Jakarta -
Antibiotik sering digunakan untuk mengobati infeksi tertentu yang disebabkan oleh bakteri. Obat ini bekerja dengan cara menghancurkan dan menghentikan bakteri untuk berkembang biak di dalam tubuh manusia, Bunda.
Meski tergolong aman, minum antibiotik dapat menimbulkan efek samping pada sebagian orang. Ada pula yang mengaitkan efek antibiotik ini pada kesuburan perempuan.
Ya, banyak Bunda khawatir untuk minum antibiotik lantaran takut memengaruhi peluang untuk hamil. Lantas, benarkah minum antibiotik, terutama sebelum pembuahan, dapat memengaruhi kesuburan?
Simak yuk penjelasan lengkapnya berikut ini!
Kata pakar soal minum antibiotik dan pengaruhnya pada kesuburan
Sebuah meta-analisis yang diterbitkan dalam jurnal eClinical Medicine pada Desember 2024, menunjukkan adanya kemungkinan hubungan antara antibiotik yang diminum sebelum pembuahan dengan hasil yang negatif, seperti berkurangnya kesuburan, keguguran, dan cacat bawaan. Namun, seorang ahli toksikologi reproduksi dari Jerman memperingatkan agar tidak menarik kesimpulan yang salah dari hasil temuan ini, Bunda.
"Akan berakibat fatal bila perempuan yang ingin memiliki anak menolak pengobatan antibiotik yang diperlukan karena mereka takut akan kemandulan, keguguran, dan cacat bawaan," kata Wolfgang Paulus, MD, dari Reproductive Toxicology Advisory Center di University Women's Hospital, Jerman, dilansir laman Medscape.
Dalam sebuah wawancara eksklusif, Paulus tak hanya mengkritik kesimpulan penulis, tetapi juga pemilihan studi yang disertakan dalam meta-analisis.
Perlu diketahui ya, studi meta-analisis ini dilakukan oleh Bekalu Kassie Alemu, PhD, dan rekan-rekannya dari Departemen Obstetri dan Ginekologi di Chinese University of Hong Kong. Studi ini mencakup 15 penelitian yang melibatkan lebih dari 1,2 juta perempuan, di mana mereka meneliti bagaimana penggunaan antibiotik sebelum konsepsi (pembuahan) memengaruhi kesuburan dan hasil kehamilan.
Dalam sebagian besar penelitian yang disertakan dalam meta-analisis, kesuburan diperiksa sebagai titik akhir, terutama pada perempuan yang tidak subur. Satu penelitian diketahui hanya melibatkan karyawan apotek Denmark yang menangani antibiotik di tempat kerja.
Kemudian, kemungkinan efek antibiotik prakonsepsi terhadap keguguran diselidiki dalam empat penelitian, sementara dua penelitian difokuskan pada malformasi kongenital.
Ilustrasi Antibiotik/ Foto: iStock
Hasilnya masih belum pasti
Hasil studi menemukan kelainan pada penggunaan antibiotik makrolida dan sulfonamid. Perempuan yang minum antibiotik makrolida, seperti azitromisin, sebelum pembuahan menunjukkan penurunan tingkat kesuburan sebesar 35 persen.
Sedangkan, subjek yang menerima sulfonamid sebelum pembuahan memiliki kemungkinan infertilitas 2,35 kali lipat lebih besar. Namun, hubungan tersebut masih dipertanyakan oleh Paulus.
"Antibiotik makrolida biasanya digunakan untuk klamidia, dan infeksi klamidia merupakan faktor signifikan yang ditemukan pada perempuan dengan masalah kesuburan" ungkapnya.
Menurut Paulus, klamidia sering kali menyebabkan kerusakan, seperti menimbulkan peradangan atau inflamasi di tuba falopi, yang menyebabkan infertilitas tidak dapat diatasi dengan pemberian antibiotik.
Risiko keguguran dan malformasi di hasil studi
Dalam studi ini, tim peneliti juga menemukan hubungan yang signifikan antara penggunaan antibiotik sebelum konsepsi dan hasil kehamilan yang merugikan. Menurut studi, ditemukan peningkatan risiko keguguran sebesar 34 persen dan risiko malformasi kongenital 85 persen lebih tinggi pada penggunaan antibiotik trimetoprim selama prakonsepsi. Temuan ini menyoroti perlunya kehati-hatian terkait penggunaan antibiotik pada Bunda yang berencana untuk hamil.
Sayangnya, hasil temuan ini kembali dibantah oleh Paulus, Bunda. Menurutnya, data terkait risiko malformasi kurang masuk akal karena antibiotik tidak dapat memberikan efek langsung pada janin bila diminum ibu sebelum pembuahan.
"Kebanyakan antibiotik memiliki waktu paruh hanya beberapa jam. Oleh karena itu, antibiotik yang diberikan sebelum konsepsi hampir tidak dapat memiliki efek langsung pada perkembangan embrio," ungkapnya.
Hasil temuan studi lainnya juga mengasumsikan bahwa antibiotik dapat berdampak negatif pada kesehatan reproduksi dengan mengganggu mikrobioma usus. Namun, berkurangnya risiko infertilitas yang terkait dengan antibiotik jenis beta-laktam dan fluorokuinolon memerlukan penyelidikan lebih lanjut.
"Bisa jadi penggunaan antibiotik merusak lingkungan fisiologis, seperti di area vagina. Hal tersebut dapat menyebabkan mikroba yang tidak diinginkan tumbuh subur, yang berujung pada dampak lebih buruk seperti infertilitas dan keguguran," kata Paulus mengakui pernyataan ini.
Secara keseluruhan, Paulus tidak setuju dengan kesimpulan penelitian. Pertama, ia menganggap penelitian yang disertakan dalam meta-analisis ini bersifat observasional dan tidak memperhitungkan efek langsung antibiotik pada hasil yang diperiksa. Kedua, antibiotik kuinolon disorot sebagai hal positif di sini, seolah-olah antibiotik tersebut tidak terlalu bermasalah perempuan yang sedang program hamil.
"Antibiotik kuinolon tidak boleh diberikan selama kehamilan, karena antibiotik tersebut telah menyebabkan masalah pada penelitian hewan, dan antibiotik tersebut tidak boleh digunakan sebelum kehamilan karena profil efek sampingnya," kata Paulus.
Bila Bunda berencana untuk hamil, ada baiknya konsultasikan dulu ke dokter terkait penggunaan antibiotik. Pastikan antibiotik aman dan dikonsumsi sesuai kebutuhan.
Demikian penjelasan terkait hasil studi yang membahas efek antibiotik pada kesuburan perempuan. Semoga informasi ini bermanfaat ya.
Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!
(ank/rap)