Ketahui Hukum Puasa bagi Ibu Menyusui Menurut Islam

2 months ago 73

Jakarta -

Bulan Ramadhan sebentar lagi tiba ya, Bunda. Sebagai pejuang ASI, banyak juga yang ingin turut serta berpuasa. Ketahui hukum puasa bagi ibu menyusui menurut Islam, Bun.

Setiap umat muslim tentunya ingin merasakan ibadah puasa di bulan suci Ramadan. Apalagi, puasa Ramadan termasuk rukun Islam yang harus dilaksanakan oleh umat Islam yang telah mukalaf atau sudah dikenai hukum agama. 

Hukum puasa bagi ibu menyusui

Berpuasa bagi setiap umat muslim pada bulan Ramadhan adalah wajib. Terutama bagi yang sudah balig atau berakal, dan tidak sedang dalam perjalanan (musafir), dan tidak sakit. Hukum wajib berpuasa ini juga berlaku untuk ibu hamil dan menyusui. 

Allah berfirman dalam QS Al Baqarah ayat 183:

"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kami agar kamu bertakwa."

Meskipun menjadi ibadah wajib yang harus dijalankan setiap muslim yang telah baligh dan berakal, terdapat pengecualian hukum puasa bagi ibu hamil dan menyusui.

Kedua kategori ini dalam syariat Islam ternyata memiliki ketentuan yang sama dengan orang yang sakit sehingga dapat meninggalkan puasa Ramadan seperti dikutip dari buku Jejak Ramadan yang ditulis Nova dan Para Pejuang RA, dan diterbitkan Omera Pustaka.

Mengingat semakin tekun berpuasa tentu akan semakin banyak pahala yang didapatkan, seperti apa sebenarnya hukum puasa bagi ibu menyusui?

Agama Islam sendiri telah memberikan keringanan terutama bagi ibu menyusui untuk tidak menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Namun, ketentuan tersebut tidak berlaku bagi seluruh perempuan muslimah yang tengah menyusui. 

Dikutip jurnal Ketentuan Puasa bagi Wanita Hamil dan Menyusui karya Ririn Fauziyah, terdapat penjelasan yang berbeda-beda dari setiap mazhab mengenai hukum puasa untuk ibu menyusui. Berikut penjelasannya:

1. Mazhab Maliki

Mazhab Maliki berpendapat bahwa bagi wanita menyusui dan hamil jika berpuasa akan mendatangkan sakit atau justru menambah parah sakitnya, sedang ia khawatir dengan kondisinya, atau khawatir dengan kondisi anaknya dan khawatir dengan kondisi keduanya (dia dan anaknya), maka diperbolehkan baginya untuk tidak berpuasa.

Dengan catatan, keduanya wajib mengqadha (mengganti) di kemudian hari. Menurut mazhab Maliki, ibu yang menyusui diwajibkan baginya untuk membayar fidyah.

2. Mazhab Hanafi

Menurut mazhab Hanafi apabila ibu hamil atau menyusui khawatir bila menjalankan puasa akan mendatangkan bahaya, diperbolehkan bagi keduanya untuk tidak berpuasa, baik khawatir akan menimbulkan bahaya pada dirinya dan anaknya atau pada dirinya saja, atau pada anaknya saja.

Bagi keduanya jika tidak berpuasa diwajibkan untuk mengqadha puasanya ketika ia mampu melakukannya dan tidak dikenakan hukum untuk membayar fidyah. Dan saat mengqadha puasanya tidak diharuskan untuk urut dari hari ke hari (al-Jaziri 2003,520), seperti dikutip dari laman detikcom.

3. Mazhab Hambali

Mazhab ini berpendapat bahwa diperbolehkan bagi ibu hamil dan menyusui tidak berpuasa bila dikhawatirkan akan menimbulkan bahaya bila menjalankan puasa, baik bahaya bagi dirinya sendiri dan anaknya, atau pada dirinya sendiri.

Dalam kedua kondisi ini, diwajibkan bagi mereka untuk mengqadha puasanya saja tanpa membayar fidyah. Sedang, apabila ia khawatir terhadap anaknya saja, maka keduanya harus mengqadha puasanya disertai dengan membayar fidyah.

4. Mazhab Syafi'i

Mazhab Syafi'i berpendapat bahwa ibu hamil dan menyusui apabila keduanya khawatir bila menjalankan puasa akan menimbulkan bahaya, keduanya diperbolehkan untuk tidak berpuasa. Baik itu khawatir pada dirinya sendiri dan anaknya, ataupun khawatir pada dirinya saja, maupun khawatir pada anaknya saja.

Ketiga kondisi ini mewajibkan keduanya untuk mengqadha puasanya. Sedang pada kondisi ketiga, yakni jika wanita hamil dan menyusui khawatir pada kondisi anaknya saja, keduanya diwajibkan mengqadha puasa disertai dengan membayar fidyah (al-Jaziri 2003, 521).

Selain madhab Hanafi, diwajibkan membayar fidyah dan mengqadha puasa bagi ibu hamil dan menyusui apabila keduanya mengkhawatirkan keselamatan janin atau anaknya saja. Sementara bila keduanya mengkhawatirkan keselamatan dirinya sendiri, keduanya diperbolehkan tidak berpuasa, dan diharuskan mengqadha puasanya saja (Zuhaili 2001, 688).

Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa diperbolehkan memberi makan orang miskin (membayar fidyah) saja tanpa diharuskan mengqadha puasanya. Ini berlaku bagi ibu yang sedang dalam keadaan hamil dan menyusui, ketika tidak ada kesempatan untuk mengqadha yaitu di saat masa kehamilan, menyusui, dan masa-masa setelah hamil.

Tanda-tanda ibu menyusui dilarang berpuasa

Menurut Mua Sutanto, Ketua Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia bahwa jika merasa sangat kelelahan, terutama bagi ibu menyusui yang juga bekerja, dan pasokan ASI terus menurun, disarankan untuk mengurangi aktivitasnya, seperti dikutip dari laman detikHealth.

Bagi ibu menyusui yang juga memiliki profesi lain, disarankan untuk mengurangi aktivitasnya jika mulai merasa lemas selama bulan puasa. Ketua AIMI ini juga menambahkan, jika masih tidak kuat lebih baik tidak usah berpuasa.

"Jika ibu masih mempunyai anak usia 0-6 bulan dan masih ASI sebaiknya ibu tidak perlu berpuasa, demi ASI buat Si Kecil,"kata Yona Shelly, S.Gz, seorang ahli gizi.

Dikatakan Shelly bahwa jika ibu menyusui masih melakukan puasa, dikhawatirkan ASI untuk Si Kecil tidak cukup.

5 Dampak puasa bagi ibu menyusui dan bayi

Mengingat puasa merupakan bentuk pola makan terbatas yang terjadi secara konsisten, beberapa dampak mungkin muncul ketika ibu menyusui melakukannya. Berikut ini beberapa dampak puasa bagi ibu menyusui dan bayi seperti dikutip dari laman News Medical:

1. Merasa lemah
2. Kelelahan
3. Pusing
4. Gangguan pencernaan
5. Malnutrisi

Karenanya, penting untuk menerapkan praktik puasa dengan sehat termasuk dengan berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter terkait kondisi Bunda dan Si Kecil agar praktik puasa tetap aman.

5 Manfaat puasa bagi ibu menyusui

Praktik puasa Ramadhan sebenarnya masih bisa dilakukan dengan kondisi ibu tetap menyusui. Ada beberapa manfaat puasa bagi ibu menyusui yang mungkin dirasakannya ketika puasa dipraktikkan dengan sehat. Berikut ini di antaranya:

1. Mengatur kolesterol jahat

Banyak orang ingin menurunkan berat badan dengan berpuasa. Namun, sebuah penelitian baru-baru ini menemukan bahwa puasa juga memengaruhi profil lipid. Hal ini mengakibatkan penurunan kolesterol darah, yang dapat mencegah serangan jantung, stroke, dan penyakit lainnya.

2. Nafsu makan terkendali

Menjalankan puasa Ramadhan dan puasa memberikan perubahan positif pada gaya hidup dan sistem pencernaan. Saat tubuh terbiasa makan lebih sedikit, sistem pencernaan Bunda mendapat kesempatan untuk beristirahat dan perut secara bertahap menyusut. Hal ini mengurangi nafsu makan dan hasilnya dapat bertahan lebih lama daripada banyak tren diet seperti dikutip dari laman Clevelandclinic.

3. Detoksifikasi

Puasa tidak hanya menggunakan cadangan lemak tetapi juga membersihkan tubuh dari racun berbahaya yang mungkin ada dalam timbunan lemak. Dengan sistem pencernaan yang membaik selama sebulan, tubuh secara alami akan melakukan detoksifikasi, sehingga Bunda berkesempatan untuk melanjutkan gaya hidup yang lebih sehat setelah Ramadan.

4. Suasana hati dan kejernihan mental meningkat

Puasa dapat menjadi metode untuk 'memberikan tenaga tambahan' pada otak, meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan sel-sel otak baru, yang pada gilirannya, mempertajam respons terhadap informasi di dunia sekitar kita. Penelitian juga menunjukkan bahwa puasa juga dapat membuat otak lebih tangguh terhadap stres, lebih mudah beradaptasi terhadap perubahan, dan dapat meningkatkan suasana hati, daya ingat, dan bahkan kapasitas belajar.

5. Menjaga daya tahan tubuh

Seperti diketahui puasa dapat merangsang sel-sel darah putih untuk bekerja lebih aktif dalam melawan kuman penyebab penyakit. Dengan puasa, tentunya dapat membantu mengurangi peradangan di dalam tubuh sehingga busui cenderung tidak mudah sakit.

Cara membayar fidyah ibu menyusui yang tidak puasa

Fidyah diambil dari kata fadaa artinya mengganti atau menebus. Bagi beberapa orang yang tidak mampu menjalankan ibadah puasa dengan kriteria tertentu, diperbolehkan tidak berpuasa serta tidak harus menggantinya di lain waktu. Namun, sebagai gantinya diwajibkan untuk membayar fidyah.

Ada ketentuan tentang siapa saja yang boleh tidak berpuasa. Hal ini tertuang dalam surat Al-Baqarah ayat 184.

”(Yaitu) Dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Q.S. Al Baqarah: 184)

Adapun kriteria orang yang bisa membayar fidyah di antaranya:

1. Orang tua renta yang tidak memungkinkannya untuk berpuasa.
2. Orang sakit parah yang kecil kemungkinan sembuh.
3. Ibu hamil atau menyusui yang jika berpuasa khawatir dengan kondisi diri atau bayinya (atas rekomendasi dokter).

Fidyah wajib dilakukan untuk mengganti ibadah puasa dengan membayar sesuai jumlah har ipuasa yang ditinggalkan untuk satu orang. Nantinya, makanan itu disumbangkan kepada orang miskin seperti dikutip dari laman Baznas.

Menurut Imam Malik, Imam As-Syafi'I, fidyah yang harus dibayarkan sebesar 1 mud gandum (kira-kira 6 ons = 675 gram = 0,75 kg atau seukuran telapak tangan yang ditengadahkan saat berdoa).

Sedangkan menurut Ulama Hanafiyah, fidyah yang harus dikeluarkan sebesar 2 mud atau setara 1/2 sha' gandum. (Jika 1 sha' setara 4 mud = sekitar 3 kg, maka 1/2 sha' berarti sekitar 1,5 kg). Aturan kedua ini biasanya digunakan untuk orang yang membayar fidyah berupa beras.

Misalnya saja, untuk cara membayar fidyah ibu hamil bisa berupa makanan pokok. Misal, ia tidak puasa 30 hari, maka ia harus menyediakan fidyah 30 takar di mana masing-masing 1,5 kg. Fidyah boleh dibayarkan kepada 30 orang fakir miskin atau beberapa orang saja (misal 2 orang, berarti masing-masing dapat 15 takar).

Menurut kalangan Hanafiyah, fidyah boleh dibayarkan dalam bentuk uang sesuai dengan takaran yang berlaku seperti 1,5 kilogram makanan pokok per hari dikonversi menjadi rupiah.

Cara membayar fidyah puasa dengan uang versi Hanafiyah adalah memberikan nominal uang yang sebanding dengan harga kurma atau anggur seberat 3,25 kilogram untuk per hari puasa yang ditinggalkan, selebihnya mengikuti kelipatan puasanya.

Berdasarkan SK Ketua BAZNAS No. 07 Tahun 2023 tentang Zakat Fitrah dan Fidyah untuk wilayah Ibukota DKI Jakarta Raya dan sekitarnya, ditetapkan bahwa nilai fidyah dalam bentuk uang sebesar Rp60.000,-/hari/jiwa

Semoga informasinya membantu ya, Bunda.

Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!

(pri/pri)

Read Entire Article
Berita Nusantara Berita Informasi Informasi Berita Berita Indonesia Berita Nusantara online Berita Informasi online Informasi Berita online Berita Indonesia online