Setelah MK Hapus Ambang Batas Presiden, DPR akan Lakukan Ini untuk Revisi UU Pemilu

1 day ago 3

WAKIL Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Adies Kadir memastikan pihaknya akan melibatkan masyarakat dalam merancang revisi ataupun membuat Undang-Undang Pemilu (UU Pemilu) setelah Mahkamah Konstitusi menghapus ketentuan ambang batas presiden atau presidential threshold.

“Kami akan mendengarkan aspirasi dari masyarakat dan juga para akademisi dan tokoh-tokoh masyarakat. Kami akan taat hukum dan akan melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut,” kata Adies saat ditemui di TMP Kalibata, Jakarta Selatan, Jumat, 3 Januari 2025, seperti dikutip dari Antara.

Wakil Ketua DPP Partai Golkar itu menuturkan, setelah MK mengabulkan gugatan penghapusan ambang batas persentase minimal pencalonan presiden dan wakil presiden, DPR harus kembali mengubah undang-undang pemilu. Hal itu dilakukan agar UU Pemilu bisa selaras dengan putusan MK yang berlaku.

DPR juga diberikan wewenang mempermudah jalannya pemilihan presiden dari mulai ketentuan seleksi kader hingga proses pemilihan.

“Jadi constitutional engineering, rekayasa konstitusi di mana rekayasa-rekayasa ini nanti bisa meminimalisasi calon-calon yang ingin maju dan juga lebih membuat simpel peraturan-peraturan tentang pemilihan presiden yang akan datang kita harapkan nanti,” ujarnya.

Sebelumnya, MK memutuskan menghapus ketentuan presidential threshold pada Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar Putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis, 2 Januari 2025.

Adapun pasal yang dihapus itu berisi tentang syarat pencalonan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang harus didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki 20 persen kursi di DPR RI, atau memperoleh 25 persen suara sah nasional pada pemilu anggota legislatif (pileg) sebelumnya.

MK Beri Lima Pedoman Rekayasa Konstitusional untuk Revisi UU Pemilu

Meski norma presidential threshold tak lagi berlaku, MK menegaskan tetap harus diperhitungkan potensi jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden. MK memberikan lima poin pedoman rekayasa konstitusional (constitutional engineering) saat memutuskan menghapus ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Hakim MK Saldi Isra saat membacakan pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 mengatakan pedoman melakukan rekayasa konstitusional dapat dipertimbangkan pembentuk undang-undang dalam merevisi UU Pemilu agar jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden tidak membeludak.

“Jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden yang terlalu banyak belum menjamin berdampak positif bagi perkembangan dan keberlangsungan proses dan praktik demokrasi presidensial Indonesia. Oleh karena itu, pembentuk undang-undang, dalam revisi UU Nomor 7 Tahun 2017, dapat melakukan rekayasa konstitusional dengan memperhatikan hal-hal berikut,” kata Saldi di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis, 2 Januari 2025.

Lima poin pedoman Mahkamah bagi pembentuk undang-undang melakukan rekayasa konstitusional tersebut adalah, pertama, semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Kedua, pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.

Ketiga, dalam mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan partai politik peserta pemilu tersebut tidak menyebabkan dominasi partai politik atau gabungan partai politik sehingga menyebabkan terbatasnya pasangan calon presiden dan wakil presiden serta terbatasnya pilihan pemilih.

Keempat, partai politik peserta pemilu yang tidak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya.

Kelima, perumusan rekayasa konstitusional dimaksud, termasuk perubahan UU Pemilu, melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian (concern) terhadap penyelenggaraan pemilu termasuk partai politik yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).

Dalam putusan ini, Mahkamah mengabulkan seluruh permohonan yang diajukan empat orang mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, yakni Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna.

MK menyatakan ketentuan presidential threshold dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Mahkamah menilai ambang batas presiden tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, tetapi juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi. Karena itu, MK mendapatkan dasar yang kuat untuk menggeser pendiriannya yang sebelumnya menyatakan ambang batas presiden adalah kebijakan hukum terbuka.

“Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden berapa pun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,” kata Saldi.

Meskipun norma ambang batas presiden tidak lagi berlaku, MK menegaskan tetap harus diperhitungkan potensi jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden yang terlalu banyak sehingga berpotensi merusak hakikat pemilihan presiden. Karena itu, MK memberikan pedoman terkait rekayasa konstitusional tersebut kepada pembentuk undang-undang, yakni DPR dan pemerintah.

Adapun alasan lain MK menghapus ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden 20 persen ini karena Indonesia merupakan negara yang menganut sistem presidensial dalam bentuk kepartaian majemuk. 

Saldi meminta agar jumlah pengusungan calon presiden dan wakil presiden sama dengan total peserta yang mengikuti pemilihan umum. Seperti jumlah partai politik peserta pemilu adalah 30, misalnya, dalam kontestasi politik ini total pasangan capres maupun wapres harus terdapat 30 pasangan yang diusulkan oleh partai politik yang mengikuti pemilu.

“Harus diperhitungkan potensi jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden sama dengan jumlah partai politik peserta pemilu,” ujarnya.

M. Raihan Muzzaki dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan editor: Reaksi Anggota DPR atas Kasus Penembakan Bos Rental Mobil di Tangerang

Read Entire Article
Berita Nusantara Berita Informasi Informasi Berita Berita Indonesia Berita Nusantara online Berita Informasi online Informasi Berita online Berita Indonesia online