Legislator PDIP Sebut Tidak Ada Aturan Prajurit Boleh Berbisnis di Draf Revisi UU TNI

4 days ago 6

TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Tubagus Hasanuddin mengatakan tidak ada pasal yang memuat aturan prajurit aktif TNI boleh berbisnis dalam draf revisi Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dia mengatakan wacana tersebut memang sempat muncul dari dalam rapat bersama komisi I DPR periode lalu.

“Soal itu tidak ada. Dalam draf yang lama juga tidak ada. Bayangkan saja kalau boleh berbisnis, lalu tentara ikut tender di kementerian lain, lumayan ngeri juga” kata Hasanuddin saat ditemui di kompleks gedung DPR, Kamis, 14 November 2024.

Hasanuddin mengatakan hanya ada dua pasal yang akan diubah dalam revisi UU TNI, yaitu Pasal 47 yang mengatur soal jabatan di lembaga lain yang bisa ditempati prajurit aktif. Aturan yang berlaku saat ini hanya membolehkan serdadu aktif menempati 10 pos jabatan di lembaga non militer. Namun, dalam draf perubahan, ujar Hasanuddin, akan ada penambahan frasa “jabatan lainnya sesuai kebijakan presiden”.

Kendati demikian, Hasanuddin mengatakan perubahan dalam Pasal 47 itu masih diperdebatkan di internal komisi I. Dia mengatakan pasal tersebut akan dibahas lebih lanjut dengan menampung masukan dari berbagai pihak.

“Nanti kami biar menjaring suara masyarakat. Masyarakat sipil juga akan didengarkan bagaimana tanggapannya dan sebagainya,” katanya.

Adapun perubahan Pasal 53 akan memperpanjang masa bakti prajurit setingkat perwira yang sebelumnya 58 tahun menjadi 60 tahun. Lalu untuk prajurit setingkat bintara dan tamtama diperpanjang dari 53 tahun menjadi 58 tahun. Ketentuan soal masa bakti ini juga memungkinkan perwira TNI yang menduduki jabatan fungsional pensiun dalam usia 65 tahun. Kemudian masa dinas perwira bintang empat dapat diperpanjang hingga dua kali.

Hasanuddin mengatakan ketentuan masa pensiun itu tetap diusulkan untuk direvisi dalam draf revisi UU TNI. Dia mengatakan sejauh ini tidak ada perdebatan yang berarti ihwal perubahan pasal tersebut.

“Dua fokus yang dalam pembahasan kira-kira itu. Tapi saya setuju baru satu pokok karena yang urusan umur mungkin sudah tidak ada masalah,” katanya.

Sebelumnya, Komisi I DPR revisi UU TNI masuk dalam Program Legislasi Nasional 2024-2029. Selain revisi UU TNI, komisi I juga mengusulkan revisi UU Penyiaran dalam prolegnas prioritas 2025.

Rencana DPR merevisi UU TNI sempat menjadi sorotan karena dibahas menjelang berakhirnya masa tugas DPR periode 2019-2024. Namun pembahasan tingkat I revisi UU tersebut urung terlaksana karena Presiden Joko Widodo saat itu tak kunjung menyerahkan daftar inventarisasi masalah atau DIM kepada DPR. 

Masyarakat sipil sejak awal menentang pembahasan revisi sejumlah undang-undang di akhir masa tugas DPR 2019-2024. Salah satunya yaitu revisi UU TNI. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menyampaikan ada berbagai masalah dalam revisi undang-undang tersebut, dari penyusunannya hingga pasal-pasal yang bermasalah.

"Misalnya, pemerintah cenderung tergesa-gesa serta mengabaikan partisipasi publik secara bermakna sehingga jelas-jelas melanggar prinsip-prinsip dasar demokrasi," kata Andi Muhammad Rezaldy, perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan.

Wakil Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra mengatakan perubahan UU TNI juga belum mendesak. Selain itu, ujar dia, pasal yang diubah bisa membahayakan kehidupan demokrasi. "Ini juga membahayakan negara hukum dan pemajuan HAM," katanya.

Merujuk pada dokumen DIM rancangan perubahan UU TNI per 15 Agustus 2024, terdapat dua usulan perubahan pasal terbaru, yaitu menambahkan Pasal 8 huruf D dan menghapus Pasal 39 huruf C. 

Pasal 8 huruf D mengatur TNI Angkatan Darat bertugas menegakkan hukum serta menjaga keamanan di wilayah darat sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional. Lalu Pasal 39 huruf C mengatur larangan berbisnis bagi prajurit TNI.

Menurut Ardi, dua poin usulan perubahan terbaru tersebut akan sangat berbahaya. Misalnya, perluasan peran TNI Angkatan Darat menjadi aparat penegak hukum akan menimbulkan tumpang-tindih kewenangan dengan penegak hukum lain. "Usulan ini mencerminkan kemunduran reformasi di tubuh TNI," ucapnya.

Read Entire Article
Berita Nusantara Berita Informasi Informasi Berita Berita Indonesia Berita Nusantara online Berita Informasi online Informasi Berita online Berita Indonesia online