Selular.ID – Platform video pendek paling populer milik ByteDance, TikTok, telah melaporkan total pendapatan sebesar US$4,6 miliar sepanjang 2023.
Jumlah itu meningkat hampir 75% dari tahun sebelumnya, di pasar-pasar yang tidak termasuk Amerika Serikat, Asia, dan Oseania.
TikTok, yang memiliki lebih dari 1 miliar pengguna di seluruh dunia, mengaitkan kenaikan tersebut dengan tiga elemen kunci.
Masing-masing pertumbuhan berkelanjutan basis pengguna, alat monetisasi yang disempurnakan untuk meningkatkan pengalaman pengiklan dan kinerja iklan, serta “pendapatan streaming langsung” yang jauh lebih besar.
Data tersebut diungkapkan TikTok Information Technologies UK minggu lalu ke Companies House, badan pemerintah Inggris yang mengelola daftar perusahaan.
Unit perusahaan di Inggris dan anak perusahaannya mengoperasikan aplikasi populer tersebut di seluruh negara di Eropa, Amerika Selatan dan Tengah, serta Afrika.
Meski pendapatan meningkat, kerugian operasional platform tersebut justru melebar sebesar 167% menjadi US$1,4 miliar.
Margin kerugian operasionalnya sebesar 30% tahun lalu, naik dari 20% pada 2022, terutama disebabkan oleh “ketentuan satu kali untuk masalah hukum dan terkait” yang menghabiskan biaya lebih dari US$1 miliar.
Pengungkapan pada 2022 sebelumnya menunjukkan bahwa Uni Eropa menyumbang 57% pendapatan, diikuti oleh Inggris dengan 22%.
Perusahaan tersebut mengatakan telah menyisihkan lebih dari US$1 miliar pada akhir tahun lalu sebagai ketentuan untuk “masalah hukum dan aktifitas terkait”.
Unit tersebut mengatakan juga bersiap untuk “potensi kewajiban yang timbul dari berbagai investigasi kepatuhan peraturan yang sedang berlangsung atau keputusan yang dibuat oleh regulator terkait”.
Kinerja TikTok di Inggris pertama kali dilaporkan oleh Forbes. Hasil tersebut mencerminkan adopsi pengguna yang terus kuat, meski platform video pendek yang berbasis di Beijing itu, membukukan kerugian.
Seperti halnya banyak perusahaan teknologi lainnya, TikTok juga telah memberhentikan ratusan karyawan dari tenaga kerja global. Perusahaan tengah fokus pada kecerdasan buatan dalam moderasi konten.
Di sisi lain, TikTok terus menghadapi pengawasan yang lebih ketat di banyak negara.
Uni Eropa dan AS menjadi kawasan yang paling “menantang” bagi TikTok dalam menjalankan operasinya. Instrumen hukum menjadi alat ampuh dalam meredam terus merksasanya platform video besutan Zhang Yiming itu.
Awal bulan ini, Komisi Eropa memulai penyelidikan terhadap praktik jaringan media sosial dan algoritme rekomendasi, yang dijalankan TikTok, YouTube, dan Snapchat di tengah kekhawatiran bahwa orang-orang disuguhi berbagai berita palsu.
Pada Agustus 2024 lalu, TikTok setuju untuk menghapus program hadiah pada aplikasi TikTok Lite.
Aplikasi itu dinilai oleh regulator berpotensi membuat ketagihan dan merusak kesehatan mental kaum muda.
Sebelumnya pada September 2023, regulator teknologi utama Eropa memerintahkan TikTok membayar denda sebesar US$368 juta (sekitar Rp5,6 triliun) setelah memutuskan aplikasi ini gagal melindungi anak-anak.
Komisi Perlindungan Data Irlandia, yang mengawasi aktivitas TikTok di Uni Eropa, mengatakan perusahaan tersebut telah melanggar undang-undang privasi yang menjadi ciri khas blok tersebut.
Investigasi yang dilakukan Komisi Perlindungan Data (DPC) menemukan bahwa pada paruh kedua 2020, pengaturan default TikTok tidak cukup melindungi akun anak-anak.
Sebagai contoh, profil anak-anak yang baru dibuat disetel ke publik secara default, yang berarti siapa pun di internet dapat melihatnya.
Baca Juga: TikTok PHK Karyawan, Terbanyak di Malaysia
Terbaru, pada awal bulan ini, 13 negara bagian AS dan Distrik Columbia menggugat TikTok karena diduga gagal melindungi kaum muda dan salah mengartikan klaim tentang komitmennya terhadap keselamatan publik.
Selain menghadapi berbagai gugatan hukum di sejumlah negara bagian AS, TikTok juga tengah menghadapi persidangan terkait dengan upaya divestasi paksa.
Pada September lalu, TikTok dan induk perusahaan ByteDance mendapat giliran bersaksi di pengadilan Federal.
Dalam panel banding Federal, TikTok menyatakan bahwa undang-undang baru untuk memaksa penjualan operasi aplikasi video pendek atau melarangnya di AS adalah inkonstitusional.
TikTok juga dengan tegas mengatakan bahwa UU itu, melanggar hak kebebasan berbicara pengguna.
Terlepas dari berbagai pertempuran hukum, terutama di Eropa dan AS, pertumbuhan pengguna TikTok seolah tak terbendung.
Berdasarkan data yang dsajikan laman DemandSage, TikTok memiliki 2,05 miliar pengguna terdaftar di seluruh dunia pada 2024.
Terdapat lonjakan signifikan karena pada 2022, TikTok baru memiliki 1,7 miliar pengguna terdaftar, kemudian melonjak menjadi 1,9 miliar pengguna pada akhir 2023.
Menariknya, setelah dilarang beroperasi di India pada Juni 2020, lonjakan pengguna TikTok terjadi di Indonesia.
Sebelumnya, selama bertahun-tahun India menjadi pengguna TikTok terbesar sejagat.
Namun, memanasnya hubungan China dan India, membuat TikTok dilarang beroperasi karena dinilai sebagai ancaman keamanan nasional.
Setelah India, Indonesia kini menjadi negara dengan pengguna media sosial TikTok terbanyak di dunia.
Hal tersebut berdasarkan data yang Statista rilis pada Agustus 2024.
Data itu memaparkan, Indonesia berada di urutan nomor satu dengan hampir 157,6 juta pengguna menggunakan platform video sosial populer tersebut.
Jumlah pengguna Indonesia mengalahkan Amerika Serikat yang menyusul di posisi kedua dengan sekitar 120,5 juta. Setelah Amerika Serikat ada Brasil di posisi ketiga dengan hampir 105,3 juta pengguna TikTok.
Berturut-turut setelah tiga negara itu adalah Meksiko (77,5 juta), Vietnam (65,6 juta), Pakistan (62 juta), Filipina (56,1 juta), Rusia (56 juta), Thailand (50 juta), dan Bangladesh (41 juta).
Baca Juga: Terancam Diblokir AS, TikTok Malah Perluas Bisnis E-commerce ke Meksiko dan Pasar Utama Eropa Barat