TEMPO.CO, Jakarta - Dosen hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Allan Fatchan Gani Wardhana mengatakan DPR dan presiden bisa saja memaknai putusan MK tentang penghapusan presidential threshold secara berbeda. Hal itu, kata dia, bisa dilakukan dengan mengatur ulang ambang batas dengan angka yang berbeda.
“Selain itu, bisa juga dengan merekayasa pengaturan mengenai ambang batas. Sangat terbuka kemungkinan itu,” kata Allan saat dihubungi Tempo, Jumat, 3 Januari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Allan, kemungkinan itu semakin besar mengingat konfigurasi politik di DPR saat ini dikuasai koalisi pendukung pemerintah. Kendati demikian, menurut Allan, proses itu tidak mudah.
Dia berpendapat, jika DPR dan presiden akan merekayasa putusan MK melalui revisi Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum atau UU Pemilu, maka masyarakat sipil berpotensi menggugatnya kembali. Selain itu, MK juga bisa melakukan pembatalan kembali apabila revisi UU Pemilu tidak mengakomodasi putusannya.
“Manuver partai politik untuk tidak taat pada putusan MK tidak hanya melanggar hukum, tapi juga bentuk pembangkangan terhadap konstitusi,” ujar Allan.
Seperti diketahui, MK menghapus ketentuan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden 20 persen. Hal tersebut berdasarkan pembacaan putusan nomor perkara 62/PUU-XXII/2024 pada Kamis, 2 Januari 2025.
"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta pada Kamis.
Penghapusan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden ini membuat setiap partai politik dapat mengajukan calonnya tanpa harus membuat koalisi partai. Hal tersebut berdasarkan lima poin saat MK menjelaskan pertimbangan untuk menghapus ketentuan ini.
Lima poin pedoman Mahkamah bagi pembentuk undang-undang melakukan rekayasa konstitusional tersebut adalah, pertama, semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Kedua, pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.
Ketiga, dalam mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan partai politik peserta pemilu tersebut tidak menyebabkan dominasi partai politik atau gabungan partai politik sehingga menyebabkan terbatasnya pasangan calon presiden dan wakil presiden serta terbatasnya pilihan pemilih.
Keempat, partai politik peserta pemilu yang tidak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya.
Kelima, perumusan rekayasa konstitusional dimaksud, termasuk perubahan UU Pemilu, melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian (concern) terhadap penyelenggaraan pemilu termasuk partai politik yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).
Raihan Muzakki berkontribusi pada artikel ini.