TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes mengungkapkan ketakutan presiden terpilih dimakzulkan menjadi salah satu faktor fenomena koalisi gemuk muncul.
“Ada kekhawatiran presiden-presiden itu dimakzulkan oleh DPR. Sehingga mereka harus memastikan koalisinya aman di DPR,” kata Arya dalam diskusi webinar CSIS ‘Merespons Kabinet Prabowo-Gibran: Implikasi, Risiko, dan Masukan’, Jumat, 25 Oktober 2024.
Kekhawatiran akan pemakzulan ini muncul sejak Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dimakzulkan. Gus Dur akhirnya digantikan oleh wakilnya, Megawati Soekarnoputri. Sehingga sejak Pemilu 2004 sampai 2024, selalu ada kecenderungan presiden terpilih membentuk koalisi besar.
“Meskipun begitu sejak amendemen konstitusi, syarat pemakzulan itu sangat ketat dan hampir tidak mungkin setelah amandemen presiden itu dimakzulkan,” kata Arya.
Selain khawatir pemakzulan, faktor lain koalisi gemuk karena sistem multipartai ekstrem di Indonesia. Arya menjelaskan gemuk atau tidaknya koalisi besaran komposisi kekuatan di DPR. Koalisi yang mendekati 70 persen atau lebih di DPR disebut super majority coalition.
“Apa yang membuat itu? Karena kita menganut sistem multipartai dan sistem multipartai kita ini cukup ekstrem dibandingkan jumlah partai yang efektif di parlemen,” kata Arya.
Iklan
Koalisi super besar ini disebabkan jumlah partai yang banyak ditambah tidak ada partai yang menembus 25 persen kursi di DPR RI. Sehingga kondisi ini mendorong siapapun presiden terpilih akhirnya membuat harus membuat koalisi.
“Makanya sejak pilpres pertama 2004 diikuti oleh Susilo Bambang Yudhoyono sebagai pemenang pada 2009, 2014, 2019 dan seterusnya sampai 2024, setiap presiden terpilih akhirnya membuat koalisi karena tidak ada partai yang dominan di DPR sehingga mereka harus berkoalisi,” kata Arya.
Alasan ketiga koalisi menjadi gemuk karena presiden terpilih khawatir mendapat gangguan di DPR sehingga tidak fokus mengejar program kerja. “Gangguan itu bisa melalui hak angket. Kita melihat ketika zaman Gus Dur ada hak angket bulog gate segala macam. Di zaman SBY ada hak angket century segala macam,” ujarnya.
Kabinet Prabowo-Gibran yang dinamai Kabinet Merah Putih dikritik karena dinilai gemuk. Kabinet itu diisi oleh sekitar 106 jajaran menteri dan wakil menteri, termasuk menteri koordinator. Jumlah kementerian saat ini pun sebanyak 48 kementerian, lebih banyak dibandi gkan pada era Presiden Joko Widodo sebanyak 34.
Pilihan Editor: Prabowo Gertak Pecat Para Menteri yang Tak Sejalan, Jokowi Pernah Beri Ancaman Serupa