Amnesty Anggap Putusan MK soal Masyarakat Wajib Beragama sebagai Penyimpangan

2 days ago 6

TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengharuskan masyarakat Indonesia untuk beragama adalah suatu penyimpangan. Dia mengatakan penyimpangan ini karena tidak sejalan dengan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan standar Hak Asasi Manusia (HAM) internasional, yang telah diratifikasi oleh Indonesia sejak 2005.

"Komite HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga telah menyatakan istilah kepercayaan dan agama agar dimaknai secara luas hingga mencakup kepercayaan teistik, non-teistik, dan ateistik, serta hak untuk tidak menganut agama atau kepercayaan apapun," ujar Usman Hamid dalam keterangan tertulisnya pada Jumat, 3 Januari 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dia mengatakan, warga negara atau manusia harus terbebas dari pemaksaan untuk memiliki agama atau menganut suatu kepercayaan. Usman menyatakan keputusan MK mewajibkan masyarakat Indonesia untuk beragama merupakan suatu paksaan.

"Seseorang harus bebas dari pemaksaan untuk memiliki ataupun menganut suatu agama atau kepercayaan dan hak ini semestinya tidak dibatasi oleh negara," tutur dia.

Usman Hamid menganggap keputusan MK ini juga memaksa warga negara Indonesia untuk memilih agama yang berbeda dengan pilihannya. Dia mengatakan, putusan MK turut memiliki dua unsur di antaranya pemaksaan untuk memiliki agama, serta pelarangan bagi masyarakat yang milih tidak mempercayai suatu agama atau keyakinan.

Pasal 18 ayat 2 ICCPR, misalnya, menjelaskan tentang setiap negara untuk tidak memaksa seseorang dalam menganut atau menetapkan agama dan kepercayaan yang sesuai dengan pilihannya. "Kedua poin tersebut bertentangan dengan semangat yang ada dalam ICCPR," kata Usman Hamid.

MK sebelumnya melarang masyarakat Indonesia untuk tidak menganut satu agama atau kepercayaan. MK berpendapat, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai dasar konstitusi negara dengan tegas meyakini keberadaan Tuhan Yang Maha Esa, sehingga dapat disebut sebagai konstitusi yang religious atau godly constitution.

“Kepercayaan kepada adanya Tuhan Yang Maha Esa merupakan salah satu karakter bangsa dan telah disepakati sebagai ideologi atau kondisi ideal yang dicita-citakan” ujar hakim MK Daniel Yusmic Foekh ketika membacakan dasar pertimbangan putusan, Jumat, 3 Januari 2025.

Putusan MK ini dibacakan berkaitan permohonan uji materiil nomor perkara 146/PUU-XXII/2024 terhadap Pasal 22 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam pasal ini, MK memandang kebebasan beragama dan berkepercayaan bukan berarti masyarakat bisa memilih untuk tidak beragama atau berkepercayaan.

MK mengatakan, pada dasarnya Indonesia bukanlah negara yang didasari pada satu dasar agama tertentu. Namun, Indonesia juga bukanlah negara sekuler yang memisahkan nilai-nilai agama dari kehidupan bernegara dan kerja-kerja pemerintahan.

Vedro Immanuel berkontribusi dalam pembuatan artikel ini.

Read Entire Article
Berita Nusantara Berita Informasi Informasi Berita Berita Indonesia Berita Nusantara online Berita Informasi online Informasi Berita online Berita Indonesia online