TEMPO.CO, Surabaya - Berdasarkan hasil rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum Kota Surabaya pada Rabu kemarin, 4 Desember 2024, pasangan calon Gubernur-Wakil Gubernur Jawa Timur Tri Rismaharini (Risma)-Zahrul Azhar Asumta (Gus Hans) menang telak atas dua pesaingya, Khofifah Indar Parawansa-Emil Dardak dan Luluk Nur Hamidah-Lukmanul Khakim.
Risma-Gus Hans mengumpulkan sebanyak 861.134 suara, Khofifah-Emil 329.551 dan Luluk-Lukman 34.071. Dilihat dari jumlah perolehan suara itu Risma menang telak atas Khofifah di Surabaya kendati di daerah-daerah lain ia banyak menelan kekalahan.
Tingginya perolehan suara Risma di Surabaya dihubungkan dengan masih kuatnya kendang banteng di kota tersebut. Selama ini secara tradisional Surabaya memang dikenal sebagai basis PDI Perjuangan di mana Risma menjadi salah satu kadernya.
Direktur lembaga survei Accurate Research and Consulting Indonesia (ARCI) Baihaki Sirajt tak memungkiri bahwa Surabaya merupakan salah satu kendang banteng terkuat di Jawa Timur. Namun tingginya perolehan suara Risma tersebut, menurut analisa Baihaki, tak semata-mata karena faktor pemilih loyal PDIP.
“Tapi ditentukan juga oleh pemilih wali kota-wakil wali kota (Eri Cahyadi-Armuji) yang hampir mayoritas juga pemilih Risma. Karena pilwalinya ini kan hanya melawan bumbung kosong, sehingga dia bisa dipaketkan Eri-Risma,” kata Baihaki saat dihubungi, Kamis, 5 Desember 2024.
Seandainya Eri-Armuji punya lawan, Baihaki yakin hasilnya akan lain. Namun karena tidak ada pilihan lain selain Eri-Armuji, maka ada anggapan bahwa pemilih Eri juga pemilih Risma.
Pengamat politik sekaligus dosen senior Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga Aribowo berujar kemenangan telak Risma atas Khofifah di Surabaya punya arti penting kendati perolehan suara secara keseluruhan se-Jawa Timur Risma hampir pasti kalah.
Menurut Aribowo selama proses pemilihan gubernur 2024 ini, baik Khofifah maupun Risma berupaya keras “merebut” Surabaya. Betapa pun hasil survei Khofifah paling tinggi, tapi Ketua Umum Muslimat Nahdlatul Ulama itu tetap berkeinginan agar bisa menang di Surabaya. Apalagi dalam pilgub sebelumnya Khofifah pernah menang di Surabaya atas pesaingnya, Soekarwo.
“Khofifah ingin menyempurnakan kemenangannya kali ini dengan merebut Surabaya. Tapi nampaknya gagal. Bagi Khofifah dan Risma, Surabaya merupakan simbol prestisius. Jadi, ini perebutan betul bagi keduanya,” kata Aribowo.
Aribowo mengatakan kemenangan Risma atas Khofifah di Surabaya bukan karena faktor kandang banteng. Alasannya, pemilihan kepala daerah beda dengan pemilihan legislator. Sungguh pun ia mengakui bahwa PDIP masih dominan di Jawa Timur dan khususnya Surabaya, namun pemilihnya bukan pemilih ideologis seperti di Jawa Tengah atau Bali.
“Mungkin perolehan suara Risma di Surabaya ini tinggi karena berjumbuhan antara pemilih PDIP dengan popularitas Risma. Risma memerintah Surabaya dua periode dan masyarakat puas,” kata Aribowo.
Dari berbagai macam program, aktivitas, hingga perilaku Risma, kata Aribowo, dianggap warga sebagai wali kota paling sukses sepanjang sejarah. Sehingga khusus wilayah Surabaya, Risma susah dilawan oleh siapa pun lawannya.
“Bahwa Surabaya bagian dari PDIP iya, tapi jangan dilupakan bahwa Surabaya itu juga basis NU. Sehingga menurut hemat saya tingginya perolehan suara Risma itu bukan karena (partai) banteng, tapi riil tingkat kepuasan masyarakat pada Risma saat dia menjabat wali kota sangat tinggi,” ujar Aribowo.
Wakil Ketua Bidang Organisasi dan Keanggotaan Dewan Pimpinan Cabang PDIP Surabaya Eusebius Purwadi yakin kemenangan Risma di Surabaya karena dukungan basis PDIP yang solid. Purwadi berujar Surabaya masih kendang banteng dan tegak lurus pada instruksi pusat.
Namun Purwadi irit bicara karena mengaku ada instruksi dari pimpinan partai agar ia tak mengeluarkan statemen kepada media massa. “Yang jelas Surabaya tetap basis PDIP,” kata mantan aktivis gerakan reformasi 1998 itu.
Pilihan Editor: Pidato di Harlah ke-78 Muslimat NU, Khofifah: NU-nya Saya Asli apa Tidak?