Jakarta -
Mendengar kata bullying, Ayah dan Bunda mungkin membayangkan kekerasan di usia sekolah. Namun, perilaku dasar yang kelak bisa berkembang menjadi perundungan sebenarnya sudah dapat dikenali pada masa usia dini.
Memahami akar perilaku ini sangat penting untuk membantu anak-anak tumbuh menjadi individu yang empatik dan kemampuan bersosialisasi yang baik.Pada usia dini, anak berada dalam masa eksplorasi sosial dan emosional yang intens.
Berdasarkan teori Social Learning dari Bandura, anak-anak belajar melalui pengamatan dan imitasi perilaku orang lain. Hal ini terjadi ketika mereka melihat perilaku agresif dari lingkungan sosialnya, kemungkinan mereka akan menirunya. Sementara itu, dalam teori Erikson menjelaskan bahwa anak usia dini termasuk dalam tahap "inisiatif vs rasa bersalah" maksudnya bahwa anak usia prasekolah berusaha mengambil inisiatif dalam interaksi sosial, tetapi juga mulai memahami konsekuensi sosial dari tindakannya.
Bagaimana lingkungan membentuk awal bullying?
Pembentukan perilaku perundungan pada anak usia dini tidak lepas dari pengaruh lingkungan terdekat, terutama keluarga. Mengutip buku Bullying at school: What we know and what we can do, perundungan bukanlah perilaku agresif biasa, melainkan bentuk agresi yang berulang.
Hal ini melibatkan ketidakseimbangan kekuasaan antara pelaku dan korban. Salah satu akar dari perilaku ini merupakan pola belajar sosial, dimana anak mengamati dan meniru interaksi kekuasaan maupun kejadian perundungan di sekitarnya.
Anak yang tumbuh dalam lingkungan keluarga dimana kekerasan verbal atau fisik digunakan untuk menyelesaikan konflik, belajar bahwa dominasi melalui kekerasan adalah cara efektif untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Selain itu, jika perilaku agresif anak, seperti merebut mainan atau mendorong teman diabaikan atau tidak mendapatkan konsekuensi tegas dari orangtua, anak bisa menginternalisasi bahwa agresi adalah strategi sosial yang wajar dilakukan.
Faktor lain yang turut berkontribusi adalah pola pengasuhan, di mana orang tua secara tidak sadar mendorong anak untuk menjadi kompetitif dan membandingkan dengan anak lain. Studi longitudinal dari jurnal Families promote emotional and behavioral resilience to bullying menunjukkan bahwa pengalaman persaingan tidak sehat dalam keluarga berhubungan dengan peningkatan perilaku perundungan di sekolah.
Selain itu, gaya pengasuhan ekstrem seperti otoriter maupun permisif dikaitkan dengan peningkatan risiko anak menjadi pelaku perundungan. Dengan demikian, lingkungan keluarga yang sehat, suportif, dan penuh empati menjadi landasan penting dalam pencegahan dini perilaku perundungan.
Peran orang tua dalam mencegah bullying pada anak
Ayah dan Bunda memegang peranan sentral dalam membentuk perilaku sosial anak sejak usia dini, termasuk dalam mencegah timbulnya perilaku perundungan maupun mencegah anak menjadi korbannya. Penelitian Parenting behavior and the risk of becoming a victim and a bully/victim menunjukkan bahwa pola asuh yang hangat, responsif, dan konsisten secara signifikan menurunkan risiko anak menjadi pelaku atau korban perundungan.
Parental involvement merupakan salah satu faktor protektif utama terhadap keterlibatan anak dalam perundungan, baik sebagai pelaku maupun korban. Anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan yang penuh perhatian, dengan komunikasi terbuka, dan pengawasan yang memadai, cenderung lebih resilien terhadap tekanan teman sebaya dan memiliki keterampilan sosial yang lebih adaptif.
Adapun pola asuh otoritatif yang menggabungkan kehangatan dan batasan yang konsisten telah terbukti paling efektif dalam menumbuhkan empati dan kontrol diri pada anak. Anak dari orangtua otoritatif cenderung memiliki regulasi emosi lebih baik, sehingga mampu menyelesaikan konflik sosial tanpa agresi.
Tak kalah penting, bagaimana cara Ayah dan Bunda merespons konflik antar anak juga berpengaruh. Studi oleh Parents' definitions of children's bullying in a five-country comparison menunjukkan bahwa ketika orang tua membimbing anak untuk menyelesaikan konflik secara kooperatif (misalnya dengan menggunakan kata-kata, berbagi perasaan, atau mencari solusi bersama), anak-anak menginternalisasi cara-cara non-agresif dalam berinteraksi sosial.
Dengan demikian, pencegahan terjadinya perundungan tidak hanya dimulai dari sekolah, tetapi dari rumah. Orangtua yang aktif membangun komunikasi, memperhatikan dinamika sosial anak, serta memodelkan perilaku empati dan asertif, dapat menjadi benteng utama dalam mencegah terbentuknya perilaku perundungan sejak usia dini.
Cara mengajarkan anak agar tidak menjadi korban bullying
Dalam sebuah studi Predictors of bullying and victimization in childhood and adolescence menjelaskan beberapa hal yang dapat diajarkan pada anak, seperti:
1. Bangun rasa percaya diri anak
Menurut penelitian, anak-anak yang menunjukkan rasa percaya diri melalui postur tubuh tegak, suara yang jelas, dan ekspresi wajah yang tenang lebih jarang menjadi sasaran perundungan. Orangtua dapat membantu membangun kepercayaan diri ini dengan mendorong anak berbicara dengan lantang saat menyampaikan kebutuhan, melatih kontak mata saat berbicara, serta memberikan pujian yang berfokus pada proses bukan pencapaian atau hasil. Misalnya dengan mengatakan, "Kamu hebat sudah berani mencoba!" Hal sederhana ini secara konsisten dapat membentuk citra diri anak yang positif.
2. Ajarkan anak menetapkan batasan sosial
Kemampuan anak untuk mengatakan "tidak" dan merasa memiliki kendali atas tubuh dan perasaannya sangat penting agar terhindar sebagai korban. Anak perlu belajar bahwa mereka boleh menolak perilaku yang membuat mereka tidak nyaman dan dapat mencari bantuan.
Cara paling efektif untuk mengajarkan hal ini adalah melalui bermain peran (role play). Sebagai contoh, Ayah dan Bunda dapat mensimulasikan situasi seperti: "Kalau ada teman yang merebut mainanmu dan kamu tidak suka, apa yang bisa kamu katakan?" Latihan ini melatih anak untuk mengenali perasaan tidak nyaman dan memberi respons asertif dengan aman.
3. Ajarkan anak mencari bantuan dari orang dewasa
Menurut studi, anak-anak yang mengetahui kapan dan kepada siapa mereka bisa meminta bantuan memiliki ketahanan sosial yang lebih kuat terhadap tekanan teman sebaya dan risiko perundungan. Ayah dan Bunda dapat mengenalkan konsep "orang dewasa pelindung" atau "safe place", seperti guru, pengasuh, atau satpam sekolah, dan mengajarkan anak untuk berkata dengan jelas: "Saya butuh bantuan, teman saya mengganggu saya."
Melatih respons ini secara rutin membantu anak merasa aman dan tahu bahwa mereka tidak sendirian ketika menghadapi masalah.
Hal yang harus dilakukan jika anak jadi korban bully
Penelitian mengenai A qualitative study of bullying from multiple perspectives, membahas beberapa hal yang dapat dilakukan Ayah dan Bunda ketika anak menjadi korban perundungan, seperti berikut:
1. Dengarkan anak tanpa menyalahkan
Ketika anak mengungkapkan bahwa ia mengalami perundungan, respons pertama yang paling penting adalah mendengarkan dengan empati, tanpa menghakimi. Anak yang menjadi korban sering kali merasa malu dan takut disalahkan.
Kalimat seperti, "Kamu sih diam saja," bisa memperparah trauma dan rasa bersalah anak. Sebaliknya, respons yang penuh empati seperti, "Terima kasih sudah cerita ke Bunda. Bunda bangga kamu berani cerita. Sekarang kita pikirkan sama-sama apa yang bisa kita lakukan," dapat menjadi landasan kepercayaan anak pada dukungan orangtua (Mishna, 2004).
2. Validasi perasaan anak
Anak perlu merasa bahwa emosi yang mereka rasakan, seperti sedih, takut, atau marah dapat diterima. Validasi ini membantu anak merasa dipahami dan tidak sendirian. Orangtua bisa berkata, "Wajar kamu merasa sedih. Kalau Bunda di posisi kamu, pasti merasakan hal yang sama." Validasi emosi terbukti memperkuat regulasi emosi anak dan membangun ketahanan psikologis.
3. Bantu anak menyusun strategi menghadapi situasi
Orangtua dapat membantu anak membayangkan langkah konkret menghadapi situasi sosial yang sulit. Misalnya, mengajarkan anak untuk menghindari tempat yang membuatnya tidak nyaman, memilih teman bermain yang suportif, serta melatih kalimat sederhana seperti, "Aku tidak suka kalau kamu ambil mainanku."
Studi menunjukkan bahwa strategi sosial yang dilatih sejak dini berperan penting dalam membangun ketahanan terhadap perundungan.
4. Libatkan sekolah atau lingkungan terdekat
Kejadian perundungan jarang berhenti dengan sendirinya. Karena itu, orang tua perlu berkomunikasi dengan guru, pengasuh, atau pihak sekolah lainnya. Perlu adanya kolaborasi antara keluarga dan sekolah dalam menciptakan lingkungan yang aman secara sosial dan emosional.
Perlukah anak membalas perilaku bully?
Membalas perundungan dengan agresi justru memperkuat pola kekerasan yang ingin dicegah. Ketika anak belajar bahwa "kalau aku disakiti, aku harus membalas menyakiti," maka mereka tidak sedang belajar menyelesaikan konflik secara sehat, melainkan sedang menanamkan respons balas dendam sebagai norma. Hal ini bertentangan dengan tujuan jangka panjang menerapkan regulasi emosi anak, yaitu membentuk pribadi yang mampu menyelesaikan konflik dengan tenang, tegas, dan penuh empati.
Dari sisi perkembangan otak, anak usia dini (2-7 tahun) masih berada dalam tahap awal perkembangan regulasi emosi dan kontrol impuls. Bagian otak yang bertanggung jawab untuk mengendalikan dorongan (prefrontal cortex) belum matang sepenuhnya.
Jika mereka diajarkan untuk membalas dengan agresi, bukan hanya risiko kekerasan meningkat, tetapi anak juga bisa semakin sulit membedakan antara membela diri dan menjadi pelaku perundungan. Alih-alih membela diri, anak dapat terbiasa menggunakan agresi sebagai alat utama menghadapi konflik.
Selain itu, respons agresif juga dapat memperburuk posisi sosial anak. Studi Bullying and victimization among school-age children menunjukkan bahwa anak yang membalas perlakuan buruk seringkali justru terjebak dalam siklus perundungan yang berulang, mengalami pengucilan, dan sulit mendapat dukungan dari teman sebaya.
Dalam penelitian tersebut juga mencatat bahwa anak yang menggunakan kekerasan sebagai respons terhadap perundungan cenderung tidak menyelesaikan masalah, melainkan memperpanjang konflik dan memperburuk status sosialnya di antara teman-teman.
Jika anak menjadi pelaku bully, apa yang harus dilakukan orang tua?
Menurut penelitian Better understanding and intervening to prevent relational aggression, hal berikut dapat dilakukan jika anak menjadi pelaku perundungan:
1. Berikan teguran yang tegas, namun tidak mempermalukan
Anak usia dini sedang belajar membedakan perilaku yang diterima dan tidak. Hindari memberi label negatif seperti "nakal" atau "jahat." Sebaliknya, gunakan pendekatan tegas dan spesifik, sebagai contoh: "Bunda tidak suka perbuatan mendorong teman. Itu menyakitkan. Kita belajar yuk, bagaimana minta sesuatu dengan kata-kata."
Pendekatan disiplin positif semacam ini lebih efektif membentuk perilaku jangka panjang.
2. Bantu anak memahami dampak perilaku mereka
Empati pada usia dini belum sepenuhnya matang, namun perilaku ini bisa dikembangkan. Gunakan pertanyaan seperti, "Kalau kamu dipukul teman, kamu merasa apa?" untuk menghubungkan pengalaman emosional dan konsekuensi perilaku. Empati dapat ditingkatkan melalui percakapan eksplisit mengenai perasaan orang lain.
3. Ajarkan keterampilan sosial positif
Alih-alih menghukum, berikan anak keterampilan alternatif: bagaimana meminta tolong, bagaimana menunggu giliran, atau cara menenangkan diri saat marah. Mengajarkan hal tersebut, terbukti efektif menurunkan perilaku agresif dan membentuk keterampilan sosial yang sehat.
4. Evaluasi lingkungan anak
Anak bisa meniru perilaku perundungan dari lingkungan sosialnya, mulai dari rumah, tontonan, atau interaksi dengan figur dewasa. Studi mengenai Social Learning Theory tentang pembelajaran sosial menunjukkan bahwa anak sangat mudah meniru tindakan yang mereka lihat dari orangtua atau figur yang mereka anggap berpengaruh.
5. Konsultasikan pada profesional bila diperlukan
Jika perilaku agresif berlangsung terus-menerus meski telah dilakukan pendekatan positif, konsultasi dengan psikolog anak menjadi penting. Kemungkinan terdapat faktor lain seperti gangguan regulasi emosi atau kebutuhan khusus yang belum terdeteksi.
Demikian ulasan mengenai pola asuh yang salah, yang dapat menyebabkan anak menjadi pelaku atau korban bullying. Semoga dapat menjadi panduan dalam mengasuh Si Kecil di rumah.
Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!
(rap/rap)