Jakarta -
Amerika Serikat (AS) tengah dilanda penurunan angka kelahiran, Bunda. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintahan Presiden Donald Trump sedang mempertimbangkan untuk memberikan insentif sebesar 5.000 dolar AS atau sekitar Rp84 juta pada bayi baru lahir.
Dilansir dari CNN, tingkat kesuburan di AS telah menunjukkan tren penurunan selama beberapa dekade, dengan penurunan yang sangat tajam setelah terjadi resesi hebat tahun 2008. Meski sempat meningkat pada tahun 2021, tingkat kesuburan menurun cepat kembali ke pola yang lebih konsisten.
Menurut laporan, angka kesuburan total di AS pada tahun 2023 hanya 1,62 kelahiran per perempuan, atau jauh di bawah tingkat yang seharusnya yakni sebesar 2,1.
Rencana AS berikan insentif untuk mengatasi penurunan angka kelahiran
Menurut laporan New York Times, Presiden Trump tengah mempertimbangkan untuk memberikan bonus sebesar Rp84 juta bagi orang tua baru untuk mengatasi penurunan angka kelahiran di AS. Dana insentif ini diberikan secara tunai setelah kelahiran seorang anak.
Dalam artikel yang tayang belum lama ini, Trump ditanya tentang potensi pemberian intensif. Sang Presiden menganggap ide ini cukup bagus untuk dijalankan.
"Kedengarannya seperti ide yang bagus bagi saya," katanya.
Ide utama pemberian intensif adalah untuk mendorong lebih banyak orang AS untuk menikah dan memiliki anak. Rencana ini merupakan salah satu dari beberapa proposal yang diajukan untuk membelikan penurunan angka kelahiran, perluasan insentif kredit pajak anak, dan program yang menanamkan kesadaran akan kesuburan.
Ilustrasi Ibu Hamil/ Foto: Getty Images/iStockphoto/PIKSEL
Pro dan kontra intensif Rp84 juta untuk bayi baru lahir
Bagi calon orang tua, tambahan insentif sebesar Rp84 juta bisa sangat membantu dan jelas lebih baik daripada tidak mendapatkan apa pun. Dikutip dari Forbes, insentif tersebut setidaknya bisa menutupi biaya rumah sakit atau membeli tempat tidur bayi, kereta dorong bayi, dan persediaan popok selama beberapa bulan.
Tak hanya itu, uang insentif ini juga dapat digunakan untuk menutupi biaya penitipan anak selama satu atau dua bulan.
Tapi, pertanyaan lain muncul, apakah jumlah insentif ini cukup untuk membuat pasangan menikah dan memiliki anak? Pasalnya, biaya untuk membesarkan anak tidaklah sedikit dan tidak bisa ditutup dengan uang insentif.
Belum lagi, bila pasangan suami istri memutuskan untuk menunda memiliki anak karena masalah karier, biaya perumahan atau utang, maka uang sebesar Rp84 juta mungkin tidak akan mengubah keadaan. Bagi banyak pasangan, keputusan tentang membesarkan keluarga melibatkan perhitungan jangka panjang, termasuk stabilitas pekerjaan, ketersediaan tempat penitipan anak, biaya sekolah anak sampai kuliah, hingga prospek pengeluaran selama lebih dari 18 tahun.
"Jika pemerintah berpikir pemberian insentif tunai akan memperbaiki angka kelahiran yang menurun, maka pemerintah mengajukan pertanyaan yang salah," kata pakar kebijakan dan advokasi kesehatan Kavelle Christie.
"Masalahnya bukan hanya apakah orang menginginkan anak, tetapi juga apakah negara ini membuatnya aman atau bahkan memungkinkannya untuk membesarkan anak," sambungnya.
Ya, biaya membesarkan anak menjadi salah satu sorotan utama yang dianggap tidak akan bisa meningkatkan angka kelahiran di AS. Menurut analisis oleh Brookings Institution, pasangan suami istri berpenghasilan menengah rata-rata akan menghabiskan sekitar 310.000 dollar AS atau sekitar Rp5 miliar untuk membesarkan anak yang lahir pada tahun 2015 hingga ia berusia 17 tahun.
Terlebih lagi, penurunan angka kelahiran dalam beberapa tahun terakhir bertepatan dengan tingginya biaya sewa, biaya pengasuhan anak yang mahal, dan ketidakpastian ekonomi, yang membuat orang dewasa muda berpikir dua kali untuk memiliki anak.
"Tidak ada cukup uang dalam sistem pengasuhan anak. Orang tua tidak mampu membiayainya, dan pekerjaan pengasuh yang dibayar pajak sering kali dibayar di bawah upah layak. Dukungan kebijakan diperlukan untuk mengurangi biaya," ujar pendiri Mom's Hierarchy of Needs LLC, Leslie Forde, melansir dari Newsweek.
Pemberian insentif dianggap bukan solusi
Tak hanya soal finansial jangka panjang, banyak ibu bekerja di AS yang tidak mendapatkan dukungan setelah melahirkan anak. Kurangnya dukungan sering kali memaksa mereka untuk kembali bekerja segera setelah melahirkan. Bahkan, terkadang lebih cepat dari peraturan yang berlaku di AS, Bunda.
Selain itu, di AS juga terjadi krisis 'keibuan', yang merupakan keadaan darurat nasional. Menurut Christie, AS menjadi salah satu negara maju dengan tingkat kematian ibu tertinggi, dengan perempuan ras kulit hitam tiga hingga empat kali lebih mungkin meninggal karena komplikasi terkait kehamilan dibandingkan ras kulit putih.
Menurut penelitian yang dipublikasikan di BMJ, pada tahun 2022, sekitar 22 wanita meninggal per 100.000 kelahiran hidup di AS. Christie secara khusus menyalahkan infrastruktur perawatan kesehatan yang kurang dana, rasisme sistemik, dan tidak adanya tindakan federal.
"Jika kita serius dalam mengatasi penurunan angka kelahiran, pertama-tama kita harus berhenti menyabotase infrastruktur kesehatan masyarakat yang memungkinkan kehamilan dan persalinan yang aman," katanya.
Demikian berita terbaru tentang pemerintah AS yang berencana akan memberikan insentif Rp84 juta bagi orang tua yang baru dikaruniai anak.
Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!
(ank/pri)