TEMPO.CO, Yogyakarta - Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Rancangan Peraturan Presiden tentang Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama (PKUB) mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo. Mereka memprotes aturan diskriminatif soal Rancangan Perpres PKUB yang dibuat menjelang berakhirnya masa jabatan Jokowi sebagai presiden, pada 20 Oktober 2024.
Koalisi yang beranggotakan sejumlah organisasi masyarakat sipil itu menilai raperpres itu diskriminatif terhadap kelompok minoritas berbasis agama maupun kepercayaan sehingga mendesak Jokowi untuk tidak menandatanganinya sebelum ada perbaikan. “Surat kami kirim setelah kami buat petisi penolakan raperpres,” kata koordinator koalisi, Lola Marina Fernandez, melalui siaran tertulis, Kamis, 17 Oktober 2024.
Koalisi, ujar Lola, menuntut pemerintah memastikan partisipasi publik dan jaminan kemerdekaan beragama maupun berkeyakinan dalam perumusan aturan itu sesuai konstitusi. Petisi yang berisi tuntutan koalisi yang dirilis pada 3 Oktober 2024, di change.org, telah diikuti 1.129 orang.
Petisi memuat sejumlah poin dalam raperpres yang bisa menyulut konflik antar-umat beragama dan mendiskriminasi kelompok minoritas. Data Setara Institute sepanjang 2023 menunjukkan terdapat 217 peristiwa dengan 329 tindakan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia. Angka itu naik dibandingkan Tahun 2022, yaitu 175 peristiwa dengan 333 tindakan.
Dari seluruh pelanggaran tersebut, gangguan terhadap tempat ibadah melonjak dalam tujuh tahun terakhir. Sepanjang 2023 misalnya, terdapat 65 gangguan tempat ibadah dan 50 tempat ibadah pada 2022.
Dari 65 tempat ibadah yang mengalami gangguan pada 2023, sebanyak 40 gangguan menimpa gereja, 17 menimpa masjid, lima menyasar pura, dan tiga menimpa Vihara. Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Tahun 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah memicu gangguan terhadap rumah ibadah. “Peraturan itu menyumbang kekerasan berbasis agama oleh aparat negara maupun antar-umat beragama,” kata dia.
Koalisi berharap raperpres tersebut memperbaiki situasi kebebasan beragama dan berkeyakinan. Namun, aturan itu justru memperkuat pelanggaran kebebasan beragama maupun berkeyakinan.
Iklan
Koalisi mencatat sejumlah pasal bermasalah dalam aturan tersebut. Contohnya pasal yang memuat syarat 90 pengguna rumah ibadah dan 60 dukungan masyarakat sekitar ketika hendak membangun rumah ibadah. Seharusnya aturan itu berpedoman pada Pasal 28 dan 29 Undang Undang Dasar serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016.
Selain itu, aturan itu berisi batas waktu dalam pengurusan izin selama 30 hari yang merepotkan. Ketentuan lainnya adalah syarat mengajukan rumah ibadah sementara bukan rumah tinggal yang menyusahkan kelompok minoritas.
Lola juga menyebutkan raperpres disusun secara serampangan dan tidak melibatkan masyarakat sipil, termasuk penganut atau organisasi agama atau kepercayaan. Mereka kesulitan mengakses draf terbaru raperpres.
Sejumlah lembaga yang tergabung dalam koalisi itu di antaranya Serikat Jurnalis untuk Keberagaman atau Sejuk, Sobat KBB, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia atau PGI, SETARA Institute, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Yayasan Circle of Imagine Society atau Cis Timor, dan Aliansi Jurnalis Independen Indonesia.
Selain itu, ada juga Pelita Padang, Task Force KBB, Aliansi Advokasi KBB Kaltim, AJI Yogyakarta, Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, KontraS Aceh, Human Rights Working Group (HRWG), dan Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia. Koalisi yang bergabung terus bertambah seiring dengan bertambahnya penolakan melalui surat terbuka itu.
Pilihan editor: Mengenal Geopolitik Sebagai Materi Pembekalan Calon Menteri Kabinet Prabowo di Hambalang