Hukum Menyusui dengan Bank ASI Menurut Islam

1 month ago 24

Jakarta -

Produksi ASI setiap ibu memang berbeda satu sama lain. Keberadaan bank ASI kerap menjadi solusi membantu pemenuhan nutrisi ASI bagi ibu yang minim produksinya. Lantas, bagaimana hukum menyusui dengan bank ASI menurut Islam?

ASI merupakan makanan yang paling sempurna, bersih, serta mengandung banyak nutrisi bagi bayi karena pengolahannya dilakukan secara alami oleh tubuh. Meski demikian, dalam praktiknya, pemberian ASI oleh para ibu tidak selalu lancar.

Sering kali, kendala ASI yang minim dan berbagai alasan lainnya membuat sebagian ibu menyusui kesulitan memenuhi pasokan ASI bayi secara maksimal. Kehadiran para pendonor ASI yang memberikan stok ASI mereka melalui bank ASI menjadi jalan tengah yang membantu para ibu yang mengalami masalah tersebut.

Mengenal bank ASI

Keberadaan bank ASI bertujuan untuk mempermudah bayi mendapatkan ASI yang ibunya tidak dapat memberikan ASI kepada bayinya karena alasan tertentu terutama bagi bayi yang lahir prematur karena bayi prematur diharuskan diberi ASI bukan susu formula. 

Selain itu, pemberian ASI sangat penting diberikan kepada bayi karena kandungan nutrisi yang sangat dibutuhkan untuk tumbuh kembang yang optimal, untuk kesehatan dan kelangsungan hidup bayi. 

Bank ASI dalam ilmu fiqih tergolong fiqih kontemporer dan termasuk masalah cabang. Gagasan bank ASI telah berkembang di Eropa sejak 50 tahun lalu. Ada beberapa data tentang negara-negara yang telah mendirikan Bank ASI seperti di India, Cina, Amerika Selatan maupun Prancis. 

Di negara maju seperti Belanda, pelaksanaan Bank ASI dilakukan dengan mengumpulkan ASI dari para ibu yang rela mendonorkan ASI-nya, memerahnya, dan menyimpan dalam freezer setiap dua pekan sekali.

Para petugas yang ditugaskan negara mengambil ke rumah ibu dan dengan mobil pendingin tentu dengan menggunakan listrik yang tidak boleh padam. Semua petugas dan alat serta tempat harus steril dan ASI harus melalui proses pasteurisasi terlebih dahulu. Inilah yang menjadikan para ulama berbeda pendapat.

Dalam buku Problematika Hukum Islam Kontemporer disebutkan, bahwa ada beberapa ulama yang membolehkan bank ASI seperti Yusuf Al Qaradhawi, asalkan tujuan pendirian bank ASI itu untuk mewujudkan kebaikan bagi masyarakat. 

Menurut beliau, bank ASI bertujuan mulia karena memerintahkan menolong kaum yang lemah terutama para  bayi. Alasan lainnya beliau memaparkan bagaimana di zaman Nabi, ada banyak para perempuan yang menyusui bayi. Sebab, untuk mencari mata pencaharian guna memenuhi kebutuhan hidup.

Ulama lain yang membolehkan adalah Asy Syeikh Ahmah Ash Shirbasi, yang merupakan salah seorang tokoh dari Al Azhar Mesir. Beliau mengungkapkan bahwa hubungan saudara sepersusuan yang terjadi akibat penyusuan itu harus melibatkan saksi dua laki-laki atau satu laki-laki dan dua saksi perempuan sebagai ganti satu laki-laki. Bila tidak ada saksi, maka persusuan itu tidak menjadikan saudara sepersusuan.

Adapun ulama yang tidak membolehkan bank ASI misalnya DR Wahah Az Zuhaily. Hal tersebut dikarenakan dapat menyebabkan tercampurnya nasab. Majma'al Fiqh Al Islami Organisasi Konferensi Islam dalam Muktamar di Jeddah pada 1985 memutuskan bahwa pendirian bank ASI tidak diperbolehkan seperti dikutip dari Buku Menyusui dan Menyapih dalam Islam yang ditulis Wida Azzahida & IndScript Creative yang diterbitkan PT Elex Media Komputindo.

Jika ada yang mau mendirikan bank ASI pun harus memenuhi syarat yang sangat ketat, seperti ada penulisan nama pemiliknya secara khsuus. Dalam hal ini setiap ASI yang dikumpulkan harus disimpan pada tempat khusus dan diberi nama sesuai pemiliknya, sehingga dipastikan ASI ini tidak tercampur dengan ASI pemilik yang lain. ASI juga harus diketahui oleh pemiliknya diberikan kepada bayi siapa ASI-nya tersebut, sehingga tidak ada pencampuran nasab karena semua jelas.

Selanjutnya dilakukan dalam kondisi darurat. Pendirian bank ASI diperbolehkan jika kondisi benar-benar darurat dan tidak ada cara lain kecuali dengan mendirikan bank ASI ini. Dan selanjutnya ialah harus benar-benar steril.

Hal-hal lain yang menyebabkan para ulama merasa berat dalam mendirikan Bank ASI, di antaranya:

1. Pendirian bank ASI memerlukan biaya besar karena beratnya biaya yang besar dalam pendirian tersebut dan sepertinya juga sangat memberatkan jika didirikan oleh negara berkembang seperti di Indonesia.

2. ASI yang disimpan juga berpotensi untuk terkena virus dan kuman-kuman yang berbahaya. Sehingga, perlu pengawasan yang ketat. Jika tidak, maka dapat menyebabkan kualitas dan kandungan zat-zat penting yang terdapat dalam ASI menjadi menurun sehingga maksud baik dari tujuan pendirian bank ASI menjadi tidak terpenuhi.

3. Banyak para ibu berlomba-lomba menjual ASI dengan harga tinggi

Hal lain yang juga berpotensi menjadi sesuatu yang kurang baik adalah adanya keluarga yang berada dalam tingkat ekonomi lemah, sehingga mereka menjual ASI-nya dengan harga yang mahal kepada bank ASI dan justru memberikan susu formula kepada anak-anak mereka sendiri.

4. Semakin rendahnya kesadaran memberi ASI kepada perempuan

Dengan adanya bank ASI, kekhwatiran lain yang diprediksikan adalah banyaknya perempuan yang memilih untuk sibuk berkarier. Dengan demikian, mereka pun lebih memilih untuk tidak menyusui anaknya dan memilih membeli ASI dari bank ASI.

Mengutip dari Halalmui, di antara kaidah Ushul Fiqh disebutkan, kalau ada 'mashlahat', dan tak ada dalil atau nash yang melarang, hukumnya boleh (dilakukan).

Apalagi memberikan air susu ibu (ASI) untuk bayi yang bukan anaknya sendiri, dengan menyusukan bayi itu secara langsung, telah ada contohnya secara nyata. Yakni bahwa dalam Sirah Nabawiyyah disebutkan, orang-orang Arab mempunyai tradisi untuk menyusukan anaknya kepada para perempuan dusun.

Di antara alasannya ialah supaya si anak dapat hidup di alam yang segar dan mempelajari bahasa Arab yang baku dengan nilai sastra yang tinggi. Terkenal dalam riwayat, saat Nabi SAW masih bayi juga disusui oleh ibu susunya yang bernama Halimah as-Sa’diyah dari kabilah bani Sa’ad di desa daerah Thaif.

Dalam Al-Qur'an disebutkan perintah sebagai tuntunan wabil-khusus bagi para orang tua, “Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi orang yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban bagi ayah untuk memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Tidaklah satu jiwa dibebani kecuali sekadar kemampuannya. Janganlah seorang ibu mengalami kemudlaratan karena anaknya, demikian pula seorang ayah. Dan pewaris anak itu pun memiliki kewajiban yang sama. Apabila keduanya (ayah dan ibu) ingin menyapih si anak sebelum dua tahun dengan kerelaan keduanya dan dengan musyawarah, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kalian ingin anak-anak kalian disusukan oleh orang (wanita) lain maka tidak ada dosa bagi kalian apabila kalian memberikan pembayaran dengan cara yang ma’ruf. Bertakwalah kalian kepada Allah, ketahuilah bahwasanya Allah Maha Melihat terhadap apa yang kalian kerjakan.” (QS. Al-Baqarah, 2: 233).

Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata, “Ini merupakan bimbingan dari Allah kepada para ibu agar mereka menyusui anak-anak mereka dengan penyusuan yang sempurna yaitu selama dua tahun sehingga setelah lewat dua tahun tidaklah teranggap, karena itulah Allah menyatakan, ‘Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi orang yang ingin menyempurnakan penyusuan’.” (Tafsir al-Qur’anil ‘Azhim, 1/290).

Setelah usia dua tahun, air susu ibu bukan lagi sumber makanan bagi si anak namun ia telah berpindah kepada makanan yang lain. Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di  berkata, “Apabila seorang anak yang menyusu telah sempurna usianya dua tahun maka berarti telah sempurna penyusuannya. Setelah itu jadilah air susu kedudukannya seperti makanan yang lainnya sehingga penyusuan setelah dua tahun tidak teranggap dalam masalah kemahraman.” (Taisir al-Karimir Rahman, hlm. 104).

Selanjutnya tentang kemahraman karena penyusuan, disebutkan dalam ayat yang artinya, “Diharamkan bagi kalian untuk menikahi ibu-ibu kalian, putri-putri kalian, saudara-saudara perempuan kalian, amah-amah (saudara perempuan ayah) kalian, khalah-khalah (saudara perempuan ibu) kalian, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki dan dari saudara perempuan (keponakan), ibu-ibu yang menyusui kalian, saudara-saudara perempuan kalian sepersusuan….” (QS. An-Nisa, 4: 23). Dalam ayat itu, Allah hanya menyebutkan dua golongan wanita yang haram dinikahi karena hubungan penyusuan, yaitu ibu susu dan saudara wanita sepersusuan.

Ibnu Qudamah al-Maqdisi berkata, “Setiap wanita yang haram (dinikahi) karena hubungan nasab maka diharamkan pula yang semisalnya karena hubungan penyusuan. Mereka adalah para ibu, anak-anak perempuan, saudara-saudara perempuan, amah, khalah, keponakan perempuan dari saudara laki-laki, dan dari saudara perempuan dengan bentuk yang telah dijelaskan dalam masalah nasab, dengan dalil dari hadits sabda Nabi saw yang artinya: “Apa yang haram karena nasab maka itupun haram karena penyusuan.” (Muttafaqun ‘alaihi).

Dalam riwayat lain: “Penyusuan itu menjadikan haram apa yang haram karena hubungan kelahiran (nasab).” (al-Mughni, 7/87).

Al-Imam al-Qurthubi menyatakan, “Apabila seorang wanita menyusui seorang bayi laki-laki (yang bukan anaknya), wanita ini menjadi haram (dinikahi) si anak (bila telah dewasa) karena wanita ini adalah ibunya (karena susuan), haram pula bagi anak susu ini menikahi putri ibu susunya karena merupakan saudara perempuannya, haram baginya menikahi saudara perempuan ibu susu karena dia adalah khalahnya, haram baginya ibunya ibu susu karena dia adalah neneknya, haram baginya menikahi putrinya ayah susu (suami ibu susu yang menjadi sebab keluarnya air susu tersebut) karena dia adalah saudara perempuannya, haram baginya saudara perempuan ayah susu karena dia adalah amahnya, haram baginya ibunya ayah susu karena dia adalah neneknya, haram baginya menikahi putri-putri dari anak laki-laki ataupun anak perempuan ibu susu (cucunya ibu susu) karena mereka adalah putri-putri dari saudara laki-laki dan saudara perempuannya sepersusuan.” (al-Jami’ li Ahkamil Quran, 5/72).

Dalam praktek mutakhir masa kini, memberikan ASI untuk bayi dilakukan dan diperoleh dengan alternatif dari ASI para donor yang dikumpulkan di Bank ASI. Maka pada dasarnya, dalam Kaidah Syariah, hal itu diperbolehkan. Sedangkan masalah kemahramannya, itu masuk ke dalam Ranah Khilafiyah, atau ada perbedaan pendapat.

Bila dicermati, kini ada beberapa keluarga di satu lingkungan pemukiman yang membuat semacam 'Asosiasi Ibu Menyusui' dan mengumpulkan secara menyalurkan ASI dengan praktik seperti bank ASI. Namun dalam skala yang masih kecil, dan dibuat pencatatan yang baik. Sehingga pendonor dan penerima ASI-nya dapat diketahui dengan jelas. Dan kalau ada yang mengambil pendapat tentang kemahraman karena menyusui bayi dengan Bank ASI tersebut, maka hal itu juga dapat diketahui dengan jelas.

Lebih lanjut lagi tentang kemahraman sebagai saudara sepersusuan karena meminum ASI, ada beberapa pendapat. Pertama, ada yang menyebutkan menjadi mahram sebagai saudara sepersusuan, kalau meminum susu itu secara langsung dengan mengisap puting ibu yang menyusuinya.

Sedangkan kalau meminum susu ASI itu secara tidak langsung, seperti yang disediakan melalui bank ASI itu, hukum kemahramannya menjadi tidak berlaku. Pendapat ini berdasarkan pada hadits Nabi saw yang menyebutkan, "Laa tuharrimul-masshotu wal-masshotaani. Tidaklah mengharamkan (karena susuan) satu hisapan dan dua isapan.” (HR. Muslim no. 1450). Dalam hadits itu disebutkan al-masshotu yang secara harfiah bermakna mengisap susu atau menyusu, dengan mengisap langsung ke puting susu ibu yang menyusukan. Bukan meminum (susu), yang dalam bahasa Arabnya syariba-yasyrobu.

Sedangkan meminum susu dari bank ASI, tidak mengisap susu secara langsung ke puting susu ibu yang menyusukan. Tetapi bayi meminum ASI itu melalui gelas, atau dengan menggunakan botol minum untuk bayi.

Selain itu, berdasarkan perkataan Aisyah disebutkan, “Yang pernah diturunkan dalam Al-Qur'an adalah bahwa sepuluh kali persusuan menyebabkan adanya hubungan mahram, kemudian hal itu dihapus menjadi lima kali persusuan. Kemudian Nabi SAW wafat dan keadaan masih seperti itu.” (HR. Muslim dan At-Tirmidzi dan kitab Jami’-nya).

Hukum yang diakibatkan penyusuan tidak bisa ditetapkan bila kurang dari lima susuan, berdalil dengan hadits ‘Aisyah yang menyebutkan di-mansukh-kannya (dihapus) hukum penyusuan yang sepuluh menjadi lima: “Dahulu Al-Qur’an turun menyebutkan sepuluh kali penyusuan yang dimaklumi dapat mengharamkan kemudian dihapus ketentuan tersebut dengan lima kali penyusuan.” Pendapat ini dipegangi oleh Ibnu Mas‘ud, Abdullah bin az-Zubair, asy- Syafi‘i, dan satu riwayat dari Al-Imam Ahmad. (al-Umm, 5/26—27, Fathul Bari, Syarah Shahih Muslim, 10/29, Tafsir Ibnu Katsir,1/480—481, Subulus Salam, 3/331—332, Nailul Authar, 6/363)

Al-Imam asy-Syafi‘i berkata, “Penyusuan tidaklah menyebabkan keharaman kecuali lima kali susuan yang terpisah.” (al-Umm, 5/26). Demikian pula yang dikatakan Ibnu Hazm rahimahullah dalam al-Muhalla (10/9).

Ibnu Qudamah al-Maqdisi dalam al-Mughni (7/535) juga memberikan pernyataan yang hampir sama ketika menjelaskan ucapan Abul Qasim al-Khiraqi, “Penyusuan yang tidak diragukan dapat menyebabkan pengharaman (seperti apa yang haram karena nasab) adalah lima kali penyusuan atau lebih.” Dan sumber penyusuan (ASI) itu adalah dari seorang ibu yang sama. Sedangkan kalau dari Bank ASI, sangat boleh jadi ASI-nya dari beberapa (banyak) ibu yang berbeda-beda. 

Adapun bentuk satu kali penyusuan tersebut adalah seorang bayi menghisap air susu dari puting seorang wanita sampai puas atau kenyang lalu ia melepaskan puting tersebut, sekalipun dalam waktu menyusu itu ia berhenti sejenak dari menghisap puting untuk bermain-main atau menghirup napas, maka tetap terhitung satu kali penyusuan. (al-Umm, 5/27). Dan sebagian ulama seperti Ibnu Hazm membatasi hanya air susu yang dihisap langsung dari payudara dengan berpegang pada makna menyusu secara bahasa. Namun pendapat jumhur ulama lebih kuat, karena yang penting air susu itu dapat menutupi rasa lapar dan mengisi usus, bagaimana pun cara si bayi meminum air susu tersebut. (Fathul Bari, 9/148, al-Muhalla, 10/7).

Wallahu a’lam.

Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!

(pri/pri)

Read Entire Article
Berita Nusantara Berita Informasi Informasi Berita Berita Indonesia Berita Nusantara online Berita Informasi online Informasi Berita online Berita Indonesia online