Sejumlah Catatan dalam Pelaksanaan Otsus Papua selama Era Jokowi

4 weeks ago 16

TEMPO.CO, Jakarta - Lebih dari dua puluh tahun wilayah Papua diberi kewenangan khusus dan keistimewaan mendapatkan kucuran dana dari negara melalui otonomi khusus atau otsus. Dana yang sudah dikucurkan mencapai kurang lebih Rp 100 triliun untuk menunjang pendidikan, kesehatan, pembangunan, sosial dan ekonomi di wilayah tersebut sejak Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua disahkan. 

Sejumlah permasalahan disorot oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah atau KPPOD, lembaga yang fokus mengkaji kebijakan pelayanan publik di bidang ekonomi, fiskal, dan desentralisasi. KPPOD mencatat sederet masalah dalam penyaluran dana otsus itu, misalnya dari segi pengawasan dan tata kelola keuangannya yang dianggap tidak akuntabel selama dua dekade. "Otsus ini mempercepat pembangunan, sosial ekonomi, dan juga lingkungan. Hanya saja semua evaluasi terkait dari penerapan otsus itu memang menunjukkan masih banyak pekerjaan rumah," kata Direktur Eksekutif KPPOD Armand Suparman saat ditemui di kantornya, Setiabudi, Jakarta Selatan, Senin, 14 Oktober 2024. 

Armand menilai dana otsus untuk Papua belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Selama kurun waktu 2002-2021, Dana Otsus Papua dan Dana Tambahan Infrastruktur yang telah dikucurkan mencapai Rp 138,65 triliun. Adapun untuk daerah yang lain, penelusuran Tempo melalui buku alokasi dan rangkuman kebijakan transfer ke daerah pada tahun anggaran 2024 oleh Kementerian Keuangan, mencatat bahwa provinsi yang baru mekar di pulau Papua juga mendapat hak yang sama untuk dana otsus ini, walau besarannya berbeda.

Seperti halnya Papua Pegunungan yang baru mekar menjadi provinsi baru pada 2022 lalu. Provinsi ini tercatat memiliki rekapitulasi alokasi dana otonomi khusus mencapai Rp 3,3 triliun untuk tahun ini. Belum lagi dengan dana alokasi umum, dana desa dan dana bagi hasil di wilayah itu. Jika seluruhnya ditotalkan bisa mencapai Rp 11 triliun untuk 2024. Sejumlah dana yang digelontorkan oleh negara terhadap wilayah-wilayah di Papua ini, dinilai Armand seharusnya mampu untuk memajukan daerah tersebut. Terutama perihal pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan. 

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sejumlah wilayah di Papua dianggap masih rendah jika dibandingkan pada skala nasional. Hal ini dinilai sebagai salah satu kegagalan dari realisasi dana triliunan rupiah yang disiapkan melalui otsus Papua. "Karena target yang diharapkan itu belum sesuai. IPM bisa dijadikan pendekatan untuk mengukur tingkat kesejahteraan karena bicara angka harapan hidup, pendidikan, pendapatan, kesehatan juga," ucap Arman. "Kalau kami lihat IPM Papua itu masih berada di bawah rata-rata nasional. Bahkan selalu berada di posisi terakhir. Baik Papua Barat maupun Papua."

Armand menilai UU Otsus Papua yang baru belum membawa perubahan secara fundamental bagi masyarakat asli Papua. Dia menilai bahwa kebijakan tersebut tidak efektif sesuai target yang diharapkan. Armand mencontohkan pada tingkat pengangguran, masalah kesehatan, hingga pendidikan yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah di wilayah Papua. Armand menawarkan semacam grand design untuk melihat dampak dan capaian otsus di Papua. Dengan begitu dapat meninjau apakah memang Papua berkembang terhadap hadirnya kebijakan itu, atau malah tidak berdampak sama sekali. 

Selain itu, Armand juga menginginkan pemerintah pusat memprioritaskan kebutuhan masyarakat Papua ketimbang proyek nasional yang tidak dibutuhkan penduduk lokal. "Apa yang menjadi kebutuhan orang Papua mungkin tidak ada di situ. Penting menurut saya untuk diterjemahkan apa sebenarnya yang menjadi kebutuhan bagi orang Papua, jangan dilihat dengan kacamata Jakarta," ujar Arman. "Semisal pembukaan jalan, itu yang menikmatinya siapa, apakah orang asli Papua atau malah perusahaan sawit dan tambang."

Profesor Riset dari Pusat Riset Kewilayahan di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Cahyo Pamungkas, memandang dana otsus untuk Papua terkesan sebagai pemberian negara untuk elite di daerah itu. Menurut dia masyarakat asli Papua tidak merasakan dampak dari dana ini, terutama yang berada di daerah pedalaman atau di pegunungan. "Untuk menyuap elitenya. Itu saja. Jadi dana Otsus itu terkesan hanya untuk memberikan keuntungan pada elite saja," kata Cahyo saat dihubungi Tempo, Sabtu, 19 Oktober 2024. 

Peneliti yang fokus mengkaji soal Papua ini membeberkan bahwa wilayah tersebut bukan hanya mendapat alokasi dana dari otsus saja, melainkan juga terdapat sumber lain yang berasal dari dana tambahan infrastruktur, dana bagi hasil sumber daya alam, dan dana desa. Cahyo menyebut pada UU Otsus Papua yang lama, dana otsus sebagian besar ditujukan untuk pemerintah provinsi dan kabupaten. "Kalau dihitung dari 2002-2023 tidak berdampak banyak ya semua dana itu, karena kabupaten-kabupaten yang penduduknya mayoritas orang asli Papua rata-rata IPM masih rendah,” ujar Cahyo.

IPM yang masih rendah ini ditemukan Cahyo khusus untuk daerah pedalaman seperti di wilayah pegunungan Papua. Namun daerah yang sudah menjadi pusat perkotaan, seperti Sorong, Jayapura, dan Merauke, disebutnya memang sudah ada kemajuan.

Iklan

"Artinya berbagai skema transfer dana itu tidak meningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup orang asli Papua. Karena orang asli Papua yang terkonsentrasi di daerah pegunungan itu tidak berubah secara signifikan kehidupannya," kata Cahyo.

Cahyo pernah melakukan observasi di wilayah pegunungan Papua pada 2019 lalu. Menurut dia masyarakat asli Papua malah tidak merasakan dampak apapun dari dana otsus tersebut, hal ini berbanding terbalik dengan keinginan pemerintahan Joko Widodo yang terus menggenjot pembangunan infrastruktur di Papua. Menurut Cahyo, pemerintah kerap menggembor-gemborkan pembangunan jalan, peningkatan aksesibilitas dalam bentuk bangunan fisik dan sejenisnya. Sementara untuk bagian pendidikan dan kesehatan dianggap tidak terlalu tampak perubahannya.

“Jadi kalau pengamatan saya, seberapapun jumlahnya dana otsus itu tidak akan membantu meningkatkan kesejahteraan orang asli Papua. Mungkin ini harus dievaluasi kembali. Bagaimana strateginya transfer dana yang tepat untuk meningkatkan kesejahteraan orang asli Papua," ucap Cahyo.

Otsus berada di bawah kewenangan Kementerian Dalam Negeri melalui Direktorat Jenderal Otonomi Daerah. Tempo telah berkirim surat untuk menanyakan perihal dana otsus ini sejak Selasa, 15 Oktober 2024. Surat permohonan wawancara dikirimkan ke bagian humas, bagian umum, hingga tata usaha otonomi daerah di Kementerian Dalam Negeri. Namun hingga berita ini ditulis Tempo belum mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang diajukan.

Disadur dari laman resmi Sekretariat Kabinet, Retno Wulandari yang menjabat sebagai Kepala Kepala Bidang Pemerintahan Umum dan Pemerintahan Desa, Kedeputian Bidang Polhukam, Sekretariat Kabinet, memaparkan pandangannya soal Otsus Papua. Dia menilai pemberian otonomi khusus bagi Papua dilakukan pada momentum yang tepat, yaitu saat orde reformasi dan ketika ada tuntutan masyarakat Papua untuk mengembalikan nama Provinsi Irian Jaya menjadi Papua. Dia mengatakan UU Nomor 21 Tahun 2001 telah diubah sebanyak dua kali, pertama dengan UU Nomor 35 Tahun 2008 dan UU Nomor 2 Tahun 2021. 

Perubahan pertama UU Otsus Papua Tahun 2008 adalah dalam rangka mengakomodasi pembentukan Provinsi Papua Barat serta menghapus ketentuan pemilihan gubernur dan wakil gubernur oleh dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD). Sedangkan perubahan UU Otsus Papua kedua tahun 2021 dilakukan dalam rangka penyempurnaan kebijakan-kebijakan otsus Papua khususnya mengenai pelaksanaan kewenangan khusus, penyelenggaraan pemerintahan di Papua, dan kebijakan pemberian dana otsus serta perbaikan tata kelola dana otsus.

Retno melihat empat tantangan dalam implementasi kebijakan otsus di Papua. Tantangan yang pertama perihal belum adanya kesepahaman dalam penerapan definisi orang asli Papua, sehingga belum tersedia data resmi mengenai jumlahnya. Kedua perihal komitmen pemerintah untuk pemajuan, penegakan dan perlindungan HAM bagi masyarakat Papua.

Tantangan ketiga, soal proses penyusunan dan penetapan perdasus dan perdasi yang telah diamanatkan dalam UU Otsus dan PP Kewenangan Papua. Lalu yang keempat terkait belum adanya pemahaman yang komprehensif dari seluruh pemangku kepentingan mengenai pelaksanaan kewenangan khusus yang diberikan kepada Papua, khususnya kewenangan konkuren yang tercantum dalam lampiran PP Kewenangan Papua.

Pilihan Editor: Wapres Ma'ruf Amin ke Papua, Tinjau Progres Percepatan Pembangunan

Read Entire Article
Berita Nusantara Berita Informasi Informasi Berita Berita Indonesia Berita Nusantara online Berita Informasi online Informasi Berita online Berita Indonesia online