Jakarta -
Kebutuhan penukaran uang pecahan mulai meningkat menjelang hari raya Idul Fitri. Kegiatan ini juga tampaknya sudah menjadi tradisi setiap tahun di Indonesia. Namun, benarkah hal ini termasuk riba?
Tukar uang menjelang Lebaran adalah kegiatan umum yang dilakukan untuk mempersiapkan uang baru sebagai Tunjangan Hari Raya (THR) atau untuk diberikan sebagai amplop kepada keluarga dan kerabat.
Namun, tak sedikit pula masyarakat yang bertanya-tanya hukum Islam terkait kegiatan tukar uang ini.
Hukum tukar uang jelang Lebaran dalam Islam
Dalam buku Ada Apa Dengan Riba? Karya Ammi Nur Baits dijelaskan bahwa riba artinya tumbuh dan bertambah. Riba dalam makna luas mencakup semua transaksi yang haram dalam Islam. Lantas, apakah kegiatan tukar uang jelang Lebaran disebut riba?
Hukum praktik penukaran uang bisa dilihat dari dua sisi, yaitu uang sebagai objek yang ditukarkan atau jasa yang disediakan.
Jika dilihat dari uangnya, penukaran uang dengan kelebihan jumlah tertentu hukumnya haram karena termasuk riba. Namun, jika dilihat dari jasanya, hukum penukaran uang dengan kelebihan tertentu menurut syariat adalah mubah atau boleh.
Sebab, transaksi tersebut tergolong ijarah, yakni sejenis jual beli yang produknya berupa jasa dan bukan barang.
Dijelaskan juga bahwa ijarah (Sewa) sebenarnya adalah jual-beli, hanya bedanya ijarah menerima pembatasan tempo. Produk pada ijarah bukan pada barang, tetapi manfaat (Jasa) dari sebuah barang atau jasa dari sebuah tenaga (Aktivitas).
Pendapat serupa juga pernah diungkap oleh Ustaz Ismail Soleh, S.HI, M.HI, terkait praktik penukaran uang.
Mengutip detikcom, ia mengatakan bahwa perbedaan memandang hukum menukar uang muncul karena ketidaksamaan akad penukaran uang. Sebagian menggunakan sudut pandang uang sebagai barang yang diperlukan. Sedangkan yang lain mempertimbangkan jasa orang yang menyediakan layanan penukaran uang jelang Idul Fitri.
Ia pun mengatakan bisnis tukar-menukar uang baru hukumnya boleh saja, asal dengan dasar suka sama suka sesuai firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 29 yang berbunyi sebagai berikut,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْ ۗ وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu.”
Jadi, hukum tukar uang jelang Lebaran dapat Bunda lihat dari dua sisi, sebagai berikut di antaranya:
- Hukumnya haram karena termasuk riba jika bermaksud uang sebagai objek yang ditukarkan dengan kelebihan jumlah tertentu.
- Hukumnya mubah lantaran tergolong transaksi ijarah apabila dilihat dari jasa orang yang menyediakan penukaran uang.
Bagaimana hukum tarif yang ditetapkan dalam jasa tukar uang?
Nilai lebih yang perlu dibayar oleh penukar uang atau konsumen kepada penyedia jasa dimaksudkan sebagai imbalan atau upah atas jasanya. Maka hukumnya diperbolehkan, asalkan untuk membayar jasa bukan barang yang dipertukarkan.
Hal ini pun tercantum dalam ayat suci Al-Qur’an surah At-Thalaq ayat 6 yang berbunyi sebagai berikut:
... فَاِنْ اَرْضَعْنَ لَكُمْ فَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّۚ ... - 6
Artinya:
“Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)-mu, maka berikanlah imbalannya kepada mereka.”
Nah, itulah hukum tukar uang menjelang Lebaran yang dapat Bunda ketahui. Semoga bermanfaat, ya, Bunda.
Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar dan klik di SINI. Gratis!
(asa/som)