Kehamilan bisa menjadi pengalaman penuh kebahagiaan. Namun bagi sebagian perempuan, ini juga bisa menjadi perjalanan yang sangat menantang.
Salah satunya ketika mengalami morning sickness yang sebenarnya sangat umum dialami ibu hamil. Namun ada yang sampai mengalami mual dan muntah berat atau disebut hiperemesis gravidarum.
Seperti dialami Kayla Dowdle yang mual parah saat hamil hingga hadapi depresi setelah melahirkan. Wanita berusia 28 tahun asal Whanganui, Selandia Baru, itu mengalami masa kehamilan yang mengubah hidupnya.
Ia mengalami morning sickness parah atau disebut hiperemesis gravidarum yang tidak hanya berdampak pada kesehariannya, tapi juga memengaruhi kesehatan mental. Bahkan hal menantang masih dialaminya hingga pasca melahirkan.
Mari simak kisah Bunda Kayla Dowdle yang punya pengalaman hamil 'berat' hingga harus menghadapi depresi setelah melahirkan.
Kisah Bunda alami morning sickness parah hingga alami depresi karena kehamilan
Simak kisah selengkapnya berikut ini:
Perjuangan melawan hyperemesis gravidarum
Kisah Kayla dimulai ketika kehamilannya memasuki usia enam minggu pada tahun 2022 lalu. Kayla mulai merasakan mual yang ekstrem, disertai muntah tanpa henti, bahkan hingga 10 kali sehari.
Kayla bahkan tidak bisa minum air putih karena tetap merasakan mual. Setelah 16 minggu, Kayla didiagnosis menderita hyperemesis gravidarum, kondisi langka yang memengaruhi kurang dari tiga persen ibu hamil. Kondisi ini ditandai dengan mual serta muntah berat akibat peningkatan kadar hormon tertentu.
“Saya bahkan tidak tahu kondisi ini ada. Saya pikir hanya beberapa perempuan yang lebih mual dan sakit daripada yang lain selama kehamilan,” ujar Kayla dilansir dari Whanganui Chronicle.
Kondisi tersebut membuat Kayla terisolasi di tempat tidur dan sangat bergantung pada keluarganya untuk bertahan melewati kehamilan. Untuk meredakan gejala, ia diberikan obat anti-mual, injeksi khusus, hingga perawatan cairan di rumah sakit.
Depresi setelah melahirkan
Setelah perjuangan panjang selama masa kehamilan, Kayla akhirnya melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat. Meskipun sempat mengalami kekurangan oksigen akibat lilitan tali pusar dan membuat bayinya harus berada di ruang perawatan intensif selama tiga hari, akhirnya mereka diperbolehkan pulang dari rumah sakit.
"Saya tidak ingin hal itu menimpa siapa pun, itu sangat mengerikan,” katanya.
Hanya saja, tantangan tidak berhenti di situ. Pasca melahirkan, Kayla menghadapi depresi postpartum yang berat, kehilangan nafsu makan, dan pola makan yang semakin memburuk.
“Awalnya saya pikir semuanya akan lebih baik setelah berhenti muntah tapi malah semakin sulit. Saya merasa sangat rendah, sering tidur, dan jarang meninggalkan rumah,” akunya.
Kondisinya memburuk hingga ia mengembangkan gangguan makan akibat pengalaman traumatis selama kehamilan. Kayla akhirnya menerima bantuan dari layanan kesehatan mental setelah perjuangan panjang mencari dukungan yang tepat.
Dia menemui dokter spesialis melalui Maternal, Infant, Child and Adolescent Mental Health and Addiction Service (MICAMHAS) dan. Namun, dana untuk konsultasi hanya cukup sampai anaknya berusia satu tahun.
Setelah itu, Kayla tidak menyerah, ia tetap mencari dukungan untuk menghadapi depresinya setelah melahirkan. Pernah ditolak tiga kali, akhirnya mendapatkan perawatan yang diinginkan lewat sebuah komunitas mental.
“Sering kali selama perubahan besar seperti kehamilan atau menopause, ini adalah masa-masa yang rentan bagi wanita, sehingga dalam beberapa kasus, gangguan makan dapat berkembang," ujar salah satu pendiri New Zealand Eating Disorders Clinic, Kellie Lavender.
Pesan untuk para Bunda lainnya
Kayla kini mengingatkan para Bunda lainnya untuk tidak ragu mencari pertolongan ketika menghadapi kesulitan setelah melahirkan. Jangan sampai menunggu sampai parah dan berdampak pada anak Bunda.
“Ada seseorang yang selalu siap mendengarkan. Jangan menyerah untuk mendapatkan bantuan, meskipun rasanya ingin menyerah saat itu,” pesan Kayla.
Para ahli juga menegaskan pentingnya kewaspadaan terhadap perubahan fisik dan hormonal selama kehamilan yang dapat memicu gangguan seperti Avoidant/Restrictive Food Intake Disorder (ARFID). Kondisi ini sering kali berkembang akibat pengalaman traumatis seperti mual berkepanjangan, virus, atau insiden tersedak yang membuat Bunda menghindari makanan.
"Kecemasan saat makan bisa menjadi begitu hebat sehingga gejalanya menjadi diagnosis ARFID dengan sendirinya. Namun perbedaan antara ARFID dan sesuatu seperti anoreksia atau bulimia adalah tidak ada rasa takut akan kenaikan berat badan," jelas Lavender.
Kayla mengakui, perjuangan beratnya selama kehamilan telah memberinya pelajaran mendalam tapi juga meninggalkan trauma. “Saya tidak ingin melewati hal ini lagi, tapi saya ingin berbagi cerita ini agar ibu-ibu lain tahu bahwa mereka tidak sendirian,” pungkasnya.
Melalui pengalaman ini, Kayla berharap lebih banyak perhatian diberikan pada kesehatan mental seorang ibu, baik selama maupun setelah kehamilan, agar mereka merasa didukung dan tidak merasa sendirian.
Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!
(rap/rap)