahaya langit yang berwarna merah dan oranye keemasan, Tania meminta izin kepada ibunya yang sedang menjahit.

"Ibu, setelah mengantar baju Bu Lurah, aku ke rumah Mutia, ya."

"Iya, tapi jangan lama-lama ya, biar bisa bantu membersihkan rumah."

"Siap!" Tania bergegas mengambil sepeda merah kesayangannya, kemudian mengayuh pedal dengan cepat menuju rumah Bu Lurah. Setelah itu dia melanjutkan perjalanan ke rumah Mutia. Sesampainya di rumah Mutia, dia pun mengucapkan salam.

"Assalamualaikum, Mutia."

"Waalaikumsalam, Tania. Pagi-pagi sekali kamu ke sini. Ada apa?"

"Aku penasaran kenapa kamu tidak Tarawih di masjid tadi malam? Apakah kamu sakit?"

"Oh ... a ... ku ... engga apa-apa, lagi malas aja."

Tania merasakan ketidakjujuran dari cara Mutia berbicara. Hati kecil Tania juga tidak percaya alasan sahabatnya. Selama ini Mutia paling rajin dan selalu jadi teladan yang baik bagi teman-teman sebayanya.

"Kamu jangan bohong!"

Tiba-tiba, Mutia memucat. Dia menunduk, napasnya terdengar berat. Tak lama, bulir-bulir air mata membasahi pipinya.

"Kamu kenapa?" Tania terkejut dan bingung ketika Mutia menangis tersedu.

"Selama ini banyak yang menertawakanku karena aku memakai mukena yang usang. Tadi malam ketika akan berangkat shalat Tarawih mukenaku tersangkut di pagar dan sobek," ujar Mutia.

Mutia lalu melanjutkan. "Aku enggak tahan melihat orang lain memandangku rendah, Tania. Rasanya enggak pengin keluar dan shalat Tarawih di masjid lagi. Mending aku shalat di rumah saja."

Hati Tania ikut sedih. Hanya karena Mutia memiliki mukena yang tidak lagi bagus, mereka tidak bisa pergi bersama ke masjid. Padahal mereka berjanji untuk berlomba-lomba mencari ridha Allah, melalui shalat Tarawih yang hanya ada di bulan Ramadhan.

"Bagaimana ya caranya aku bisa memberi mukena baru buat Mutia," gumamnya dalam hati.

Tania ingat punya tabungan, hasil dari menyisihkan uang jajan yang diberikan ibunya. Tapi, karena pemberlakuan pembelajaran tatap muka terbatas, uang jajannya pun ikut terbatas dan tidak akan cukup untuk membeli mukena baru.

"Bu, maukah Ibu memberi mukena baru untuk Mutia? Mukenanya robek dan ada noda yang tidak bisa hilang." Tania mencoba meminta ibunya dengan penuh harap dan cemas. Dia tahu kondisi keuangan orang tuanya saat pandemi ini juga mengalami krisis.

"Kamu baik sekali ingin berbagi pada sahabat yang membutuhkan, hanya saja pengeluaran Ibu meningkat di bulan Ramadhan ini karena harga-harga bahan pokok naik dan pesanan jahitan sedang sepi."

Tania hanya bisa terdiam, rasa sedih masih menyelimuti hatinya. Dia tidak berani memaksa.

"Tania, kamu ingat burung bughat?" tanya Ibu.

Tania kembali teringat kisah burung bughat yang pernah ibunya ceritakan.

Burung bughat adalah anak burung kecil malang yang baru menetas dari telur. Dia tidak memiliki kemampuan bertahan hidup, tapi sudah ditinggal induknya.

Allah Yang Maha Pemberi Rezeki menanggung rezekinya dengan mengeluarkan aroma tertentu dari tubuh bughat, sehingga mengundang datangnya serangga ke sarangnya untuk jadi makanan.

Keadaannya terus seperti itu sampai warna si bughat berubah menjadi hitam, tanda bulunya sudah tumbuh. Ketika itu barulah gagak mengetahui bahwa bughat adalah anaknya dan dia pun mau memberinya makan sampai tumbuh dewasa untuk bisa terbang mencari makan sendiri.

Dari kisah burung bughat ini, Tania belajar bahwa ketika ingin sesuatu, maka kita hanya dapat meminta kepada Allah, Ar Razzaq, Sang Maha Pemberi Rezeki.

"Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezekinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. Al Ankabut: 60).

"Terima kasih, Bu. Alhamdulillah jazakillahu khairo sudah mengingatkan untuk meminta pada Allah. Semoga Mutia bisa punya mukena baru."

Tania segera mengambil air wudhu untuk mendirikan shalat Duha dua rakaat. Dia berdoa dan tidak lupa menyelipkan sebuah permohonan mukena baru untuk Mutia.

Selepas shalat, Tania teringat belum membantu ibunya membersihkan rumah. Dia pun mengambil sapu yang tergantung di balik pintu masuk rumahnya.

"Tania, sini duduk dulu di samping Ibu!" Ibu menepuk sofa kosong di sebelahnya, lalu mengambil HP dari atas meja.

Tania menghampiri Ibu dengan setengah termenung. Dia masih memikirkan cara mendapatkan mukena baru untuk Mutia.

"Ada apa, Bu?" tanya Tania pada ibunya yang sedang memainkan jari jempol di layar HP-nya.

"Ini ada pesan dari Bu Lurah, coba kamu baca dulu," Ibu menyodorkan ponselnya.

Rupanya Bu Lurah sedang membutuhkan bantuan untuk membagi-bagikan kotak nasi berbuka ke para tetangga di kompleks tempat tinggal mereka.

Wah, kebetulan! Bu Lurah terkenal sangat royal dan baik hati, sering memberi imbalan yang layak bagi orang-orang yang membantunya.

"Bolehkan aku membantu?" Tania meminta izin dan melihat senyum merekah dari bibir ibunya, tanda dia mendapatkan persetujuan.

"Terima kasih, Bu. Alhamdulillah jazakillahu khairo."

Tania segera menyapu dan kemudian beristirahat.

"Aku tidur siang sekarang agar nanti sore punya cukup tenaga untuk membantu Bu Lurah," gumamnya dalam hati.

Jam di dinding menunjukkan pukul enam belas tepat. Tania segera mengayuh sepedanya menuju rumah Bu Lurah. Sampai di sana dia melihat gerbang rumah Bu Lurah tertutup rapat dan tidak ada mobil terparkir di garasi.

"Kenapa tidak ada orang di rumah Bu Lurah? Mungkin sedang mengambil pesanan nasi kotak di rumah makan," pikir Tania dan dia memutuskan untuk menunggu.

Waktu berlalu. Matahari tidak lama lagi akan terbenam, tanda waktu berbuka puasa akan tiba. Namun, Bu Lurah belum juga pulang.

"Apakah aku salah membaca pesan dari Bu Lurah? Jangan-jangan tanggalnya salah, bukan hari ini?" Tania bertanya pada dirinya. Bosan menunggu, akhirnya Tania memutuskan pulang. Dia juga tidak ingin terlambat berbuka puasa. Dia pun pulang dengan kecewa. Harapannya mendapat uang untuk tambahan membeli mukena baru untuk Mutia sirna seketika.

Tania masuk ke rumah dan melihat ibunya sedang menjahit masker. Sejak pandemi, ibunya mencoba mendapatkan penghasilan tambahan dengan memanfaatkan kain perca yang menumpuk di sudut ruang jahitnya. Saat itu juga, tiba-tiba Tania mendapatkan ide.

Dia bisa memanfaatkan kain perca itu!

Tania yang baru saja mengucapkan salam, berpamitan lagi pada ibunya. Dia pergi ke rumah Mutia untuk mengambil mukena Mutia. Tania ingin merubah tampilan mukena tersebut dengan kreasi kain perca.

Setelah berbuka puasa, Tania mengambil potongan sisa kain jahitan ibunya. Kain itu digunting kecil-kecil dengan berbagai bentuk bangun datar, kemudian dijahit jelujur dengan rapi pada bagian mukena yang sobek dan ternoda.

Tidak butuh waktu lama, pekerjaannya pun selesai. Dengan semangat Tania pergi menjemput Mutia untuk shalat Tarawih.

Setelah berbuka puasa, Tania mengambil potongan sisa kain jahitan ibunya. Kain itu digunting kecil-kecil dengan berbagai bentuk bangun datar, kemudian dijahit jelujur dengan rapi pada bagian mukena yang sobek dan ternoda.

Tidak butuh waktu lama, pekerjaannya pun selesai. Dengan semangat Tania pergi menjemput Mutia untuk shalat Tarawih.

"Masya Allah, mukenaku jadi cantik sekali, Tania! Alhamdulillah jazakillahu khoiro!" seru Mutia, lalu memeluk Mutia.

"Amin. Sekarang kamu shalat Tarawih di masjid lagi, ya," pinta Tania. Dia senang karena akhirnya bisa memberi mukena dengan tampilan baru untuk Mutia.

Mutia mengangguk sambil tersenyum. Sejak saat itu, mereka pun shalat Tarawih berjamaah setiap hari hingga Ramadhan berakhir.

3. Khataman Pertama

Karya: Caritra Sari

"Mau sampai kapan kamu begini? Masa sudah kelas 7 SMP belum pernah khatam bacaan Al-Qur'an sama sekali?" tanya Bimo saat main ke rumah Dwi. Bimo adalah sahabatnya Dwi sejak kecil. Mereka sedang membicarakan tentang bulan Ramadhan yang akan datang.

Dwi lalu cemberut, kesal saat membandingkan dirinya dengan Bimo. Bimo itu sudah ikut kelas tahfiz dari kelas 1 SD. Bacaan Al Qur'annya lancar dan bagus. Sehari minimal dia membaca satu juz.

Sedangkan Dwi? Kemampuan membaca Al-Qur'an Dwi memang agak ketinggalan dari teman-teman sebayanya. Dia baru tamat pelajaran Iqra menjelang kelas 5 SD.

Saat membaca Al-Qur'an, dia sering tersendat. Membaca satu ayat saja bisa sampai lima menit. Karena itulah dia jadi malas membaca Al-Qur'an.

"Ya gimana mau khatam, baca satu halaman aja lama banget, Bim," keluh Dwi.

"Itu karena kamu enggak pernah nderes! Padahal harusnya kan sehari baca minimal tiga ayat. Udah, pokoknya mulai besok setiap hari kamu harus setoran bacaan Al-Qur'an," putus Bimo. Dia lalu menemani Dwi menemui Mas Irwan, mubalig yang mengajar di masjid dekat rumah. Mas Irwan bersedia untuk mengajar Dwi secara privat.

Ternyata Bimo benar. Setelah rutin membaca Al-Qur'an minimal satu lembar per hari, bacaan Dwi menjadi semakin lancar. Dalam waktu sebulan kemampuan bacaan Dwi meningkat pesat. Dari yang tadinya level C, akhirnya bisa naik menjadi level B.

"Nah, kamu masih punya PR, nih, Dwi. Minggu depan kan udah masuk Ramadhan. Ini kesempatan buat kamu untuk khatam. Al-Qur'an," kata Mas Irwan.

"Dengan sering menderes Al-Qur'an, Insya Allah bacaanmu juga akan semakin bagus. Semoga setelah Ramadhan kamu bisa naik ke level A, ya."

"Eh, tunggu dulu Mas. Jadi bulan Ramadhan nanti aku harus baca satu juz per hari?" tanya Dwi memastikan.

"Iya, dong. Kalau mau khatam ya minimal satu juz setiap harinya."

"Waduh. Tapi sekarang aku cuma bisa baca dua lembar per hari, Mas," gumam Dwi.

"Kalau membaca lebih banyak dari itu rasanya ngantuk!"

Mas Irwan tertawa. "Ya kalau belum kuat bacanya, jangan sekali duduk berharap dapat satu juz. Coba diatur waktunya, dicicil aja sampai bisa dapat satu juz."

Dwi mengangguk-angguk. Sebenarnya dia masih belum yakin, tapi dia ingin mencoba.

"Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah. Khataman Al-Qur'an di bulan Ramadhan itu pahalanya sangat besar. Jadi semangat, yaa!" ujar Mas Irwan sambil tersenyum.

Ramadhan pun tiba. Kali itu Dwi menyambut dengan semangat. Dia sudah siap dengan Al Qur'an kecilnya. Cetakannya tajam, bobotnya ringan, sampulnya berwarna merah. Itu adalah hadiah dari Bimo karena bacaan Dwi sudah naik level.

"Pokoknya setiap hari harus baca satu juz," kata Bimo mengingatkan saat pulang sekolah.

"Beres, Bos."

Hari pertama Dwi membaca Al Qur'an setelah shalat Subuh. Sayangnya, baru membaca satu halaman Dwi sudah mengantuk.

"Ah, pasti karena belum terbiasa bangun sahur. Aku tidur bentar aja deh, nanti pas bangun dan udah segar baru dilanjutin."

Ternyata Dwi bangun kesiangan!

"Ma, kok enggak bangunin aku sih? Aku ada ulangan Matematika!" seru Dwi sambil kelabakan memakai seragam dan memasukkan buku ke tas.

"Eeh dari tadi udah dibangunin, kok. Kamunya aja yang ngorok terus sambil ngiler."

Huuh! Karena jemputan ojeknya sudah datang, Dwi buru-buru pamit dan keluar rumah.

Untungnya Dwi bisa mengerjakan sebagian besar soal ulangannya. Bimo lalu menjemput ke kelas Dwi saat jam istirahat pertama.

"Yuk, nderes Al-Qur'an dulu!" ajak Bimo.

Oh, iya! Dwi baru ingat bacaannya tadi Subuh baru satu halaman. Berarti dia masih kurang ... ya ampun, sembilan belas halaman lagi!

"Lho, kok? Yah, Al-Qur'anku ketinggalan, Bim!"

Bimo berdecak. "Ya udah, kamu pinjam Al-Qur'anku dulu aja. Modelnya sama kayak punya kamu, kok."

"Terus kamu pakai apa, dong?" tanya Dwi ragu.

"Gampang, aku pakai Al-Qur'an milik sekolah aja."

Tak terasa waktu berjalan cepat. Saat waktu istirahat pertama habis, Dwi sudah berhasil menambah dua halaman bacaan.

"Jangan lupa baca Al-Qur'an lagi setiap habis shalat wajib" pesan Bimo.

"Iyaa, bawel!" decak Dwi.

Walau rasanya lemas dan mengantuk, setelah Zuhur Dwi melanjutkan bacaannya. Siang sepulang sekolah Dwi tertidur pulas dan baru bangun jam empat.

"Waduh, jadwal privat bacaanku!"

Dwi bergegas mandi, tapi setelah mengecek pesan di ponsel, ternyata Mas Irwan tidak bisa mengajar privat selama Ramadhan.

Mas Irwan harus menggantikan mubalig lain mengajar asrama Ramadhan cabe rawit, yaitu pengajian intensif bagi anak-anak usia TK dan SD selama bulan Ramadhan.

Dwi baru saja membaca empat halaman ketika ponselnya berbunyi. Ternyata pesan dari Garin, temannya di Klub Film Remaja.

"Dwi, ada lomba film pendek lagi, nih. Ikut enggak? Batas waktu pendaftaran malam ini, lho!".

Wah! Tentu saja dia mau ikut! Dwi sudah mengikuti beberapa lomba membuat film pendek, tapi belum pernah memenangkan juara satu. Paling banter juara harapan waktu dia membuat film dokumenter tentang tawon.

Dwi lalu segera mengecek keterangan pendaftaran lomba. Sore itu dia sibuk membuat skenario film dan membuat daftar hal yang perlu disiapkan. Tiba-tiba saja sudah azan Magrib. Bimo menelpon Dwi setelah buka puasa.

"Gimana, udah sampai mana bacaanmu?".

"Uhh ... baru tujuh halaman alias tiga setengah lembar," jawab Dwi sambil meringis. "Lho, kok belum setengah juz? Ayo cepat dikebut sembari menunggu Isya!" perintah Bimo.

"Iya, iyaa!".

Namun, Dwi tidak langsung mengambil Al-Qur'annya. Dia kembali ke laptop, menyelesaikan persiapan pendaftaran lomba yang belum selesai.

"Huah! Akhirnya terkirim!" seru Dwi senang, pas azan Isya berkumandang. Dia pun segera berangkat shalat ke masjid.

Setelah shalat Isya dan Tarawih di masjid, Dwi mengikuti acara pengajian. Mas Irwan membacakan Al-Qur'an, sementara jemaah pengajian menyimak bacaannya.

Wow, Dwi terkesima. Berbeda saat mengajar privat, bacaan Mas Irwan saat itu cepat, tapi tetap tartil dan enak didengar. Tak terasa satu juz selesai dibacakan dalam waktu satu jam. Dwi juga ingin bisa membaca seperti itu.

Sepulang dari pengajian, Dwi melanjutkan bacaan Al-Qur'annya. Dia berusaha membaca lebih banyak, tetapi dia keburu mengantuk dan tertidur saat membaca.

Bimo lalu mengecek saat keesokan harinya mengajak Dwi untuk menderes Al-Qur'annya lagi.

"Kurang tiga halaman. Ngantuk banget, Bim!".

Bimo hanya menggeleng. "Ya udah, hari ini harus dikejar itu tiga halaman yang kurang."

Dwi menggerutu, tapi tetap mencobanya. Ternyata lumayan berat. Dia harus membagi waktu luangnya antara membaca Al-Qur'an dan proyek lomba filmnya. Banyak sekali yang harus dia lakukan.

Dia harus menyiapkan keperluan syuting, mengulang rekaman yang salah, menambah adegan yang ketinggalan, dan membeli atau melengkapi peralatannya. Belum lagi editing video, yang benar-benar menyita waktu.

Setiap hari PR bacaan Al-Qur'an Dwi bertambah, karena dia tidak bisa menyelesaikan satu juz per hari. Di hari kelima belas, Bimo menegurnya.

"Kenapa kemajuan bacaanmu malah melambat? Katanya mau khatam bacaan?"

Dwi mendengkus kesal. "Ya, mau! Kamu enggak tahu aja, berulang kali aku pengen menyerah. Aku udah berusaha, Bim, tapi belum bisa juga."

"Kamu udah ngikutin jadwal yang aku kasih tahu, kan? Emang kamu seharian ngapain aja, sih, Dwi?" ujar Bimo tampak prihatin.

Dwi mengusap wajah, lalu akhirnya mengakui bahwa dia ikut lomba film. "Dua hari lagi batas waktu pengumpulannya, tapi filmku belum jadi. Kameraku rusak, ada file yang enggak bisa kebaca. Aku harus syuting ulang. Aku capek banget, Bim."

Menjadi sutradara film adalah salah satu cita-cita Dwi. Selama ini Bimo selalu mendukung, tidak pernah mengolok-oloknya.

"Kenapa enggak bilang dari kemarin? Kamu tuh udah kelihatan kayak zombi, tahu enggak?" decak Bimo setelah terdiam beberapa saat. "Aku akan menginap di rumahmu. Kamu butuh bantuan apa?"

Dengan bantuan dan kehadiran Bimo, ternyata beban pekerjaan Dwi bisa berkurang. Bimo juga mengingatkan agar Dwi bisa memanfaatkan sela-sela waktu tunggu.

"Nih, ya, taruh aja Al-Qur'anmu di samping laptop. Proses editing video kan lumayan lama, tuh. Sementara menunggu, kamu baca deh Al-Qur'an."

Setelah kerja keras yang melelahkan, akhirnya Dwi berhasil menyelesaikan dan mengumpulkan filmnya menjelang detik-detik penutupan. Setelah itu dia terkapar di tempat tidur.

"Pengumuman pemenangnya kapan?" tanya Bimo yang dari tadi menemani sambil membaca Al-Qur'an.

"Sehari sebelum Lebaran," jawab Dwi. Dia meraih Al-Qur'annya, tercenung sebentar. "Sebenarnya aku lega karena bisa selesai, tapi entah kenapa ... kali ini aku merasa imbalannya enggak sebanding dengan pengorbanannya. Kalau aku menang, aku cuma dapat duit sekian juta. Tapi, aku udah kehilang tiga juz. Hati kecilku kayak enggak terima."

Bimo lalu menepuk-nepuk pundak Dwi. "Itu tandanya Allah telah menyentuh hati kamu dengan manisnya keimanan. Ada rasa damai yang kita rasakan ketika membaca kalam-Nya Allah. Seolah Allah berada dekat sekali dan sedang berbicara dengan lembut pada kita. Allah mengajak kita yang terseat dalam dosa dan perbuatan lahan, untuk kembali ke dalam ridha-Nya.

"Hatimu akan selalu merindukan hal itu, Dwi. Enggak ada uang maupun hal lain di dunia ini yang bisa menebus kerinduan itu, makanya kamu merasa enggak rela," lanjut Bimo.

Dwi memejamkan mata, lalu mengangguk. "Insya Allah lain kali aku akan mengatur kegiatanku dengan lebih baik, Bim. Kalau ini tahun terakhir hidupku dan aku enggak ikut lomba film, aku sama sekali enggak akan menyesal. Tapi, kalau ini Ramadhan terakhirku dan aku enggak pol-polan beribadah, ... aku enggak bisa ngebayangin betapa aku akan merasa amat, sangat menyesal."

Bimo tersenyum. "Masih ada waktu, Dwi. Sebentar lagi sepuluh hari terakhir Ramadhan. Ikutlah iktikaf di masjid. Insya Allah kamu bisa mengejar ketinggalan bacaanmu saat itu."

Mulai saat itu Dwi berusaha dengan sungguh-sungguh. Dia meninggalkan hal-hal yang mengganggu fokus ibadah dan bacaan Al-Qur'annya.

Akhirnya Dwi berhasil menyelesaikan bacaannya dan khatam di malam ke-29 Ramadhan. Keesokan harinya, dia mendapat kabar bahwa dia memenangkan juara ketiga lomba film pendek itu.

"Allah baik banget, Bim," ujar Dwi tercekat saat menelpon Bimo malam itu. "Aku benar-benar enggak nyangka bisa dapat semuanya."

Bimo tertawa kecil. "Inget kata Mas Mubalig, Dwi. Mengejar urusan dunia itu ibarat membeli tali, belum tentu akan dapat sapi. Tapi kalau kita mengejaar urusan akhirat, ibaratnya membeli sapi, kita pasti akan dapat talinya," kata Bimo.

Dwi tersenyum. "Alhamdulillah jazakallahu khoiro, Bim. Kamu benar-benar sahabat yang baik."

"Amiin. Semoga kita bisa saling menjaga keimanan dan tolong menolong dalam kebaikan, ya, Dwi."

"Amiin. Insya Allah, Bim."

Alhamdulillah alhamdulillah. Malam itu Dwi ikut takbiran di masjid, sepenuh hati mengagungkan nama Allah Yang Maha Pengasih.

4. Misi Adrian

Ramadan Kareem photography, Lantern with crescent moon shape on the beach with sunset sky, 2024 Eid Mubarak  greeting backgroundIlustrasi cerita Ramadhan/Foto: Getty Images/sarath maroli

Karya: Tiana Yuthi Musadad

Tak terasa hari itu sudah memasuki hari kelima puasa. Adrian menguap lebar. Ia lalu melirik jam, kemudian berjalan menuju dapur untuk melihat kesibukan Bunda.

Bunda sedang membuat kolak pisang. Mbak Nining, kakak perempuan Adrian, tampak cekatan membantu.

"Banyak banget bikin kolak, Bun," ucap Adrian sambil memperhatikan.

"Iya, Nak. Sekalian buat dibawa ke masjid," jawab Bunda.

"Nanti kamu makannya jangan kebanyakan lho, biar pas Tarawih nggak ngantuk."

Aduh, gawat! Adrian jadi ingat, ia belum punya alasan untuk tak ikut shalat Tarawih di masjid. Shalat Tarawih di masjid itu lumayan lama, banyak rakaatnya. Sudah begitu, bacaannya surat-surat Al-Qur'an yang panjang pula. Adrian jadi tambah mengantuk dan capek. Setelah menahan lapar seharian, dia hanya ingin beristirahat di kamar.

Hmm, kira-kira alasan apa ya yang akan diterima Ayah dan Bunda supaya ia tak ikut shalat Tarawih?

Begitu melihat Mbak Nining sedang memasukkan cabai merah ke dalam blender, Adrian jadi dapat ide. Aha!

Waktu berbuka tiba. Adrian tak sabar menjalankan rencananya. Usai shalat Magrib bersama Ayah di masjid, ia segera mengambil tempat duduk di meja makan. Lalu, selain nasi dan lauk pauk, Adrian juga menambahkan sambal banyak-banyak di piringnya.

"Dek, ingat-ingat lho!" Mbak Nining mengingatkan. Ayah dan Bunda ikut melirik, tampak heran. Di rumah ini, hanya Adrian yang kurang suka sambal. Biasanya kalau makan pun paling hanya secuil saja untuk menambah sensasi pedas di mulut.

"Abis sambalnya menggoda sih," kata Adrian beralasan. Ia mencolek sambal di piringnya dengan tempe mendoan.

Huaa, pedasnya! Adrian buru-buru minum, tapi ia tak mau menyerah. Dicoleknya lagi sambal itu hingga habis, bahkan sempat menambah sedikit sampai ditegur Bunda. Rasanya bukan main. Adrian sampai tak sadar air matanya mengalir, berlomba dengan cucuran keringat.

Saat sedang menenangkan diri sambil menonton televisi ditemani kolak piasang kesukaannya, efek sambal di perut Adrian mulai terasa. Ia merasakan sakit yang melilit, lalu dirinya cepat-cepat ke kamar mandi. Usai dari kamar mandi, Adrian meringis. Sakitnya keterlaluan.

Adrian segera melapor pada Bunda bahwa perutnya sakit dan ia tak kuat ikut shalat Tarawih di masjid.

"Bunda jadi khawatir. Ayah sama Mbak saja deh yang ke masjid. Biar Bunda shalat di rumah sambil jagain Adrian," kata Bunda.

"Eh, nggak usah Bunda. Nggak apa-apa kok Bunda tetap ke masjid aja. Adrian kan udah besar," ucap Adrian menyakinkan. Ia jadi merasa bersalah pada Bunda. Gara-gara misinya tak ingin shalat Tarawih di masjid, Bunda malah ikut repot.

Setelah diyakinkan Adrian, Bunda akhirnya ikut pergi bersama Ayah dan Mbak Nining. Adrian lega, misinya berhasil. Yes!

Namun, kesenangan itu tak berlangsung lama. Perut Adrian melilit lagi. Ia cepat masuk kamar mandi dan keluar sambil meringis kesakitan. Adrian kapok makan sambal. Lain kali ia harus punya cara yang lebih aman.

Ternyata tak hanya satu dua kali, melainkan berkali-kali Adrian terus bolak-balik ke kamar mandi. Akhirnya Adrian lemas dan berbaring di kasur.

Lalu, pandangannya mendadak gelap.

Mati lampu! Oh, tidaaak! Adrian mengerang. Duh, bagaimana ini? Kalau ia harus buang air lagi bagaimana? Ia paling takut gelap. Apalagi ia di rumah sendirian. Rasanya Adrian mau menangis saja.

Yang dikhawatirkan pun terjadi. Perut Adrian melilit lagi dan mau tak mau ia harus ke kamar mandi. Akhirnya Adrian memberanikan diri. Ia berjalan sambil berpegangan pada dinding, kemudian berseru lega saat akhirnya menemukan kamar mandi. Setelah matanya mulai terbiasa di kegelapan, Adrian jadi sadar bahwa tak ada yang perlu ditakuti. Lagi pula ia sudah berdoa dan Allah pasti menjaga. Saat keluar dari kamar mandi, Adrian berjalan dengan lebih percaya diri. Dia tidak lagi merasa gemetar seperti tadi.

Karena sudah lebih berani, Adrian pergi ke dapur dan mengambil air hangat untuk meredakan sakit perutnya. Ia duduk menghabiskan air hangat itu di kamar sambil menunggu Ayah dan Bunda serta Mbak Nining pulang dari masjid.

Tak lama kemudian, terdengar ketukan di pintu. Mereka sudah pulang? Wah, cepat juga!

"Dek, kamu nggak pingsan, kan?" panggil Mbak Nining.

Adrian memutar kunci dan membukakan pintu. Bersamaan dengan terbukanya pintu itu, lampu pun hidup.

"Alhamdulillah! Kamu nggak apa-apa, Bun."

Adrian mengangguk. "Aku nggak apa-apa, Bun."

"Kami khawatir lho tadi. Kamu kan paling takut gelap. Mana lagi sakit perut," ucap Mbak Nining.

Adrian meringis. Gara-gara misinya, semua orang jadi khawatir.

"Aduh ...." Adrian tiba-tiba memegangi perutnya dan meringis kesakitan. Lalu, ia berlari ke kamar mandi. Sekarang, Adrian betul-betul kapok.

Hanya karena tak mau Tarawih, ia sampai menyiksa diri. Padahal ternyata shalat Tarawihnya tidak selama yang ia bayangkan. Daripada sekujur tubuh lemas dan sakit seperti ini, lebih baik tadi ia menahan kantuk sedikit dan ikut Tarawih!

Mulai besok, ia tak mau lagi mencari alasan untuk menghindari Tarawih seperti hari ini.

5. Tangga Ramadhan

Karya: Letha Jannah

Sejak tadi, Sofia memperhatikan Ibu menempel karton di papan tulis. Ibu harus menaiki kursi agar bisa menempel ujung karton dengan selotip, padahal Ibu sedang hamil. Perut yang sudah membuncit tampak menghambat gerakan Ibu. Sofia jadi khawatir, takut Ibu terjatuh.

"Ibu," panggil Sofia dengan suara serak karena bangun tidur. Ibu tampak terkejut.

"Hai, Fia." Ibu menyapa sambil menoleh, lalu turun dari kursi setelah berhasil mengelem ujung karton.

"Kamu sudah siap sahur, ya?" tanya Ibu semringah.

"Ibu ngapain, sih?" Sofia bertanya penasaran, masih dengan posisi bersandar lesu di dinding.

"Ah, sini!"

Sofia menurut dan berjalan lunglai menuruti panggilan ibunya.

"Fia baca deh tulisannya. Apa tulisannya, Nak?"

Sofia melihat arah telunjuk Ibunya lalu menggeleng. Bukan karena dia tidak bisa membaca, tapi rasa kantuk membuatnya malas menjawab.

"Tangga Ramadhan." Ibu lalu mengeja dengan membisikkan ke telinga Sofia yang sedang menguap.

"Tangga Ramadhan ini isinya kegiatan-kegiatan ibadah selama kita berpuasa, Sayang. Bentuknya tabel. Di ujungnya ada kotak untuk dicentang satu-satu jika sudah selesai melakukan kegiatan ibadah hari itu. Masing-masing orang di rumah ini punya tabel sendiri. Lihat, Ibu sudah memberi nama. Pembagian kegiatannya per sepuluh hari."

"Kenapa perlu dibagi, Bu?" tanya Sofia sembari menikmati duduk di pangkuan Ibu.

"Setiap 10 hari, kegiatannya akan bertambah efektif, Nak. Tentu yang dasar seperti shalat lima waktu, sahur, berbuka puasa, olah raga, membantu orang tua, dan shalat Tarawih akan tetap ada. Penambahan kegiatannya ada pada kolom sedekah, hafalan Al-Qur'an, zakat, serta iktikaf saat Lailatul Qadar."

Sofia berusaha mendengarkan dengan saksama. Tiba-tiba matanya membelalak. Ia lalu menunjuk puncak tabel itu.

"Itu apa, Bu? Kok ada gambar uang?"

Ibu terkekeh lalu berkata. "Fia langsung melek ya kalau lihat uang."

"Horeeee, berarti nanti kalau Fia bisa puasa sebulan full, Fia bisa dapat hadiah, kan?" Kali ini Sofia membalikkan tubuh, menghadap wajah Ibu.

"Bukan puasa setengah hari seperti tahun lalu, loh. Kan, Fia udah kelas satu SD." Ibu mengedipkan mata yang dibalas Sofia dengan anggukan mantap. Ia sudah lupa dengan rasa kantuknya.

"Fia lapar, Bu."

Ibu menghentikan bacaan Al-Qur'annya, lalu menengadahkan kepala sambil melepas kacamata. Sofia bersandar lemas di bibir pintu sembari memegangi perut.

"Loh, kalau puasa itu memang lapar, kan, Fia. Hari ini sudah hari ke-10 kita puasa. Insya Allah besok sudah terbiasa laparnya." Ibu berusaha meyakinkan, tetapi Sofia malah merajuk.

"Sekaliiii ini, Bu. Fia puasa setengah hari. Fia janji, deh, besok puasa full lagi."

Belum sempat Ibu menjawab, tiba-tiba terdengar teriakan dari pintu kamar Kak Hana.

"Ehhh, enggak boleh! Kan harus netepin sesuai tabel di Tangga Ramadhan, Dek!" Kak Hana berjalan mendekati adiknya sambil berwajah galak.

"Apaan, sih, Kak. Ikut-ikut aja, deh. Fia tuh kan masih kelas satu. Kata Ayah semalam, Fia masih belajar, kok." Sofia membalas dengan sewot.

Kak Hana semakin semangat nyinyir.

"Ehh, emang kalau kelas satu, kenapa? Arti kata belajar itu bersungguh-sungguh, Dek. Dulu Kakak juga seperti ini diajari Ibu. Coba sekarang Kak Hana tanya, apa Fia lagi sakit sampai nggak bisa puasa? Nggak, kan?"

Sofia terdesak dengan tebakan Kak Hana. Ia berusaha menahan air mata yang berebutan ingin jatuh. Menahan lapar saja sudah membuatnya lemas. Sekarang malah ditambah dengan perdebatan yang membuat Ibu ikut mengangguk, seakan membenarkan ucapan Kak Hana.

Sofia tidak punya pilihan selain memutuskan meneruskan puasanya hingga Magrib nanti. Ia sangat kesal. Kenapa, sih, Kak Hana harus ikut campur? Ibu tadi sepertinya sudah hampir menyetujui rayuanku. Sambil menggerutu, Sofia berjalan cepat ke arah kamarnya. Ia tidak memperdulikan seruan Kak Hana yang memperingati agar Sofia tidak membanting pintu seperti biasa.

"Ibuuu! Buuu!" Sofia berteriak kencang.

"Ada apa, Fia?" Napas Ibu masih terengah-engah ketika sampai di dapur. Rupanya Ibu berlari dari ruang tengah sambil memegangi perutnya.

"Bu! Kak Hana ketahuan minum air putih, Bu!" Sofia masih memegang erat tangan Kak Hana sambil tersenyum lebar.

Hayoo, siap-siap dimarahin Ibu, Kak! Apa kemarin Kakak bilang? Belajar itu sungguh-sungguh? Siang-siang gini runtuh juga, kan, pertahanan Kakak?

"Lepasin, Dek! Sakit!" Kak Hana mengibas tangan Sofia hingga membuat air dalam gelas yang dipegangnya tumpah.

"Kak Hana sudah nggak bisa bohong, loh, ya. Fia lihat Kakak meminum setengah gelas tadi!" Sofia menuding dengan semangat yang menggebu.

Di luar dugaan Ibu malah tertawa, disusul Kak Hana.

"Loh, kok Ibu tertawa, sih! Kakak harusnya dimarahin, kan?" Sofia jadi kesal karena melihat reaksi yang tidak sesuai harapan.

"Maaf, Fia. Ibu nggak bisa marahin kak Hana." Ibu menahan tawa, lalu buru-buru berdeham sekali. "Kak Hana! Jangan ngerjain adikmu!"

Dengan kalimat singkat itu, Ibu membalikkan tubuh lalu kembali ke ruang tengah. Sofia jadi tambah bingung.

"Dek, hari ini kakak tuh nggak puasa. Maaf, ya," ujar Kak Hana sambil tersenyum. Sebelum Sofia bertanya lagi, Kak Hana buru-buru melanjutkan penjelasan sembari menahan tawa." Kakak sedang datang bulan tadi pagi, jadi batal puasanya deh!"

"Ke ... kenapa Kakak tadi sengaja minum di depan Fia? Kan, Fia nggak tahu kalau puasa Kakak udah batal?" protes Sofia, keki karena terlanjur dikerjai Kak Hana.

"Habis, kamu lucu, sih, Dek." Kak Hana lalu mendekati Sofia. "Maaf, Dek. Bercanda, kok. Jangan marah, ya."

Sofia menepis tangan Kak Hana yang mendarat di pipinya. Ia merasa sangat kesal. Tadi Sofia sempat membayangkan air es yang diminum Kak Hana mengalir di tenggorokannya yang kering. Sofia lantas berjalan cepat ke arah kamar, sengaja berjalan sambil mengentakkan kaki.

"Dek! Kalau puasa jangan marah-marah! Nanti batal, loh!" Seruan Kak Hana samar-samar terdengar saat Sofia membanting pintu kamar. Ia lalu menjatuhkan tubuh dan wajah di tumpukan bantal sambil menangis.

Puasa menginjak hari ke-20. Mulai malam ini keluarga Sofia akan beriktikaf di masjid. Sofia sedang asyik melengkapi tabel Tangga Ramadhan yang menempel di papan tulis. Ia tersenyum lebar. Hanya tabel punya Sofia dan ayahnya yang terisi penuh tanda centang dari spidol berwarna hitam. Sedangkan milik Kak Hana ada delapan hari yang kosong karena datang bulan. Ini tandanya, Kak Hana sudah bukan tandingan Sofia untuk meraih hadiah.

Begitu pula dengan tabel punya Ibu. Jumlah kosongnya bahkan lebih banyak karena Ibu telah melahirkan Adik di pertengahan Ramadhan. Alhamdulillah jenis kelaminnya laki-laki. Waktu itu Sofia sampai melompat kegirangan. Ia yakin akan bisa akur dengan adiknya.

Adek cowok pasti lebih mengalah dan nggak usil seperti Kak Hana, begitu suara hati Sofia untuk menghibur dirinya sendiri.

Pelan tapi pasti, Sofia akhirnya mengerti mengapa Kak Hana yang datang bulan dan Ibu yang habis melahirkan tidak bisa berpuasa. Sofia merasa sangat malu karena sempat iri melihat Ibu dan kakaknya tidak puasa. Beruntung Ayah menjelaskan kepadanya di saat yang tepat. Sofia tahu, Ibu yang meminta Ayah agar menjelaskan.

"Sofia, ada tiga golongan orang yang diperbolehkan tidak berpuasa Ramadhan. Pertama, orang yang sudah sangat tua. Kedua, perempuan yang sedang datang bulan atau sedang masa nifas. Dan yang ketiga, orang yang sedang sakit." Ayah perlahan menjelaskan dengan kalimat yang paling mudah diterima Sofia.

Saat itu, sambil terus mengelus punggung Sofia, Ayah mendengarkan ceritanya. Sofia mendapati Ibu diam-diam makan di kamar, sedangkan setahu Sofia Ibu sedang tidak datang bulan. Ibu bahkan ikut sahur bersamanya.

"Sofia, menurutmu Ibu menemani kita sahur karena apa, coba?"

Sofia menghapus air mata yang sudah kering di pipi. Ia lalu menggeleng, tidak tahu jawabannya.

"Sofia, di bulan Ramadhan, semua kegiatan kita akan bernilai pahala. Dan kamu tahu? pahalanya dilipatkan banyak oleh Allah. Walaupun Ibu tidak bisa berpuasa, dengan memasak dan menyiapkan sahur buat kita, Ibu ingin mendapatkan pahala yang banyak dari Allah."

Sofia mengangguk pelan. Ada desir halus yang mengalir di antara rongga dadanya. Ia tahu betul bagaimana Ibu berusaha bangun dan tetap memasak, padahal semalaman bergadang karena adiknya rewel. Ibu juga selalu menyiapkan masakan untuk berbuka puasa, padahal Ayah sengaja membeli makanan agar Ibu tidak kelelahan. Ibu selalu berkata bahwa Ibu ikhlas, senang dan bahagia bisa menyiapkan itu semua.

"Sofia, wajar kok kalau manusia memiliki sifat iri. Tapi, Sofia harusnya tidak perlu iri dengan Kak Hana yang tidak puasa karena datang bulan, begitu juga pada Ibu yang sedang masa nifas. Irilah karena melihat ibadah orang lain.

"Tidak apa-apa iri pada temanmu yang bisa full puasanya, bisa shodaqoh setiap hari, bisa Tarawih setiap malam. Irilah dengan temanmu yang saleh, Nak. Salah satu tujuan Ibu membuat tabel Tangga Ramadhan adalah agar kita bisa konsisten, fokus, dan semangat untuk beribadah.

"Adapun hadiahnya, ingat! Itu adalah bonus saja. Ayah mau Sofia tetap menjaga niat berpuasa dan beramal hanya karena Allah."

Sofia mengangguk mengerti dan meminta maaf. Ayah tersenyum senang.

"Ayah bangga sama Sofia." Ayah lalu berbisik di telinga Sofia. "Sofia, tinggal 10 hari lagi puasa selesai. Kalau Sofia setiap hari ikut Ayah iktikaf di masjid, hadiahnya akan Ayah tambah."

Sontak mata Sofia berbinar. Sofia tersenyum sembari memeluk Ayah. "Terima kasih, Ayah. Alhamdulillah jazakallahu khoiro. Terima kasih ya Allah."

6. Tidak Pantang Menyerah saat Berpuasa

Dikutip dari buku Ramadhan Zafran: Kumpulan Cerpen Seru Siswa SD Muhammadiyah 4 Surabaya oleh Tim Siswa SD Muhammadiyah 4 Surabaya terdapat contoh cerita puasa Ramadhan untuk dibacakan pada Si Kecil. Simak selengkapnya.

Karya: Dzakiyyah Nada Salsabila

Pada suatu hari saat sekolah berlangsung, aku melihat kalender di dinding, aku teringat ternyata tiga hari lagi kita akan menyambut bulan Ramadhan dan akan melaksanakan ibadah puasa, aku tidak sabar menyambut bulan Ramadhan. 

Alhamdulillah tiga hari pun berlalu dan kini tiba saatnya masuk bulan Ramadhan, pagi-pagi sekali aku, tepatnya jam 03.30, Ayah, Bunda dan adikku bangun untuk sahur, memang rasanya masih ingin tidur lagi tapi aku berusaha melawan ngantuk.

Aku pun segera mencuci muka, dan menghabiskan makan sahurku lalu minum susu dan gosok gigi, selesai gosok gigi aku pun menghabiskan air putih yang ada di gelasku. Tidak terasa, aku mendengar suara adzan dari masjid di dekat rumah "Allahu Akbar ... Allahu akbar ..."

Wah ternyata sudah masuk waktu sholat subuh, aku segera beranjak ke kamar mandi untuk berwudhu dan menjalankan sholat subuh berjamaah bersama Ayah, Bunda dan Adik.

Seusai shalat aku selalu berdoa agar bisa puasa. Dan alhamdulillah kami kuat berpuasa hingga Maghrib. Selama seharian berpuasa aku dan adikku mengaji dan bermain. Tidak terasa waktu Maghrib pun sudah tiba, alhamdulillah aku dan keluargaku pun segera berbuka dengan meminum segelas air putih dan memakan kurma sebanyak tiga biji, setelah itu kami melaksanakan shalat Maghrib, kemudian aku dan keluargaku makan nasi.

Seusai makan kami segera wudhu dan melaksanakan ibadah shalat isya', tarawih dan witir bersama-sama di rumah. Aku sholat tarawih dan witir sebanyak 11 rakaat.

Dan, tanpa terasa aku dan adikku berpuasa sampai Maghrib selama 30 hari, sampai akhirnya bertemu dengan hari raya Idul Fitri. Aku dan adikku sangat senang bisa berpuasa Ramadhan penuh selama 1 bulan.

7. Ramadhan Zafran

Karya: Rafif Ahmad Rabbani

"Yeeee....besok kita berpuasa!!!" Teriak Zafran kegirangan.

"Seneng sekali yang mau puasa?" sahut Bunda.

"Iya dong, habis puasa 1 bulan terus lebaran, terus dapat THR dong!" Jawab Zafran cepat.

"Loh, kok niatnya begitu? Wah... puasa untuk mencari ridho Allah dong, jangan salah niat ya, Nak." Jelas Bunda lagi.

"Betul! Niatkan puasa karena Allah, untuk THR itu anggap saja bonusnya karena kamu sudah jadi anak yang baik," sambung Ayah.

Mata Zafran berbinar, sudah tidak sabar menemui bulan penuh berkah.

"Yuk sholat Tarawih dulu." Ajak Ayah.

Sudah 2 tahun ini keluarga Zafran memulai shalat Tarawih berjamah sendiri di rumah, Ayah yang menjadi imamnya. Karena situasi yang belum membaik karena pandemi, Ayah memutuskan untuk tetap aman beribadah di rumah saja. Namun, di tengah shalat Tarawih yang ke-3 Zafran mengeluh capek dan tidak mau shalat Tarawih.

"Uhm.. Bund capekk banyak banget raka'atnya."

"Hmm... memangnya kamu belum pernah shalat Tarawih apa?"

"Hehe ya pernah sih tapi kan udah lama nggak shalat Tarawih jadi capek."

"Ya sudah minum dulu aja biar fresh lagi, inget kamu mau kan jadi anak yang shaleh?"

"Mau lah, Bund, kan Zafran anak sholeh."

"Ok kalau gitu."

Keesokan harinya Zafran memulai Awal puasa tahun ini. Saat sahur Zafran memakan makanan yang banyak, katanya ingin kuat saat berpuasa, namun kata Bunda, "Zafran, kalau makan jangan berlebihan, kalau kamu makan yang berlebihan nanti perutmu bisa sakit bukan malah bisa menguatkan puasa."

"Kan segala yang berlebihan tidak baik," kata Bunda lagi, begitu juga dengan saat minum Zafran selalu berlebihan.

"Zafran minta maaf Bund janji nggak akan ngulangin lagi deh."

"Nah begitu dong anak Bunda kan anak shaleh."

"Bentar lagi adzan Subuh ayo cepat minum Zafran, tapi ingat jangan berlebihan."

"Oke, Bund."

Setelah adzan Subuh berkumandang, Zafran cepat cepat mandi, karena Ayah Zafran akan berangkat kerja pagi-pagi, Zafran juga gosok gigi sebelum adzan Subuh agar mulut tidak bau saat berpuasa, setelah mandi Zafran shalat Subuh.

"Inget ya jangan mengeluh terus saat berpuasa, mengeluh itu tidak baik. Nanti kalau puasanya sudah habis Ayah kasih uang deh, lima ratus ribu buat beli mainan loh." kata Ayah yang akan berangkat kerja.

"Yeayyyy!" Riang Zafran.

"Puasa aja belum habis 1 hari, udah mau dikasih uang aja," timbrung Bunda.

"Hehe enggak apa-apa, Bund. Biar nanti Zafran semangat puasanya," kata Ayah. Lalu Ayah berangkat kerja karena hampir terlambat.

Setelah Ayah berangkat kerja, Zafran membuat rencana dengan keluarganya untuk khatam Al-Qur'an 30 juz selama 30 hari!!

"Ehm... Boleh juga tuh, dari pada enggak ada kegiatan, kerjanya main HP terus, nonton TV enggak bermanfaat kan?"

"Iya, Bund. Bunda dan Zafran membaca satu juz dan Ayah mendapatkan bagian satu juz juga, agar seimbang." Setelah membaca 1 juz Zafran merasa haus dan minta ke Bunda untuk puasa Dzuhur saja.

"Bund puasa Dzuhur aja ya Bund hauss," kata Zafran.

"Eh katanya mau jadi anak yang shaleg ya harus puasa Maghrib, lagian kamu kan sudah besar jadi wajib puasa Maghrib."

"Ehm okelah Bund, semangat anak muda!!!"

"Nah gitu dong itu anak Bunda."

"Emang dari sebeleum sebelumnya aku bukan anak Bunda?" jawab Zafran.

"Aduh bukan begitu maksudnya Zafran. Hmm.. udah pinter ngelawak ya anak Bunda," Bunda dan Zafran tertawa bersama.

Menjelang siang hari cuaca sangat panas dan Zafran tidak berani keluar untuk bermain, Zafran mencoba untuk sabar menghadapi cobaan puasa dan pantang menyerah.

"Emang ada Bund hadis Nabi yang mengatakan untuk pantang menyerah?" Zafran bertanya, lalu Bunda menjawab.

"Ada dong, begini bunyinya, “Katakanlah, 'Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya,” Bunda menunjukkan hadis Nabi yang mengatakan bahwa untuk pantang menyerah dan putus asa.

"Jadi kita harus pantang menyerah untuk menghadapi cobaan dari Allah?"

"Iya, Zafran."

"Sekarang enak ngapain ya, Bund? Kalau puasa biasanya nggak ada kegiatan gitu males soalnya" tanya Zafran.

"Baca buku aja gimana? Baca buku tentang pantang menyerah biar kamu nggak gampang mengeluh?" Bunda memberikan ide.

"Oke boleh juga itu, Bund." Lalu Zafran membaca buku di balkon rumahnya sambil menatap hamparan hijau sawah dan gedung-gedung kota yang menjulang. Tak selesai di situ Zafran meneruskan membaca di kamarnya dengan senang. Setelah membaca Zafran pun tertidur karena matanya lelah. Setelah beberapa jam tertidur, Zafran belum juga bangun. Ketika adzan Ashar berkumandang, barulah Zafran bangun dengan riang, ia turun dari kamarnya.

"Yeay, buka puasaaa," kata Zafran.

"Eh belum, masih adzan Ashar, sabar yaa," Bunda menjawab.

"Yah aku kira adzan Maghrib," lalu Zafran beranjak dari tangga untuk mengambil sarung untuk shalat Ashar.

Setelah shalat Ashar Zafran memutuskan untuk bermain karena cuaca sore hari sejuk dan cocok untuk bermain.

"Bunda.. Zafran mau main ya."

"Iya hati-hati lho, jangan kesorean udah mau waktu berbuka," jawab Bunda.

"Okee Bund Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam," Zafran bermain dengan teman komplek tapi dengan syarat tidak boleh kesorean karena sudah dekat waktu berbuka.

"Eh teman-teman main bola yuk di depan rumahku aja ya."

"Iya setuju, Zaf." Jawab salah satu temannya, mereka juga mematuhi protokol kesehatan karena virus corona masih ada salah satunya adalah memakai masker. Setelah beberapa saat bermain Masjid bersholawat tandanya akan Maghrib, Bunda yang di dapur pun beranjak ke luar untuk memanggil Zafran yang masih bermain.

"Ayo sudah selesai mainnya, sudah mau berbuka," kata Bunda.

"Oke, Bunda."

"Teman-teman, Zafran udah selesai ya mainnya, udah mau berbuka." Zafran mengingatkan teman-temannya.

"Oke Zafran, besok main lagi ya kayak gini tapi sore nggak apa-apa, kan?"

"Nggak apa-apa kok." Setelah berpamitan dengan teman-teman Zafran mandi agar tubuhnya tidak bau sehabis berkeringat karena bermain bola tadi. Zafran merasa sangat haus, sehabis mandi Zafran memasukkan kepalanya ke dalam freezer saking hausnya, Bunda pun sampai heran.

"Ini anak ngapain, Astagfirullah," kata Bunda.

"Haus, Bund makanya aku kayak gini, hehe, maaf."

"Ya sudah ayo sini bantu Bunda nyiapin makanan dan minuman untuk berbuka," kata Bunda.

"Oke Bunda, siap laksanakan."

"Hahaha," Bunda tertawa.

Akhirnya adzan Maghrib pun berkumandang, Bunda dan Zafran mengucap Alhamdulillah bersamaan. Mereka pun memulai berbuka puasa dengan doa buka puasa.

"Yuk sehabis buka kita shalat Maghrib. Eh Ayah datang bukain tuh cepetan."

"Oke, Bunda."

"Ayah sudah pulang Bunda."

"Iya Ayah, Ayah sudah minum belum?"

"Sudah kok, Bund. Ya sudah Ayah mau mandi dulu ya. Eh sudah pada shalat Maghrib belum?"

"Belum ini juga mau shalat Maghrib, tapi Ayah datang ya kita shalat berjama'ah aja," Bunda dan Zafran menjawab. Setelah Ayah mandi keluarga Zafran shalat Maghrib berjamaah, lalu mereka makan bersama bercerita ini itu tentang berpuasa.

Setelah 1 bulan penuh berpuasa Zafran sudah terbiasa, jadi puasa tahun depan tidak lagi banyak mengeluh.

"Alhamdulillah hari ini hari terakhir puasa, semoga amal ibadah kita di bulan penuh berkah ini di terima oleh Allah SWT. Aamiin..." kata Ayah.

"Aamiin Yaa Rabbal Alamiin..." Bunda dan Zafran mengaminkan doa Ayah. Keesokan harinya Keluarga Zafran bersiap siap untuk shalat Idul Fitri, Keluarga Zafran berganti baju, mereka memakai baju khas Idul Fitri, mereka juga pakai parfum agar lebih wangi.

"Ayo shalat Idul Fitri di masjid biar lebih berkah," kata Ayah.

"Iya yah," jawab Zafran. Mereka pun berangkat ke masjid, tapi harus pakai masker karena pandemi juga belum berakhir, masjid dipenuhi dengan banyak orang yang tidak sabar untuk shalat Idul Fitri dan menyambut hari kemenangan umat Islam.

Setelah shalat mereka juga mendengarkan khutbah Idul Fitri, Zafran tidak sabar untuk pulang karena ia lapar. Bunda memasak kari makanan khas Idul Fitri, kari adalah makanan kesukaan Zafran jika sedang Idul Fitri.

"Bund, laper huhuu, masih lama lagi kah?" kata Zafran.

"Bentar ya nak.. sabar dulu ya, sebentar lagi juga mau selesai," jawab Bunda. Setelah khutbah selesai, Zafran langsung lari pulang ke rumah saking laparnya. Sesampainya di rumah, Zafran langsung membuka tudung saji.

"Hmmm enak pasti," Zafran menatap kari yang sudah terpampang di depan mata.

"Heh jangan makan dulu, nanti dulu, sekarang VC (video call) sama Nenek Kakek, kasihan mereka, cuma berdua di kampung, kita nggak kesana pasti Nenek dan Kakek sedih," kata Bunda. Saat video call terhubung dengan Nenek, lalu Ayah, Bunda, Zafran mengucapkan selamat hari raya.

"Selamat Hari Raya Idul Fitri Nek, Kek. Mohon maaf lahir batin atas segala kesalahan yang disengaja maupun tidak disengaja, ya."

"Iya Kakek dan Nenek juga minta maaf ya, Le, yang penting di sana sehat-sehat semuanya," ujar Nenek, Kakek di sebelah Nenek.

"Iya di sini sehat-sehat aja kok, Nek, Kek. Di sana juga sehat-sehat ya. Kami juga minta maaf tahun ini nggak bisa mudik."

"Iya nggak apa-apa tetap jaga kesehatan ya."

Setelah video call dengan keluarga di kampung halaman, mereka makan bersama dan berbagi rezeki kepada tetangga. Setelah berbagi keluarga ini juga pergi ke rumah sanak saudara yang ada di sekitar lingkungan.

"Yeay asyik dapat duit lebaran, emmm enaknya buat beli apa ya nanti?"

"Heh yang penting itu maaf-maafnya bukan duitnya. Kita harus minta maaf dengan tulus, bukan malah mentingin duit," nasihat Ayah.

"Iya, Ayah." Zafran nyengir.

Mereka pun pergi ke rumah saudara, namun saat akan mengeluarkan sepeda motor, ada tetangga yang akan ke rumah mereka. Mereka mengizinkan mereka untuk masuk ke rumah. Mereka saling bermaaf-maafan, mereka keluar setelah tamu pertama keluar. Keluarga Zafran menunggu mungkin ada tamu yang lain ke rumah Zafran lagi. Setelah beberapa menit menunggu tidak ada tamu lagi, mereka pun akhirnya berangkat ke rumah Saudara, kata Zafran "kunjung-kunjung" yang artinya berkunjung ke rumah orang/saudara dalam bahasa jawa.

Setelah sampai di rumah saudara ternyata keluarga besar Zafran yang ada di Surabaya berkumpul meski ada yang tidak bisa berkumpul karena pekerjaan atau lain lain. Kebetulan yang punya rumah adalah orang yang melayani jasa catering dan pandai memasak.

Maka dari itu banyak jenis jenis jajanan raya yang tersedia salah satunya adalah kesukaan Zafran, yaitu RENGGINANG!!! Rengginang adalah salah satu jajanan hari raya yang sangat disukai Zafran. Jika tidak ada rengginang dalam hari raya rasanya Zafran tidak akan berhari raya.

Zafran langsung bersalam-salaman dengan saudara yang ada disitu. Setelah itu Zafran menemukan toples Tango yang ternyata isinya saat dibuka adalah RENGGINANG!! Zafran langsung menyerbu. Oh iya, Bunda membawa honey lemon yang segar dan langsung dimasukkan ke freezer yang dimiliki oleh tante Dewi, tantenya Zafran yang pandai memasak dan membuat pesanan catering, masakan tante Dewi sangat enak menurut kalangan saudara-saudaranya.

Keluarga Zafran sangat senang berkumpul, bertegur sapa meskipun berada dalam bencana besar yaitu virus corona. Mereka menyempatkan waktu untuk berkumpul bersama, karena waktu tak akan terulangi lagi. Yuk gunakan waktu sebaik mungkin dan jadilah orang yang menyukai atau memiliki sifat yang pantang menyerah terhadap apapun yang terjadi pada kamu sendiri.

Anak pak RT pandai bersiwah

Sulap dimainkan di tengah sawah

Salam penutup yang tak terjawab

Akan ku'ulangi tolong dijawab

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Itulah contoh cerita puasa Ramadhan untuk anak SD yang berkesan hingga memotivasi. Semoga bermanfaat untuk menemani Ramadhan Si Kecil, Bunda.

Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!

(fir/fir)

Read Entire Article
Berita Nusantara Berita Informasi Informasi Berita Berita Indonesia Berita Nusantara online Berita Informasi online Informasi Berita online Berita Indonesia online