Ibu hamil perlu menghindari paparan polusi karena berbahaya untuk kesehatan. Studi terbaru menemukan dampak polusi udara dan cuaca ekstrem dapat meningkatkan risiko pada kehamilan, Bunda.
Studi yang diterbitkan di jurnal Urban Climate belum lama ini menunjukkan peningkatan risiko keterlambatan persalinan pada ibu hamil yang terpapar polusi udara dan suhu ekstrem. Demikian seperti dilansir laman Hindustan Times.
Meski meningkatnya suhu panas yang disebabkan oleh perubahan iklim telah dikaitkan dengan kelahiran prematur, para peneliti mengatakan bahwa ini menjadi studi pertama yang meneliti bagaimana paparan iklim dapat memengaruhi kesehatan ibu hamil.
"Kita tahu bahwa 'lahir terlalu cepat' atau kelahiran prematur memiliki risiko kesehatan yang terdokumentasi dengan baik, tetapi sedikit perhatian telah diberikan pada risiko yang terkait dengan 'kelahiran terlalu lambat'," kata penulis utama dari Curtin University's School of Population Healt, Sylvester Dodzi Nyadanu.
Menurut Nyadanu, studi yang dilakukan oleh peneliti dari Curtin University ini menunjukkan bahwa paparan polusi udara dan stres biotermal selama kehamilan dapat meningkatkan kemungkinan kehamilan yang berkepanjangan, terutama di kalangan ibu berusia di atas 35 tahun, ibu yang baru pertama kali melahirkan, ibu yang tinggal di daerah perkotaan, dan mereka yang memiliki kehamilan yang rumit.
Detail studi tentang dampak polusi pada kehamilan
Pada studi ini, para peneliti menganalisis data kelahiran di negara bagian Australia Barat. Catatan kelahiran ini berisi informasi sosiodemografi dan klinis dari ibu dan bayi, Bunda.
Dari hasil studi, 12 persen kelahiran yang diteliti ditemukan mengakibatkan 'kehamilan yang berkepanjangan'. Menurut tim penulis, paparan biotermal dan PM2.5 atau partikel polusi udara terkecil yang ekstrem dapat meningkatkan risiko kehamilan yang berkepanjangan.
"Temuan kami memberikan bukti epidemiologis pertama tentang hubungan antara polusi udara partikulat halus dan stres biotermal pada lama kehamilan hingga lebih dari 41 minggu pada kehamilan lengkap atau akhir hingga pasca persalinan, dengan kerentanan sosiodemografi," ujar para penulis.
Nyadanu menjelaskan bahwa faktor stres lingkungan, seperti paparan iklim ekstrem, telah dikaitkan dengan respons stres pada ibu hamil, dengan gangguan berikutnya dalam aktivitas endokrin dan inflamasi, yang meningkat menjelang akhir kehamilan.
"Hal tersebut dapat memperpendek usia kehamilan, yang menyebabkan kelahiran prematur, atau memperpanjang usia kehamilan, yang dalam beberapa kasus mengakibatkan kehamilan berkepanjangan," kata penulis.
Nah, karena cuaca ekstrem lebih sering terjadi di bawah pemanasan yang berkelanjutan, maka diperlukan lebih banyak penelitian untuk memahami bagaimana kesehatan ibu dan anak dapat terpengaruh oleh hal tersebut, Bunda.
"Penyedia layanan kesehatan, pembuat kebijakan, dan ibu hamil, khususnya yang termasuk dalam kelompok rentan, harus mempertimbangkan paparan terkait iklim saat menilai risiko kehamilan dan merencanakan intervensi," ungkap Nyadanu.
Paparan polusi juga dapat memicu depresi pasca persalinan
Ilustrasi Polusi Udara dan Ibu Hamil/ Foto: Getty Images/iStockphoto/pcess609
Tak hanya berisiko pada kehamilan, paparan polusi udara juga dapat memicu depresi pasca melahirkan. Dampak tersebut pernah dipaparkan dalam studi yang akan diterbitkan pada November 2024 di jurnal Science of the Total Environment.
Studi ini menemukan bahwa perempuan yang terpapar nitrogen dioksida (NO2) atau partikulat terhirup (PM10) dalam kadar tinggi selama trimester kedua kehamilan, berisiko mengalami depresi pasca persalinan hampir empat kali lipat lebih tinggi, dibandingkan dengan ibu hamil yang terpapar polutan udara dalam kadar rendah. Risiko yang lebih tinggi tersebut bertahan setidaknya selama tiga tahun.
"Temuan yang benar-benar baru dari penelitian ini adalah bahwa kami mampu memperluas pemeriksaan depresi melampaui tahun pertama pasca persalinan, dan telah menunjukkan efek berkelanjutan dari polusi udara selama kehamilan terhadap gejala depresi hingga tiga tahun pasca persalinan," kata profesor di Keck School of Medicine dan penulis utama studi, Tracy Bastain, Ph.D, melansir dari Medical Xpress.
Perlu diketahui ya, nitrogen dioksida (NO2) berasal dari pembakaran bahan bakar fosil pada kendaraan dan pembangkit listrik. Sementara itu, partikulat (PM10) merujuk pada partikel dengan diameter kurang dari 10 mikrometer, dapat mencakup segala hal mulai dari debu, serbuk sari, hingga polutan dari pabrik, dan kebakaran hutan.
Cara mencegah dampak polusi udara pada ibu hamil
Pencegahan dampak polusi udara selama hamil dapat dilakukan dengan menerapkan protokol kesehatan (prokes) 6M+1S, yang dicanangkan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Berikut isi prokes 6M+1S:
- Memeriksa kualitas udara melalui aplikasi atau website.
- Mengurangi aktivitas luar ruangan dan menutup ventilasi rumah/kantor/sekolah/tempat umum di saat polusi udara tinggi.
- Menggunakan penjernih udara dalam ruangan.
- Menghindari sumber polusi dan asap rokok.
- Menggunakan masker saat polusi udara tinggi.
- Melaksanakan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat.
- Segera konsultasi daring/luring dengan tenaga kesehatan jika muncul keluhan pernapasan.
Salah satu poin terpenting dari prokes adalah penggunaan masker saat berada di luar rumah. Masker dengan filter particulate matter (PM) 2,5 sangat disarankan bagi ibu hamil yang masuk kelompok rentan atau sensitif.
Demikian penjelasan terkait studi terbaru tentang dampak polusi udara dan cuaca eketrem pada kehamilan. Semoga informasi ini bermanfaat ya.
Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!
Simak juga dampak pada janin saat ibu hamil terkena ISPA, dalam video berikut:
(ank/rap)
Loading...