Kebijakan Selama Era Jokowi Dinilai Belum Mampu Dongkrak Kualitas Pendidikan

1 month ago 5

TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Bidang Advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Iman Zanatul Haeri heran dengan sikap pemerintah yang baru meluncurkan Peta Jalan Pendidikan 2025-2045. Baru diluncurkannya cetak biru pendidikan nasional itu menunjukkan kebijakan pendidikan selama lima tahun terakhir berjalan tanpa arah dan kurang visioner.

“Kebijakan pendidikan pada akhirnya hanya merespons. Skor PISA (Program for International Student Assessment) turun, hanya direspons dengan pelatihan,” kata Iman saat dihubungi, Jumat 18 Oktober 2024.

Kemendikbudristek sebelumnya sudah pernah menyelesaikan draf Peta Jalan Pendidikan 2020-2035 pada 2020. Namun, Peta Jalan Pendidikan itu diprotes berbagai pihak karena menghilangkan frasa ‘agama’ dari Visi Pendidikan Indonesia 2035. Belakangan, Kemendikbud sudah membantah menghilangkan frasa agama. Tetapi, sejak saat itu, Kemendikbudristek tak kunjung meresmikan peta jalan pendidikan tersebut. 

Baru pada Kamis 11 Oktober 2024, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) meluncurkan Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2025-2045. Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan, Kementerian PPN/Bappenas, Amich Alhumami, mengatakan, ada empat pilar dalam peta jalan pendidikan itu.

Pertama, mencakup akses pendudukan berkeadilan. Kedua, mutu pendidikan yang holistik dan kontekstual, ketiga relevansi pendidikan dengan tujuan pembangunan nasional. Pilar keempat tata kelola pendidikan yang partisipatif dan akuntabel.

Iman mengatakan, peta jalan pendidikan itu terlambat. Sejumlah kebijakan pendidikan sudah terlanjur berjalan tanpa arah. Hal itu membuat peningkatan kualitas pendidikan tak memberikan hasil maksimal. Salah satu penyebabnya, implementasi program Merdeka Belajar seperti kurikulum merdeka berjalan tak maksimal. 

Kurikulum Merdeka

Mendikbudristek, Nadiem Makarim, memberlakukan Kurikulum Merdeka pada 2022. Kurikulum ini sebelumya sudah disiapkan sejak 2020. Kurikulum ini kemudian diterapkan secara bertahap pada 3000 sekolah sejak 2021. 

Pada 2023, ada 309.149 sekolah terdaftar sudah mengimplementasikan Kurikulum Merdeka. Pemerintah lantas memutuskan Kurikulum Merdeka resmi menjadi kurikulum nasional mulai 26 Maret 2024. 

Kurikulum ini digadang-gadang berpusat pada siswa. Kurikulum ini memberikan kebebasan kepada guru untuk menerapkan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa. Pun mempermudah guru karena diklaim menyederhanakan beban administrasi.

Iman Zanatul Haeri, menilai, capaian Kurikulum Mereka dapat dilihat dari Indeks Sumber Daya Manusia (HCI) Indonesia. HCI merupakan pengukuran tahunan yang disusun oleh Bank Dunia. Salah satu komponen yang dilihat untuk menghitung HCI adalah kuantitas dan kualitas pendidikan. 

HCI Indonesia pada 2022 mendapatkan skor 54 persen. Skor ini menempatkan Indonesia berada peringkat 96 dari 174 negara. Skor ini lebih rendah dibandingkan Singapura sebesar 88 persen dan Palestina sebesar 58 persen. "Kita kalah dengan Palestina. Padahal, kita dalam kondisi damai," kata Iman.

Selain HCI, capaian kurikulum merdeka dapat dilihat pada skor Program for International Student Assessment (PISA). Skor PISA didasarkan pada tiga aspek yaitu Matematika, Membaca, dan Sains. Pada 5 Desember 2023, OECD melaporkan hasil skor PISA Indonesia periode 2022 yang hasilnya turun cukup dalam dibandingkan skor 2018. Penurunan skor terjadi di seluruh indikator yakni kemampuan Matematika, Membaca, dan Sains sebesar 12-13 poin. 

Iman mengatakan, hasil tersebut menunjukkan Kurikulum Merdeka belum mampu meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia. Kurikulum Merdeka, kata Iman, sulit dipahami dan diimplementasikan oleh para guru. Imam mencontohkan penerapan kurikulum merdeka dalam pembelajaran. 

Kurikulum Merdeka mendorong penyederhanaan pembelajaran. Misalnya, bobot pembelajaran yang semula delapan bab dikurangi menjadi 6 bab. Penyederhanaan ini, kata Iman, karena Kurikulum Merdeka menekankan proses pembelajaran. Siswa lantas difokuskan melakukan projek. “Projek itu bentuknya Kokurikuler. Jadi dia mengambil jam pelajaran tapi melakukan projek,” kata Iman.

Imam mengatakan, projek siswa itu bentuknya bermacam-macam salah satu bentuknya pameran. Menurut Iman, konsep itu sebetulnya bagus. Namun, tidak semua guru bisa menerapkannya. “Ketika dijalankan. Bukannya anak menjalankan projek. Malah jam kosong. Ini karena guru tak mengerti kurikulum merdeka,” kata Iman.

Kurangnya pemahaman guru, kata Iman, karena tak ada sosialisasi pembelajaran Kurikulum Merdeka. Sosialisasi kurikulum merdeka biasanya dilakukan melalui Platform Merdeka Mengajar (PMM). PMM menyediakan berbagai materi dan video untuk memahami kurikulum merdeka. Namun, PMM ini tidak cukup. Guru membutuhkan pelatihan yang dibuat pemerintah. “Sayangnya ini jarang dilakukan,” kata Iman.

Pemerintah, kata Iman, sebetulnya memiliki program guru penggerak sebagai bagian dari episode Merdeka Belajar. Guru penggerak adalah program pendidikan kepemimpinan bagi guru untuk menjadi pemimpin pembelajaran. Guru penggerak diharapkan dapat menyebarkan praktik baik kepada guru lain.
Namun, kata Iman, program guru penggerak ini tidak berjalan efektif. Para guru yang ikut program itu kerap kali meninggalkan kelas karena ikut pelatihan ke kementerian. 

Program guru penggerak, kata Iman, juga diskriminatif. Hanya beberapa guru saja yang bisa mengikuti itu. Padahal, Iman mengatakan, peningkatan kapasitas guru tidak boleh diskriminatif. Hal ini tertuang dalam UU 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. “Semua guru berhak meningkatkan kapasitas,” kata Iman.

Iman mengatakan, guru sebetulnya memiliki program peningkatan kapasitas melalui Pendidikan Profesi Guru (PPG). Guru wajib mengikuti PPG. Hal itu tertuang dalam UU Guru dan Dosen. Namun, kata Iman, pemerintah justru memprioritas guru penggerak. “Padahal dasar hukum guru penggerak sekedar peraturan menteri. Harusnya PPG diprioritaskan karena dasarnya UU,” kata Iman. 

Kelemahan lain, Kurikulum Merdeka kerap mengganti Capaian Pembelajaran (CP). CP adalah kompetensi yang harus dicapai oleh peserta didik di akhir setiap fase pembelajaran. Sejak 2020 sampai sekarang, sudah tujuh kali CP yang diganti oleh pemerintah. 

Dalam mata pelajaran sejarah misalnya, kata Iman, materi manusia purba mulanya ditujukan untuk siswa SMA kelas 10. Namun, tahun berikutnya, materi itu diperuntukan untuk siswa SMP. Masalahnya, perubahan itu dilakukan satu bulan sebelum tahuh ajaran baru. Keadaan itu membuat guru tidak mempersiapkan materi ajar dengan baik. “ Bagaimana guru mau menciptakan kestabilan mengajar kalau ada perubahan terus?” kata Iman. 

Kelemahan lain dari Kurikulum Merdeka, kata Iman, tidak semua guru bisa menerapkan itu. Banyak guru yang mengajar di daerah kesulitan untuk mempelajari kurikulum merdeka. Satu-satunya mempelajari kurikulum merdeka melalui PMM. Hal itu menjadi hambatan karena banyak daerah yang kesulitan mendapatkan sinyal bahkan teknologi.

Dosen Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi, Universitas Negeri Semarang (Unnes) Edi Subkhan, mengatakan, Kurikulum Merdeka merupakan salah satu kebijakan Nadiem yang patut diapresiasi. Alasannya, kurikulum ini memiliki banyak penekanan ke pembelajaran esensial, berpusat pada siswa, fleksibilitas kurikulum, penekanan pada literasi, numerasi, karakter, dan orientasi lainnya yang penting untuk dikuasi di Abad 21. 

Namun, Edi menilai, kurikulum ini memiliki sejumlah kelemahan. Sejak awal dirumuskan, kurikulum merdeka kurang melibatkan berbagai pihak dalam perumusan. Kurikulum Merdeka juga kurang dikuasai guru. Hal ini karena pelatihan terlalu bertumpu pada PMM. 

“Memang ada program guru penggerak, sekolah penggerak, juga ada Balai Besar Guru Penggerak di banyak tempat. Namun sejauh ini saya misalnya ketika penelitian mendapati guru yang masih perlu pendampingan dan pelatihan yang langsung secara tatap muka secara intensif. Ini yang tidak tersedia,” kata Edi dalam keterangannya, Sabtu 19 Oktober 2024.

Edi mengatakan, Kurikulum Merdeka mendorong guru supaya tak membuat murid tidak tinggal kelas, peniadaan Ujian Nasional, hingga sistem zonasi. Sejumlah hal itu, kata Edi, disinyalir membuat kemampuan numerasi dan literasi murid menjadi rendah. 

Dengan kondisi itu, Edi menilai, kurikulum merdeka perlu dievaluasi secara komprehensif. Menteri pendidikan baru harus mengambil kebijakan itu. Namun, Edi tidak ingin kembali ke Kurikulum 2013. Kurikulum Merdeka tetap perlu dilanjutkan karena ada beberapa hal positif yang perlu dipertahankan. “Dasar teorinya cukup kuat. Meski terkadang tidak terjelaskan dengan baik dan tidak teroperasionalkan dengan baik,” kata Edi.

Selanjutnya: Masalah PPDB hingga UKT...

Read Entire Article
Berita Nusantara Berita Informasi Informasi Berita Berita Indonesia Berita Nusantara online Berita Informasi online Informasi Berita online Berita Indonesia online