TEMPO.CO, Jakarta - Program Studi Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (Unpad) menyelenggarakan seminar nasional bertemakan “Demokrasi di Persimpangan Jalan: Mau Dibawa ke Mana Demokrasi Kita?” pada Kamis, 14 November 2024. Acara yang dilaksanakan di Kampus Iwa Koesoemasoemantri, Dipatiukur, Bandung ini menghadirkan tiga narasumber ternama termasuk salah satunya Rocky Gerung sebagai narasumber dalam bidang filsafat.
Dalam seminar tersebut, Rocky Gerung menyebut bahwa demokrasi adalah kemampuan negosiasi dengan kapasitas intelektual. Demokrasi itu tidak ada arahnya, sementara arah demokrasi ditentukan oleh diskursus harian bagi mereka yang berpikir. Ia menekankan, demokrasi bukan tentang arah akan dibawa ke mana, melainkan oleh siapa demokrasi ini dibawa.
“Jadi masalahnya bukan mau dibawa ke mana, sedang dibawa siapa demokrasi ini,” kata Rocky Gerung, Kamis, 14 November 2024 di Bandung.
Menurutnya, keinginan untuk menghidupkan narasi demokrasi terlihat lebih bergengsi jika diwujudkan melalui happening art. Demokrasi dapat dibekaskan dalam ingatan untuk dibaca dalam sejarah. Jika demokrasi dibekaskan dalam batin manusia, maka pembatinan itu yang menimbulkan kristal kebebasan.
Ia menyebut definisi demokrasi menurut Alexis De Tocqueville tentang The Habits Of The Heart yang kemudian dibawa oleh para pemuda terdidik di Indonesia, salah satunya Moh Hatta. Namun, sekarang demokrasi dinalarkan oleh arogansi untuk mengepung, mengendalikan, bahkan diarahkan.
Rocky mengatakan kampus memiliki peran dalam diskursus demokrasi. Menurutnya, investasi demokrasi harus diandalkan pada diskursus di kampus, bukan pada partai politik.
Rocky menyebut upaya koreksi tidak ada artinya jika bersifat parsial. Ia membahas tentang istilah reformasi yang seharusnya lebih tepat disebut revolusi. Ia menyebut istilah revolusi tidak lagi digunakan karena dianggap komunis.
“Padahal mental kita dari tahun 1980, revolusi itu biasa, poros UI, ITB, Unpad, UGM satu pikiran. Jadi sebetulnya batin kita itu menginginkan perubahan kualitatif yaitu perubahan revolusioner, tetapi keresahan itu menghasilkan perubahan yang sekadar kuantitatif, maka kita menggunakan istilah reformasi” kata Rocky Gerung.
Rocky menyebut di masa ini banyak orang tergerak untuk menghidupkan kembali demokrasi. Ia membahas tentang banyaknya anak muda yang terlibat dalam pemerintahan dan mengucapkan keinginan untuk membela rakyat. Namun, menurutnya masyarakat harus memeriksa tentang pemahaman mereka terkait demokrasi itu sendiri.
“Kita dapat secara kuantitatif jumlah anak muda yang ingin jadi politisi, persoalannya ‘sedelegatif apa?’ begitu kita baca relasi mereka, oh itu adalah new dinasti. Dia tinggalkan fasilitas kemewahan dia dan mulai mengucapkan keinginan untuk membela rakyat karena dipanggil kamera supaya terlihat keren. Jadi altruisme itu menyembunyikan kedinastian,” kata Rocky.
Menurutnya, keadaan ini bisa dilakukan dekopling atau pelepasan dari pengaruh elitmen baru. Jangan sampai para pejabat itu tumbuh dalam fanatisme kepartaian dan politik dinasti.