TEMPO.CO, Jakarta - Bivitri Susanti, dosen hukum di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera dalam seminar nasional yang diselenggarakan program studi Ilmu Politik Unpad bertemakan “Demokrasi di Persimpangan Jalan: Mau Dibawa Ke Mana Demokrasi Kita?” menyebut jalan untuk mendorong langkah demokrasi yang lebih baik adalah dengan terlebih dahulu membongkar pikiran masyarakat terkait demokrasi itu sendiri. Menurutnya, jika ingin memajukan demokrasi atau membentuk demokrasi yang baru, jangan membuatnya sebagai program.
“Karena banyak banget dalam dialog seperti ini tentang kegiatan, demokrasi itu ga bisa diukur secara waktu. Bukan begitu cara kita melihat demokrasi dan politik,” kata Bivitri dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan Program Studi Ilmu Politik Unpad bertemakan “Demokrasi di Persimpangan Jalan: Mau Dibawa Ke Mana Demokrasi Kita?” Kamis, 14 November 2024 di Bandung.
Menurutnya, masyarakat harus menerapkan skeptis dengan memikirkan apa yang bisa dibangun bersama dalam demokrasi ini. Ia menyebut dua aspek yang dapat dilakukan, yaitu institusi formal dan kewargaan.
Ia menyebut kebiasaan berpikir dengan tolok ukur keberhasilan secara kuantitas dalam institusi formal harus dibenahi. Salah satu contoh yang ia sebut adalah tentang indeks fungsi pemerintah.
“Contohnya functioning of government, berfungsi sih government kita, tapi berfungsinya untuk siapa?” kata Bivitri.
Ia juga menyebut soal pengukuran political participatoin, padahal hal yang harus lebih didalami adalah alasan masyarakat mau berpartisipasi dalam pemilu.
“Orang berpartisipasi dalam pemilu alasannya apa, kebanyakan karena bansos, karena serangan fajar. Bukan untuk alasan memperbaiki hidupnya, kesejahteraannya, dan sebagainya,” kata Bivitri.
Bivitri juga menyoal prosedur demokrasi itu sendiri. Menurutnya partai politik menjadi penyebab paling merusak karena kursi DPR sebagai perancang undang-undang, banyak diduduki oleh para kader partai
“Contohnya jangan ada threshold, tapi jadinya ada karena yang bikin undang-undang kan DPR, orang-orang partai,” katanya.
Bivitri juga menyebut tentang pelemahan lembaga demokrasi. Misalnya perubahan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK dan dimasukkannya pimpinan-pimpinan yang bermasalah pada lembaga tersebut.
“Misalnya KPK, direvisi undang-undang, dimasukkan orang orang bermasalah, jadi Komisi Politisasi Korupsi,” ujar Bivitri.
Selain di ranah institusi formal, Bivitri menyebut soal politik kewargaan. Ia menyebut bahwa masyarakat sering kali terkunci dengan cara pandang bahwa berpolitik adalah tentang jabatan, padahal sebetulnya berpolitik adalah cara untuk memperjuangkan hak.
“Berpikir bahwa berpolitik adalah harus join partai politik, jadi menteri, komisaris, dan lain-lain. Politik itu dapat nama buruk karena politikus yang culas. Salah, karena sebetulnya politik itu adalah cara kita memperjuangkan hak,” kata dia.
Ia menekankan salah satu cara memperbaiki demokrasi adalah dengan membongkar pikiran yang telah terasuki akibat sistem pendidikan dan narasi yang dibuat oleh para penguasa.
“Intinya, kita untuk perbaiki demokrasi, kita bongkar dulu pikiran-pikiran yang selama ini dimasukkan ke kita, yang sebenarnya gagasan-gagasan yang sebenarnya keliru dan bahkan menyesatkan untuk berpikir bahwa politik itu soal jabatan. Maka dari itu yang paling penting bisa kita lakukan adalah dengan membangun politik kewargaan untuk menjadikan politik dalam keseharian kita,” kata Bivitri.