Punya mertua yang suka mencampuri urusan rumah tangga Bunda dan suami? Adakah hukum pidananya? Mari bahas di sini yuk, Bunda.
Tak sedikit pasangan suami-istri muda yang menghadapi masalah rumah tangga bukan karena perselisihan pribadi, melainkan adanya campur tangan dari pihak ketiga, terutama mertua. Fenomena ini cukup sering terjadi di masyarakat Indonesia, di mana orangtua merasa masih memiliki tanggung jawab penuh atas kehidupan anaknya, meski sang anak sudah menikah.
Seringkali campur tangan mertua dimulai dari hal-hal kecil, termasuk mengomentari pola asuh anak, keuangan keluarga, hingga keputusan pribadi suami-istri. Jika dilakukan terus-menerus, campur tangan ini tak hanya menimbulkan ketegangan tapi juga bisa memperkeruh hubungan antara menantu dan mertua, bahkan memicu konflik dalam pernikahan.
Lantas, apakah tindakan mertua yang mencampuri urusan rumah tangga anaknya bisa diproses secara hukum? Apakah ada sanksi pidana untuk hal ini?
Mari dengarkan kata pakar hukum yuk, Bunda.
Adakah hukum pidana jika mertua ikut campur dalam pernikahan anak?
Mengutip detikcom, Fabian A. Broto, S.H., Penyuluh Hukum Ahli Muda dari Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kemenkumham mengungkapkan, orang tua secara hukum memang memiliki kewajiban untuk mendidik dan merawat anaknya. Namun batasan tersebut berhenti ketika sang anak sudah menikah atau dianggap telah mandiri.
Hal ini ditegaskan dalam pasal 45 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyebutkan bahwa kewajiban orangtua berlaku sampai anak menikah atau mampu berdiri sendiri. Bunyi pasal 45 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, yaitu:
"(1) Kedua orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
(2) Kewajiban orangtua yang dimaksud dam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orangtua putus."
Dengan kata lain, campur tangan orangtua (termasuk mertua) dalam urusan rumah tangga anaknya tidak lagi memiliki dasar hukum setelah anak tersebut menikah. Meski niatnya baik, tindakan ini bisa berdampak buruk bahkan menjadi sumber perpecahan dalam rumah tangga.
Campur tangan mertua bisa masuk ranah pidana?
Secara umum, tidak ada aturan pidana khusus yang mengatur larangan mertua mencampuri urusan rumah tangga anaknya. Namun dalam kasus-kasus ekstrem di mana campur tangan tersebut dilakukan secara memaksa, merendahkan, bahkan menimbulkan tekanan psikologis, maka bisa saja diproses secara hukum berdasarkan pasal 335 ayat (1) angka 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang perbuatan tidak menyenangkan.
Bunyi pasal 335 ayat (1) angka 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu:
"Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain;"
Setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-XI/2013 Pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP, selengkapnya berbunyi:
"Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain".
Artinya, jika campur tangan mertua sudah masuk pada kategori tekanan psikologis, ancaman, atau paksaan terhadap keputusan rumah tangga pasangan suami-istri maka bisa saja dilaporkan sebagai tindakan melawan hukum. Namun perlu dicatat, bahwa hukum pidana merupakan ultimum remedium atau langkah terakhir yang ditempuh apabila pendekatan kekeluargaan sudah tidak membuahkan hasil.
Prioritaskan penyelesaian masalah secara kekeluargaan
Mengingat pentingnya keharmonisan keluarga besar, sebaiknya konflik seperti ini diselesaikan secara musyawarah terlebih dahulu. Komunikasi yang terbuka antara menantu dan mertua, serta pemahaman tentang batasan peran masing-masing dalam rumah tangga bisa menjadi solusi terbaik agar tidak terjadi keretakan hubungan.
"Untuk itu apabila terdapat permasalahan rumah tangga, sebaiknya dapat diselesaikan antara Anda dan pasangan Anda sebagai suami-istri terlebih dahulu, dengan tetap melihat kepada tujuan Anda untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal. Namun apabila melibatkan atau terdapat campur tangan orangtua atau orang lain, maka sebaiknya permasalahan yang Anda hadapi dapat disikapi, dicarikan solusi dan diselesaikan secara kekeluargaan sehingga dapat diselesaikan secara kekeluargaan tanpa harus melalui proses hukum," saran Fabian.
Hukum memang memberikan jalan keluar. Namun ketika persoalan menyangkut keluarga, penyelesaian yang mengedepankan nilai kekeluargaan dan saling pengertian jauh lebih bijak.
Ingat, tujuan utama pernikahan adalah membentuk keluarga yang utuh, harmonis, dan saling menghargai tanpa tekanan dari pihak luar.
Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!
(som/som)