Soal Kasus Suap Ketua PN Jaksel, Hinca Panjaitan: Banyak Hakim Bernaluri Pedagang

14 hours ago 5

TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi III DPR Hinca Panjaitan mengkritik lemahnya moralitas para hakim usai mencuatnya kasus suap terhadap Ketua Pengadilan Negeri atau PN Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta. Hinca menilai di lapangan banyak hakim yang memutus perkara pengadilan dengan naluri berdagang.

”Akhirnya, keadilan jadi komoditas, seolah bisa dijual dan dibeli,” ujar Hinca kepada Tempo pada Senin malam, 14 April 2025. Menurut Hinca, suap kepada aparat penegak hukum itu disebabkan karena hakim melihat manfaat ekonomi dari suatu putusan perkara. Hakim itu, kata Hinca, sudah mengkalkulasi keuntungan dari penjatuhan suatu vonis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dengan adanya kekosongan moralitas ditambah dengan longgarnya pengawasan lembaga peradilan, maka Hinca menyebut telah terjadi pergeseran nilai dalam sistem keadilan. “(Sehingga) putusan hukum diperdagangkan atas nama kepentingan,” kata dia.

Menurut Hinca masalah suap terhadap hakim tidak akan langsung selesai melalui penambahan penghasilan. Kendati gaji dan tunjangan hakim dijanjikan naik oleh Presiden Prabowo Subianto, menurut Hinca para hakim tetap bisa memilih untuk mengeluarkan vonis ringan atau vonis bebas jika tak memiliki moral.

“Kita bisa menambah angka pendapatan setinggi langit, tetapi bila peluang ‘lolos dari hukuman’ lebih menggoda, akhirnya transaksi hitam menjadi pilihan ‘rasional’,” kata mantan Sekretaris Jenderal Partai Demokrati itu. Ia menggarisbawahi selama mentalitas hakim rendah dan sistem pengawasan lembaga peradilan rapuh, maka godaan suap akan menemukan jalannya.

Oleh sebab itu, anggota parlemen yang berlatar belakang advokat ini mendorong evaluasi terhadap lembaga peradilan termasuk Komisi Yudisial. Ia mendesak Komisi Yudisial untuk memperkuat mekanisme pengawasan terhadap hakim.

Senada dengan Hinca Panjaitan, anggota Komisi III DPR Abdullah juga mendukung reformasi sistem peradilan. “Mulai dari memperbaiki sistem perekrutan hakim, meningkatkan pengawasan internal dan eksternal, meningkatkan kesejahteraan hakim, dan terus memperbaiki sistem birokrasi lembaga peradilan,” ujar Abdullah kepada Tempo, Senin.

Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu berpendapat alasan hakim menerima suap bukan hanya perihal ekonomi. Namun juga didorong rendahnya moralitas dan integritas hakim yang kurang memadai. Abdullah mendesak pemerintah untuk berkomitmen mereformasi sistem peradilan dengan meningkatkan pengawasan, termasuk kepada para hakim.

Kejaksaan Agung sebelumnya menetapkan empat orang hakim sebagai tersangka dalam kasus suap pengaturan putusan lepas (onslag) dalam perkara korupsi pemberian izin ekspor crude palm oil di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Keempatnya adalah mantan Wakil Ketua PN Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta, serta tiga anggota majelis hakim, yaitu Djuyamto sebagai ketua majelis, Agam Syarief Baharuddin sebagai anggota, dan Ali Muhtarom sebagai hakim ad hoc.

Ketiga anggota majelis hakim itu ditunjuk langsung oleh Arif Nuryanta, yang diduga menerima suap senilai Rp 60 miliar, untuk menangani perkara korupsi ekspor CPO. Pada 19 Maret 2024, majelis hakim memutus perkara tersebut dengan vonis onslag. Kasus ini melibatkan tiga perusahaan besar, yakni PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group.

Sementara itu, Mahkamah Agung telah membentuk Satuan Tugas Khusus atau Satgasus di bawah Badan Pengawasan (Bawas) untuk memperketat pengawasan etik dan kedisiplinan hakim. Satgas ini akan beroperasi di empat lingkungan peradilan di wilayah hukum Jakarta.

Ervana Trikarinaputri berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Read Entire Article
Berita Nusantara Berita Informasi Informasi Berita Berita Indonesia Berita Nusantara online Berita Informasi online Informasi Berita online Berita Indonesia online