TEMPO.CO, Jakarta - Revolusi mental menjadi salah satu program Presiden Joko Widodo atau Jokowi dalam awal pemerintahannya, pada 2014 silam. Gerakan ini disebut dapat membangun karakter bangsa yang mengubah cara pikir menjadi lebih baik, mandiri, berkarakter dan nasionalis.
Namun, selama dua periode pemerintahannya, penerapan revolusi mental tidak berjalan dengan efektif. Kondisi ini disoroti Maygsi Aldian Suwand, Dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSDK), Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol), Universitas Gadjah Mada (UGM).
Maygsi menyampaikan, revolusi mental yang diusung Presiden Jokowi saat ini bagaikan jauh api dari panggang.
“Kalau kita bicara hitam dan putih terkait pelaksanaan revolusi mental mungkin terlalu jahat untuk dikatakan gagal 100 persen. Namun, dengan ambisi sangat besar saat program ini dicanangkan dan outcome sekarang yang terjadi, pelaksanaan revolusi mental masih bagaikan jauh api dari panggang,” kata Maygsi kepada Tempo.co, pada Senin, 14 Oktober 2024.
Sebab, pemerintah sebagai eksekutor kerap tidak mengimplementasikan dengan baik. Selain itu, gagasan revolusi mental masih sangat umum untuk diterapkan dalam kebijakan.
“Gagasannya masih sangat umum sehingga masih kebingungan mau dibawa kemana. Ketika dibawa dalam kebijakan di level daerah berakhir hanya menjadi kebijakan yang sifatnya jargon-jargon. Lalu, revolusi mental masih sangat minim diterapkan dalam peraturan turunan. Panduan teknis sampai juknis apa yang harus dilakukan juga masih bermasalah,” kata Maygsi.
Selain pemerintah, kata Maygsi, keterlibatan masyarakat Indonesia juga masih sangat rendah untuk menyukseskan revolusi mental. Masyarakat masih gagap, terutama pasca-pandemi dan Pemilu 2024.
“Misalnya, di Pemilu 2014 dan 2024, apakah terjadi perubahan signifikan dengan perilaku masyarakat seperti itu?” tuturnya.
Maygsi menjelaskan penerapan revolusi mental yang tidak efektif dalam tiga konsep utama. Pertama, politik.
Iklan
“Di aspek politik, bagaimana edukasi politik terkait dengan paslon ketika Pemilu 2024? Secara logic, tanpa mendiskreditkan pihak tertentu, kita memilih calon yang bersih, yang track record baik, yang memiliki kriteria ideal. Namun, kita lihat sekarang di dewan, apakah calon-calon tersebut memenuhi? Masih banyak yang bekas koruptor dan masih ada yang terpilih kembali karena dinasti,” ujarnya.
Kedua, ekonomi. Menurut Maygsi, penerapan inovasi teknologi pada 2014-2024 masih kurang efektif. Kondisi ini juga terjadi karena masyarakat yang kurang mawas diri.
“Secara mikro, banyak anak muda yang kesulitan akses perumahan. Jika kita kaitkan aspek ekonomi dengan revolusi mental, kita juga harus mawas diri. Generasi muda sekarang memperlakukan uang untuk konser, kopi, atau sebagainya dan tidak bisa lepas. Pada akhirnya, kita melihat ternyata program yang diajukan tidak menyasar secara efektif di aspek ekonomi,” ujarnya.
Ketiga, sosial budaya. Maygsi melihat instrumen kebijakan, seperti UU ITE masih belum menunjukkan revolusi mental dari diri sendiri.
“Apakah perilaku di dunia maya sudah menunjukkan revolusi mental? Kita mempermasalahkan orang lain dan diskriminasi banyak terjadi di mana-mana. Jadi, dari aspek diri sendiri, itu juga menjadi permasalahan,” kata Maygsi.
Maygsi menekankan, revolusi mental yang diusung oleh Presiden Jokowi belum sepenuhnya efektif atau belum well implemented. Meskipun gagasan dalam gerakan ini baik, tetapi masih banyak celah di dalamnya.
“Sehingga revolusi mental tidak benar-benar terjadi. Kalaupun terjadi, tidak terjadi di berbagai lapisan sebagaimana yang diharapkan Jokowi pada awal pemerintahannya,” ujarnya.
Pilihan Editor: Gembar-gembor Jokowi Soal Revolusi Mental, Bagaimana Hasilnya Setelah 10 Tahun Pemerintahannya?