TEMPO.CO, Jakarta - Calon gubernur Jakarta nomor urut 3, Pramono Anung, akan mewajibkan setiap Puskesmas dan rumah sakit di Jakarta menyediakan juru bahasa isyarat. Hal itu disampaikan Pramono usai menerima aspirasi kelompok difabel yang mengeluhkan ketiadaan juru bahasa isyarat ketika mengakses layanan kesehatan.
“Saya akan betul-betul ini memberikan atensi terkait hal ini. Bagi rumah sakit atau Puskesmas akan diwajibkan menyediakan juru bahasa isyarat,” kata Pramono saat acara bincang-bincang disabilitas di bilangan Cipinang Muara, Jatinegara, Jakarta Timur, Minggu, 10 November 2024.
Pramono mengatakan dia berkomitmen memberikan akses yang adil terhadap semua kalangan. Dia mengatakan menyediakan juru bahasa isyarat di setiap Puskesmas atau rumah sakit adalah hal mendasar yang harus tersedia.
Selain layanan juru bahasa isyarat, setiap fasilitas umum termasuk rumah sakit juga harus ramah disabilitas. “Prinsip saya adalah memberikan kemandirian bagi penyandang disabilitas agar tidak bergantung pada orang lain ketika mengakses fasilitas publik,” ujarnya.
Mantan Sekretaris Kabinet ini mengatakan dia juga akan memenuhi pelayanan kelompok difabel yang masih terabaikan. Data Dinas Sosial DKI Jakarta pada Desember 2023 menyebutkan terdapat 44 ribu difabel di provinsi ini. Adapun di Indonesia, menurut data Badan Pusat Statistik, jumlahnya 22,97 juta pada 2020.
Sebelumnya Pramono juga menyinggung soal akses yang setara di ruang publik. Salah satunya soal kemudahan saat menggunakan trotoar dan transportasi publik. “Kami akan meningkatkan aksesibilitas di transportasi publik, termasuk juga pedestrian sebagai fasilitas utama sebelum mengakses transportasi umum,” ujarnya
Menurut Urban Planning and Inclusivity Manager Institute for Transportation Development Policy Indonesia Deliani Poetriayu Siregar, saat ini fasilitas menuju halte sangat tidak ramah difabel. Dia mengatakan hampir semua jembatan penyeberangan yang ada di Jakarta teramat miring sampai bolong-bolong.
“Jadi fasilitas kartu layanan gratis moda Transjakarta dan Mikrotrans untuk difabel tak diimbangi dengan kemudahan mereka mengaksesnya,” katanya.
Selain itu, Deliani mencatat adanya kekurangan pelayanan untuk disabilitas tuli. Menurut dia, ciri fisik disabilitas kelompok teman tuli kurang terlihat. Padahal mereka membutuhkan komunikasi khusus, yakni secara visual.
Selain di pusat layanan kesehatan, Deliani mendorong agar ada fasilitas yang memudahkan kelompok difabel ketika mengakses transportasi umum. Pasalnya, ujar dia, etika para penyandang disabilitas tuli naik KRL, mereka kerap kesulitan mengetahui stasiun apa yang sedang mereka lewati atau pintu sebelah kanan atau kiri yang akan terbuka.
Deliani menambahkan, informasi pemberhentian stasiun di KRL merupakan poster yang tidak bergerak. Informasi secara langsung biasanya diberikan melalui audio saja. Walhasil, tak jarang mereka terlambat turun ke stasiun tujuan.
"Kami sudah menyarankan agar pemberitahuan stasiun bisa dengan memasang informasi yang bergerak seperti di MRT. Pintu mana yang terbuka pun bisa dilakukan dengan menambah lampu kelap-kelip di sisi pintu yang akan terbuka," tutur Deliani.