Jakarta -
Depresi pasca melahirkan atau depresi postpartum tidak boleh dianggap sepele ya. Kondisi ini dapat memengaruhi hidup Bunda hingga pola pengasuhan ke bayi yang baru lahir.
Studi terbaru menemukan bahwa depresi pasca melahirkan mungkin dapat dicegah selama kehamilan. Studi yang diterbitkan di jurnal Neuropsychopharmacology pada 30 Januari 2025 ini mengarahkan tes darah untuk mengidentifikasi perempuan yang berisiko mengalami depresi.
Penelitian menunjukkan bahwa ibu hamil mungkin memiliki kadar molekul khas tertentu di dalam darah yang dapat menjadi peringatan bahwa mereka berisiko mengalami depresi pasca melahirkan. Molekul-molekul yang disebut steroid neuroaktif ini berasal dari progesteron, yakni hormon yang memainkan peran penting dalam kehamilan dan siklus haid.
Menurut para peneliti dari School of Medicine and Weill Cornell Medicine, melakukan pengukuran molekul-molekul tersebut melalui tes darah sederhana dapat membantu dokter mendeteksi depresi pasca persalinan, dan memungkinkan ibu hamil mendapat perawatan lebih cepat.
"Mempelajari depresi pasca melahirkan memberi kita cara untuk mengidentifikasi perubahan biologis yang terjadi sebelum seseorang menjadi depresi karena waktu terjadinya depresi ini dapat diprediksi," ungkap peneliti dan ahli psikiatri reproduksi di UVA Health and the University of Virginia School of Medicine, Jennifer Payne, MD, dilansir laman resmi University of Virginia.
Studi ini berfokus pada peran hormon progesteron dan 'jalur metabolismenya' dalam tubuh. Para peneliti mengukur kadar steroid neuroaktif yang berasal dari progesteron dalam darah 136 ibu hamil selama trimester kedua dan ketiga. Dari jumlah tersebut, 33 orang mengalami depresi pasca persalinan setelah melahirkan.
Hasil studi menganggap bahwa dua steroid neuroaktif, yakni pregnanolon dan isoallopregnanolon, tampaknya memengaruhi risiko perempuan terkena depresi pasca melahirkan. Perlu diketahui, pregnanolon bekerja pada reseptor seluler tertentu untuk mengurangi stres. Sebaliknya, isoallopregnanolon bekerja pada reseptor yang sama untuk meningkatkan stres.
Menurut temuan peneliti, pada trimester ketiga, perempuan yang mengalami depresi pasca melahirkan memiliki rasio pregnanolon yang lebih rendah dan rasio isoallopregnanolon yang lebih tinggi, dibandingkan dengan mereka yang tidak mengalaminya. Sementara itu, meningkatnya kadar progesteron pada akhir kehamilan juga dikaitkan dengan risiko depresi yang lebih tinggi.
Ilustrasi Depresi Pasca Melahirkan/ Foto: Getty Images/iStockphoto/Nuttawan Jayawan
Para peneliti berencana untuk mencoba mereplikasi hasil studi ini pada kelompok yang lebih besar dan lebih beragam. Harapannya, uji klinis dapat dikembangkan untuk memprediksi risiko depresi pasca melahirkan, Bunda.
Lebih lanjut, mereka juga ingin mencari cara mencegah depresi dengan penggunaan salah satu dari dua obat, yakni brexanolone dan zuranolone. Kedua obat tersebut telah tersedia untuk mengobati depresi pasca melahirkan.
"Kami tidak tahu apakah obat-obatan ini akan berfungsi sebagai tindakan pencegahan bagi orang-orang yang berisiko mengalami depresi pasca persalinan. Tetapi berdasarkan temuan kami, obat-obatan ini berpotensi untuk mencegah [perkembangannya]," ujar peneliti lain, Lauren Osborne, MD.
Menurut Osborne, fase setelah melahirkan adalah satu-satunya waktu dalam rentang hidup seseorang di mana ia akhirnya mengetahui kondisi medis yang dialami. Melalui penelitian ini, Osborne berharap banyak kondisi kejiwaan yang juga dapat dideteksi lebih awal.
"Jika kita dapat mengurainya dan menemukan prediktornya, kita tidak hanya akan membantu perempuan, tetapi juga dapat memberi kita kemajuan dalam mencoba menemukan prediktor untuk penyakit kejiwaan lainnya," kata Osborne.
Apa itu depresi pasca melahirkan?
Depresi pasca melahirkan memengaruhi 10 hingga 15 persen ibu baru. Berbeda dengan baby blues, depresi pasca melahirkan adalah kondisi jangka panjang yang dapat membuat seorang Bunda terus-menerus merasa sedih, cemas, putus asa, dan merasa tidak dapat menjalin ikatan dengan bayinya.
Menurut American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG), seseorang dengan depresi postpartum tidak dapat melakukan tugas sehari-hari, termasuk mengasuh anaknya. Kondisi tersebut dapat terjadi hingga 1 tahun setelah melahirkan, namun paling sering dimulai sekitar 1 sampai 3 minggu setelah melahirkan.
Ciri depresi pasca melahirkan
Depresi postpartum dapat ditandai dengan ciri awal yang perlu Bunda waspadai. Berikut 12 cirinya, seperti melansir dari beberapa sumber:
- Baby blues tak kunjung membaik.
- Kesedihan dan rasa bersalah memenuhi pikiran.
- Kehilangan minat pada hal-hal yang sebelumnya disukai.
- Kesulitan mengambil keputusan.
- Muncul rasa khawatir Bunda tidak akan menjadi ibu yang baik untuk Si Kecil.
- Pola tidur berubah, cenderung sulit tidur bahkan ketika anak terlelap.
- Merasa kewalahan dalam segala hal, termasuk mengurus anak.
- Tidak tertarik melihat atau dekat dengan anak yang baru lahir.
- Kerap merasa cemas dan sulit berkonsentrasi
- Sering merasa lelah atau tampak tak berenergi.
- Perubahan pola makan.
- Mengalami sakit kepala kronis, nyeri tubuh, atau nyeri dan masalah perut
Depresi postpartum memang dapat muncul setelah melahirkan. Namun dalam beberapa kasus, depresi bisa terjadi sebelum Bunda melahirkan hingga berlanjut sampak bayi lahir. Faktanya, siapa pun yang mengalami gejala depresi atau kecemasan, baik sebelum atau selama kehamilan, memiliki risiko depresi postpartum.
"Gejala apa pun yang mungkin timbul pasca persalinan dapat dimulai sejak kehamilan," ujar psikolog klinis yang ahli dalam kondisi pasca persalinan, Shoshana Bennett, Ph.D., dikutip dari Parents.
Demikian penjelasan terkait hasil studi yang menemukan cara mendeteksi risiko depresi pasca melahirkan dan ciri-ciri yang perlu diwaspadai. Semoga informasi ini bermanfaat ya.
Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!
(ank/rap)