Jakarta -
Belakangan ini, para orang tua ramai membicarakan film Jumbo, sebuah animasi lokal yang menuai pro-kontra. Salah satu isu yang mencuat adalah keberadaan elemen hantu berwujud anak dalam ceritanya, yang bagi sebagian orang tua dinilai tidak sesuai untuk anak-anak.
Fiksi bukanlah sekadar khayalan tanpa makna. Bagi anak usia dini, cerita fiksi adalah taman bermain bagi imajinasi. Dunia fiktif memberikan ruang aman bagi anak untuk menjelajahi ide, merasakan emosi, dan belajar tentang hubungan sosial tanpa konsekuensi nyata. Dari perspektif psikologi perkembangan, ini bukan hanya menyenangkan, tetapi juga esensial bagi tumbuh kembang anak.
Dongeng fantasi atau cerita realistis: mana yang lebih baik untuk anak?
Apakah anak-anak bisa belajar tentang dunia nyata dari cerita yang tidak nyata? Misalnya, apakah mereka bisa memahami hubungan sebab-akibat dari cerita tentang hantu maupun peri terbang, bunga atau binatang yang bisa berbicara?
Pertanyaan ini telah lama menjadi perdebatan di antara para peneliti. Cerita fantasi memang sangat menarik bagi anak-anak, tetapi banyak orang tua dan pendidik bertanya-tanya: apakah cerita semacam ini justru membingungkan anak dan mengganggu proses belajar mereka?
Penelitian mengenai Children Learn cause-and-effect relations from fantastical and realistic storybooks, menjelaskan bahwa anak-anak, terutama di usia prasekolah, bisa mempelajari hubungan sebab-akibat dari cerita fantasi yang bersifat imajinatif. Misalnya, ketika tokoh dalam cerita menggunakan tongkat ajaib untuk memecahkan masalah, anak-anak bisa belajar bahwa ada "sesuatu" yang menyebabkan suatu peristiwa terjadi, meskipun konteksnya tidak realistis.
Hal tersebut membantu mereka memahami konsep logika dasar dan berpikir kritis.
Di sisi lain, cerita realistis bisa membantu anak memahami dunia nyata, belajar nilai-nilai sosial, dan mengembangkan empati. Sebuah studi berjudul What Children Learn from Storybooks: A Meta‐Analysis of the Effects of Narrative on Children's Learning, menemukan bahwa anak-anak belajar banyak hal dari buku cerita realistis seperti pelajaran sains, bahasa, hingga perilaku sosial.
Kemudian cerita realistis sangat efektif dalam membantu anak memahami situasi nyata dan bagaimana meresponnya.
Temuan menarik dari jurnal The Power of Children's Imagination: The Influence of Fantastical Content on Learning, menjelaskan bahwa fantasi justru bisa memperkuat daya imajinasi anak dan membantu mereka belajar konsep yang sulit. Imajinasi dinilai penting karena membantu anak-anak mengembangkan kreativitas dan kemampuan berpikir fleksibel, yang akan sangat berguna ketika mereka dewasa.
Jadi, mana yang lebih baik? Jawabannya adalah: keduanya penting. Ayah dan Bunda bisa menyeimbangkan keduanya dan memilih buku cerita maupun menonton film yang sesuai dengan usia serta minat anak.
Membacakan anak cerita fantasi dan cerita realistis bisa saling melengkapi. Cerita fantasi mengasah imajinasi dan berpikir abstrak, sementara cerita realistis membantu anak memahami dunia nyata dan membangun nilai-nilai kehidupan.
Manfaat cerita fiksi untuk anak
Dalam studi Learning from realistic and fantastical episodes: Comparing children's causal reasoning, ditemukan bahwa ada beberapa manfaat mengenalkan anak pada cerita fiksi, berikut di antaranya:
1. Cerita fiksi mampu memikat imajinasi dan perhatian anak
Elemen ajaib justru bisa meningkatkan ketertarikan dan fokus anak, yang sangat penting dalam proses belajar. Misalnya pada film Jumbo, pertemuan Don dengan Meri (gadis misterius dari dunia lain) mampu membuat anak lebih fokus dan tertarik untuk mengikuti alur cerita, tanpa mengganggu kemampuan mereka memahami hubungan sebab-akibat.
2. Cerita fiksi mendorong pemikiran kontrafaktual,
Pemikiran kontrafaktual adalah kemampuan untuk membayangkan situasi yang berbeda dari kenyataan. Misalnya pada film Jumbo, mendorong anak untuk berpikir "bagaimana jika aku hidup di dunia seperti Meri?", atau "bagaimana jika aku bisa jadi seperti Don yang berani naik panggung?".
Kemampuan ini merupakan dasar dari penalaran ilmiah, karena anak belajar untuk mengeksplorasi berbagai kemungkinan, membuat prediksi, dan memahami konsekuensi dari suatu tindakan.
3. Memberi ruang aman bagi anak untuk mengelola emosi
Misalnya pada film Jumbo, saat Don mengalami perundungan atau kehilangan kepercayaan diri, anak-anak penonton bisa ikut merasakan sedih, marah, atau takut namun dalam konteks yang aman karena mereka tahu bahwa itu hanya cerita.
Selain itu beberapa adegan yang menegangkan, misalnya saat buku Don dicuri atau ketika mereka harus menghadapi tantangan lainnya, anak belajar bahwa ketakutan bisa dihadapi dan diatasi. Sehingga anak bisa lebih bebas membayangkan berbagai situasi bahkan yang sulit atau menegangkan tanpa merasa terancam secara emosional.
4. Mengembangkan empati dan pemahaman sosial anak
Dalam studi Bookworms Versus Nerds: Exposure to Fiction Versus Non-Fiction menyebutkan bahwa anak-anak yang rutin membaca atau menonton cerita fiksi lebih mudah memahami perasaan orang lain. Dalam film ini, anak diajak merasakan apa yang dialami Don saat menghadapi ejekan, atau bagaimana Meri merasa kehilangan saat mencari orang tuanya.
Pengalaman-pengalaman ini membantu anak memahami emosi orang lain yang merupakan pondasi penting dalam membentuk empati.
Kutipan dari buku Reading for Learning: Cognitive Approaches to Children's Literature, menjelaskan bahwa fiksi menyampaikan nilai moral dengan cara yang lebih menyentuh dan bermakna karena nilai itu dirasakan, bukan hanya diajarkan. Ayah dan Bunda dapat memahami bahwa cerita fiksi, bukan hanya sekadar dongeng.
Cerita fiksi merupakan jendela bagi anak-anak untuk memahami dunia, baik dunia luar maupun dunia dalam diri mereka sendiri.
Demikian manfaat mengenalkan cerita imajinatif pada anak dari pandangan psikologi. Selain melatih cara berpikir abstrak, anak-anak juga dapat membantu mereka mengembangkan empati dan pemahaman sosial.
Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!
(mdj)