TEMPO.CO, Jakarta - Ormas Islam Ahlulbait Indonesia (ABI) menggelar Musyawarah Tertinggi (MUSTI) dan Muktamar ke IV di Jakarta pada 6 hingga 8 Desember 2024. Mengusung tema “Organisasi Berbudaya dan Berkearifan untuk Khidmat Keumatan dan Kebangsaan”, kegiatan ini menyoroti peran penting budaya dalam mendorong kemajuan organisasi dan masyarakat.
Ketua Umum DPP ABI, Habib Zahir bin Yahya, dalam pidatonya menegaskan bahwa budaya adalah elemen dasar untuk membangun tata nilai yang kokoh. “ABI tidak memiliki pilihan lain kecuali segera mengidentifikasi budaya-budaya yang bermuara dari tata nilai dan keyakinan yang kami miliki,” ujarnya, dalam rilis yang dikirimkan.
Selain itu, ia menekankan pentingnya konsolidasi dengan masyarakat melalui pendekatan yang mengedepankan kearifan lokal. Menurutnya, mensosialisasikan nilai-nilai budaya tersebut harus dilakukan dengan prinsip kehati-hatian dan kreativitas lokal agar tidak memunculkan stigma atau diskriminasi.
Zahir menyoroti tantangan yang dihadapi ormas-ormas keagamaan, seperti diskriminasi dan sentimen sektarian yang masih kerap terjadi meskipun konstitusi menjamin kebebasan berekspresi. Ia menilai bahwa penguatan budaya harus menjadi prioritas utama, dengan strategi yang matang dan terencana agar nilai-nilai tersebut dapat diekspresikan tanpa memunculkan prasangka.
Zahir mendorong ABI untuk berkolaborasi dengan organisasi Islam dan institusi lainnya dalam menyosialisasikan nilai-nilai budaya yang dijunjung. Menurutnya, kerja sama lintas organisasi sangat penting untuk memperkenalkan dan mempertahankan budaya yang menjadi ciri khas komunitas ABI.
Muktamar ke IV ini menjadi momentum penting bagi ABI untuk melangkah maju sebagai organisasi yang berkontribusi bagi masyarakat dan bangsa. Melalui pendekatan berbasis budaya, ABI berharap dapat mewujudkan masyarakat yang inklusif, kearifan, dan bebas dari diskriminasi.
Hadir pada acara tersebut sejumlah tokoh agama dan masyarakat, salah satunya Ketua Dewan Syuro Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (IJABI) dan perwakilan keduataan Iran di Jakarta.
Dalam sesi seminar acara tersebut, peneliti BRIN, Ahmad Najib Burhani, menjelaskan peran budaya dalam membentuk identitas dan keberlanjutan ormas. Ia membandingkan ormas-ormas besar seperti NU, Muhammadiyah, ABI, dan IJABI. Menurutnya, meski terdapat perbedaan, semua ormas ini memiliki irisan budaya yang memperkuat keberlanjutan mereka.
“Ilmu pengetahuan adalah budaya. Dalam tradisi Syiah, sains dan inovasi menjadi bagian kuat dari identitas budaya yang bisa diterima luas di masyarakat tanpa kontroversi berlebihan,” ujar Najib.
Sementara itu, anggota Dewan Syuro ABI, Musa Kazim, menyoroti peran positif komunitas Syiah di Indonesia. “Kecintaan kepada Ahlulbait menjadi penggerak utama budaya Syiah. Manifestasinya terlihat dalam tradisi wirid, tawasul, dan kontribusi nyata dalam kehidupan bermasyarakat,” ujarnya.
Musa menegaskan bahwa ABI telah membuktikan kemampuannya hidup berdampingan dengan berbagai golongan keagamaan di Indonesia, baik Sunni, Syiah, maupun Muhammadiyah.