TEMPO.CO, Jakarta - Terdakwa kasus dugaan korupsi timah, Harvey Moeis, kembali menjalani persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi atau Tipikor Jakarta Pusat pada Jumat, 6 Desember 2024. Dalam sidang pemeriksaan terdakwa tersebut, terungkap sejumlah fakta menarik tentang gaya hidup suami selebritas Sandra Dewi itu.
Mulai dari memberi hadiah kepada sang istri berupa mobil berbanderol belasan miliar rupiah, sebut Rp50 juta hingga Rp100 juta sebagai uang jajan bulanan, hingga terpaksa berutang saban pekan atau bulan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga usai rekening istrinya turut diblokir.
Tempo merangkum sederet fakta yang terungkap dalam persidangan Harvey Moeis pada Jumat kemarin, 6 Desember 2024:
1. Hadiah mobil harga belasan miliar rupiah untuk istri
Dalam persidangan kemarin, Harvey selaku perpanjangan tangan PT RBT mengaku telah membelikan hadiah untuk sang istri, Sandra Dewi, sebuah mobil mewah bermerek Rolls-Royce senilai Rp15 miliar. Ia mengatakan mobil itu berwarna hitam dan dibeli secara tunai pada sekitar 2023.
“Pembayarannya cash sekitar Rp15 miliar,” ungkap Harvey, seperti dilansir Antara.
Selain mobil Rolls Royce, Harvey juga pernah membelikan Sandra sebanyak satu unit mobil Mini Cooper Countryman F60 berwarna merah untuk hadiah pada ulang tahun sang istri pada 2022. Mobil tersebut, kata dia, dibeli senilai Rp1 miliar dan dibayar secara tunai pula.
Tak hanya kepada istrinya, Harvey mengatakan pernah juga membelikan satu unit mobil Lexus RX300 untuk sang ibu senilai Rp1,5 miliar pada 2019. “Ini saya belikan untuk operasional ibu saya,” katanya.
2. Sebut uang Rp 50 juta hingga Rp 100 juta sebagai uang jajan bulanan
Sebelumnya, dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada Senin, 28 Oktober 2024, terungkap Harvey menerima bayaran Rp 50 juta sampai Rp 100 juta saban bulan dari Direktur Utama PT RBT, Suparta. Saat itu, ia mengaku baru tahu soal uang itu saat mengecek rekening koran ketika diperiksa dalam kasus ini.
Dalam persidangan kemarin, Hakim kembali mencecar Harvey Moeis, soal bayaran Rp 50 juta hingga Rp 100 juta tersebut. Mulanya, hakim bertanya ihwal aset yang diperoleh Harvey selama bekerja dengan Suparta. Namun Harvey menegaskan dirinya tak pernah bekerja di bawah Suparta.
Hakim kemudian bertanya maksud uang Rp 50 sampai 100 juta yang diterima oleh Harvey dari Suparta. Harvey mengatakan uang itu bukan merupakan bayaran dari Suparta. Melainkan, dianggapnya seperti uang jajan. Harvey menganggap Suparta seperti paman yang memberikan saku kepada keponakannya.
“Betul, Yang Mulia, beliau saya anggap om saya sendiri, jadi saya kayak dikasih uang jajan aja, Yang Mulia, saya anggapnya itu, itu pun beliau nggak ngasih tahu saya, main kirim-kirim saja, Yang Mulia,” kata Harvey.
3. Akui berutang setiap pekan atau bulan usai tersandung kasus untuk menghidupi keluarga
Harvey dalam persidangan juga mengaku setiap minggu hingga setiap bulan terpaksa berutang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya sehari-hari. Ia menjelaskan hal itu dilakukan setelah sejumlah rekening miliknya dan milik istrinya, Sandra Dewi, diblokir penyidik Kejaksaan Agung.
“Sampai sekarang, saya tiap bulan harus meminjam uang, karena benar-benar tidak ada lagi uang, rekening yang tidak diblokir itu tidak ada lagi,” kata Harvey
4. Sebut rekening hasil berkarier istrinya juga disita
Harvey bercerita, rekening istrinya yang berasal dari hasil kerja keras selama menjadi aktris ikut diblokir oleh Kejaksaan Agung. Padahal, ia dan istrinya memiliki perjanjian pisah harta. Harvey mulanya mengatakan ada satu atau dua rekening milik Sandra Dewi yang ia tidak pernah tahu.
“Belakangan, saya baru tahu bahwa itu adalah tabungan dia dari pertama merantau ke Jakarta 30 tahun lalu mengejar mimpinya menjadi artis,” ujarnya.
Ia mengatakan istrinya adalah orang paling hemat yang ia kenal. Dia juga mengklaim Sandra Dewi pandai menabung. Lagi-lagi, Harvey mengatakan tidak mengetahui adanya rekening tersebut. “Saya tidak pernah akses, dia juga tidak pernah kasih transfer ke saya, tapi itu diblokir.”
“Nah, ada rekening atau deposito totalnya senilai Rp 33 miliar, deposito Bank Mega,” lanjut penasihat hukum Harvey Moeis.
Kuasa hukum tersebut mengatakan, berdasarkan surat pemberitahuan tahunan atau SPT pajak Sandra Dewi, perpindahan nilai ke rekening tersebut nilainya sama. “Apakah ini ada ‘andil’ saudara untuk menambah nilai deposito ini atau ini murni milik istri terdakwa?”
“Ini adalah rekening yang saya maksudkan tadi, yang saya tidak pernah tahu,” jawab Harvey Moeis. “100 persen itu semuanya hasil kerja keras dia, syuting pagi, siang, malem di tengah hutan dan lain-lain.”
Diketahui, Harvey menjadi terdakwa bersama Helena Lim dan belasan lainnya dalam kasus dugaan korupsi Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk. Adapun Harvey dan Helena disebut menikmati uang haram hasil korupsi timah senilai Rp 420 miliar. Perbuatan tersebut dinilai merugikan negara hingga Rp 300 triliun.
“Perbuatan korupsi ini didakwa merugikan keuangan negara senilai Rp 300 triliun,” ucap Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ardito Muwardi dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu, 31 Juli 2024.
Dalam persidangan pembacaan dakwaan terhadap terdakwa Suranto Wibowo, Amir Syahbana, dan Rusbani alias Bani itu, JPU menjelaskan Harvey selaku perpanjangan tangan dari PT Refined Bangka Tin (RBT) bekerja sama dengan Helena sebagai Manajer PT Quantum Skyline Exchange.
Menurut JPU, terdapat sejumlah cara bagaimana Harvey dan Helena menerima uang haram tersebut. Salah satunya melalui program kerja sama sewa peralatan processing pelogaman timah antara PT Timah Tbk. Dengan PT RBT, CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Bina Sentosa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Tinindo Internusa.
JPU mengatakan, kerja sama itu adalah akal-akalan dari sejumlah pejabat PT Timah dan sejumlah pengusaha swasta yang terlibat. Mereka menyepakati besaran pembayaran sewa peralatan processing pelogaman timah sebesar Rp 3,02 triliun. Angka ini jauh melebihi nilai Harga Pokok Penjualan (HPP) smelter PT Timah dari yang seharusnya senilai Rp 738,93 miliar.
“Sehingga terdapat kemahalan harga sebesar Rp2,28 miliar,” kata JPU.
Amelia Rahima Sari dan Raden Putri berkontribusi dalam penulisan artikel ini