Mengapa Jumlah Angka Kehamilan di Korea Selatan Semakin Menurun? Ini Alasannya...

7 hours ago 1

Jakarta -

Korea Selatan (Korsel) menjadi salah satu negara dengan angka kehamilan yang rendah di dunia. Angkanya semakin menurun setiap tahun, Bunda.

Padahal, Korea Selatan bersama Jepang dan China pernah menjadi negara dengan angka kelahiran yang cukup tinggi. Hingga tahun 1970-an, perempuan di tiga negara tersebut rata-rata hamil dan melahirkan lebih dari lima anak. Demikian seperti melansir laman Time.

Selama enam tahun berturut-turut, Korea Selatan telah mencatat angka kelahiran terendah di dunia. Dalam data yang dirilis pada 28 Februari 2024, angka kelahiran turun ke titik terendah dari 0,84 anak per pasangan di tahun 2022 menjadi 0,81 di tahun 2023.

Pada tahun 2024, angka tersebut diproyeksikan akan turun lebih jauh lagi menjadi 0,68. Jika tren terus berlanjut, populasi Korea Selatan diperkirakan akan berkurang setengahnya pada tahun 2100.

Berbagai cara telah dilakukan pemerintah Korea Selatan untuk menaikkan angka kehamilan dan kelahiran. Salah satunya adalah memberikan total bantuan tunai sebesar 29,6 juta won atau hampir setara Rp350 juta pada bayi yang lahir di tahun 2024.

Penyebab angka kehamilan dan kelahiran rendah di Korsel

Ada beragam alasan kenapa angka kehamilan dan kelahiran menjadi rendah di Korea Selatan. Berikut beberapa alasannya menurut para ahli, seperti dikutip dari beberapa sumber:

1. Faktor ekonomi

Secara umum, angka kesuburan cenderung menurun ketika suatu negara mengalami pertumbuhan ekonomi dan kondisi kehidupan yang lebih baik. Hal inilah yang tengah terjadi di Korea Selatan selama beberapa tahun terakhir, Bunda.

Pertumbuhan ekonomi secara tak langsung dapat membuat semua harga menjadi naik. Harga rumah yang tinggi, biaya pendidikan, serta kecemasan akan finansial, menjadi hal yang membuat pasangan muda Korea Selatan enggan membangun keluarga.

Bila merujuk pada pendidikan anak, negara Korea Selatan memang dikenal cukup kompetitif. Sejak usia empat tahun, anak-anak dikirim ke berbagai kelas mulai dari matematika, Bahasa Inggris, hingga musik, dan Taekwondo. Anak akan dianggap gagal bila tidak memiliki kompetensi atau ikut serta dalam kelas-kelas tersebut.

Jadi, tak heran bila hal tersebut menjadikan Korea Selatan sebagai negara termahal di dunia dalam membesarkan anak.

Ilustrasi Tes KehamilanIlustrasi Tes Kehamilan/ Foto: Getty Images/iStockphoto

2. Budaya patriaki masih ditemukan

Selain faktor ekonomi, ada beberapa alasan lain pasangan di Negeri Ginseng enggan memiliki anak. Lee Jin-song, seorang penulis asal Korea Selatan mengatakan bahwa melahirkan dan mengurus anak masih dikaitkan dengan budaya patriaki di negara ini.

"Pernikahan, melahirkan, dan mengasuh anak membutuhkan terlalu banyak pengorbanan bagi perempuan dalam masyarakat patriarki, terutama dalam satu dekade terakhir. Jadi, mereka mulai menjajaki kemungkinan untuk bisa hidup dengan baik tanpa menikah," ujarnya, dilansir laman The Korean Herald.

Seorang perempuan bernama Yejin, misalnya, memutuskan untuk tidak menikah dan memiliki anak karena stigma di negara Korsel. Tak hanya sulit menemukan pria yang cocok, Yejin juga takut dihakimi bila memutuskan memiliki anak tanpa menikah.

"Sulit untuk menemukan pria yang cocok diajak berkencan di Korea atau pria yang mau berbagi tugas dan mengurus anak secara setara. Dan perempuan yang punya bayi sendirian akan dihakimi," katanya, dikutip dari BBC.

3. Takut tidak bisa kembali kerja setelah melahirkan

Ketakutan tidak bisa kembali bekerja setelah melahirkan juga menjadi alasan banyak perempuan di Korsel enggan menikah dan punya anak. Para perempuan di Korea Selatan masih sering merasa dipaksa untuk memilih antara barkarier atau berkeluarga. Akibatnya, semakin banyak perempuan memilih untuk tidak menikah, Bunda.

Contoh kasus tersebut dibagikan oleh seorang perempuan 28 tahun yang bekerja di bagian SDM. Perempuan yang tak mau diungkap identitasnya ini mengatakan bahwa ia pernah melihat para ibu yang dipaksa meninggalkan pekerjaan mereka, atau tidak dipromosikan setelah mengambil cuti hamil. Hal tersebut cukup meyakinkannya untuk tidak hamil dan punya anak.

Faktanya, baik laki-laki atau perempuan di Korea memang berhak atas cuti selama satu tahun, selama 8 tahun pertama kehidupan anak mereka. Namun pada tahun 2022, hanya 7 persen ayah baru yang menggunakan sebagian cuti mereka, sementara 70 persen ibu baru mengambil cuti ini.

Perlu diketahui ya, perempuan Korea Selatan merupakan kelompok yang paling berpendidikan di negara-negara Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Namun, negara ini memiliki kesenjangan gaji berdasarkan gender yang terburuk, serta proporsi perempuan yang menganggur lebih tinggi dari rata-rata dibandingkan laki-laki.

Demikian beberapa alasan angka kehamilan dan kelahiran di Korea Selatan menurun setiap tahunnya.

Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!

(ank/rap)

Read Entire Article
Berita Nusantara Berita Informasi Informasi Berita Berita Indonesia Berita Nusantara online Berita Informasi online Informasi Berita online Berita Indonesia online