5 Cerpen Bahasa Madura Beragam Tema Penuh Makna, Mengenal Budaya dengan Cara Seru!

3 days ago 8

Jakarta -

Saat menginjak bangku Sekolah Dasar (SD), tentunya Si Kecil mempelajari mengenai cerita pendek (cerpen) dalam bahasa daerah untuk mengenal budaya Indonesia. Salah satu bahasa daerah yang memiliki kekayaan cerita pendek adalah Bahasa Madura.

Dengan gaya bahasanya yang khas, cerpen-cerpen bahasa Madura mampu menyampaikan nilai-nilai budaya yang kaya dan mendalam. Cerpen dalam bahasa Madura tidak hanya menyajikan hiburan, tetapi juga menjadi media untuk memahami kehidupan masyarakat Madura.

Berbagai cerita dalam bahasa Madura sering kali mengangkat tema-tema seperti kehidupan sehari-hari, adat istiadat, hingga kisah moral yang sarat dengan pesan berharga. Keunikan cerpen tersebut terletak pada penggunaan kosakata dan ungkapan lokal yang memperkuat identitas budaya.

Dengan membaca atau mendengarkan cerpen ini, Si Kecil tidak hanya belajar tentang cerita, tetapi juga memperkaya pemahaman mereka terhadap bahasa daerah yang mulai jarang digunakan. Selain itu, cerpen berbahasa Madura juga memberikan kesempatan untuk lebih mengenal tradisi dan filosofi hidup masyarakat Madura.

Mempelajari cerpen dalam bahasa Madura juga bisa menjadi pengalaman yang menyenangkan sekaligus mendidik. Gaya penulisannya pun sering kali cenderung ringan dan menghibur, sehingga menarik perhatian pada semua usia untuk menikmati setiap alur ceritanya.

Dikutip dari buku Kumpulan Cerpen Madura Menunggu Getah Batu oleh Kemendikbudristek, terdapat cerpen bahasa Madura beragam tema yang dapat dipelajari Si Kecil:

1.Tahlilan

Karya: A. Hamzoh Fansuri B.

Berselang beberapa saat setelah azan asar dikumandangkan, rumah Pak Kerte sudah  dipenuhi banyak огang meгeka duduk dalam posisi mellngkar. Tidak hanya orang-orang sekitar yang datang dan ingln mengikuti асагa  tahllan ini, tetapi juga warga dari desa-desa terdekat.

Seperti  pada  umumnya, tahllan di desa Pak Kerte, orang-orang yang datang tanpa diundang. Mereka datang dengan hati yang lapang mendoakan yang sudah meninggal.  Begitu рun рakaian уang mereka  kenakan,  sederhana dan apa adanya, sarung dengan warna mencolok, ada pula yang kusut. Веgitu pun dengan kopiah yang mereka pakai, beraneka warna dan corak. Аdа yang berwarna hitam, putih, merah, dan biru.

Seolah  ada  hukum tak  tertulis  dalam  setiap  acara,  yang lebih  dewasa  dan  tua  akan memilih  duduk  di  ruang  tengah yang  sudah  digelari tikar, lengkap  dengan  rokok  dalam gelas kaca  dan  kopi  yang  disediakan  tuan  rumah.  Sementara  itu, anak-anak  dengan sendirinya  duduk  di  tubir  teras.  Terlebih, ini  hari  ketujuh  sejak  almarhumal  Suleha, anak sulung Pak Kerte meninggal.

Anak-anak itu tak peduli,yang terpikirkan anak-anak adalah bahwa di hari ketujuh mereka selalu membayangkan makanan  enak-enak dan berkat  yang memang disiapkan oleh Pak Kerte, lebih-lebih yang meninggal adalah putri pertamanya.

“Pasti  cem-macem  jajanan  disediakan!” bisik seorang anak kepada teman di sebelahnya. Beberapa orang berpaling, melirik tak senang kepada dua anak yang berisik tentang jajanan. Anak-anak pun menundukkan kepala, orang tua yang  melirik tadi mengembuskan asap rokok sebelum kemudian  buru-buru mematikan karena kiai yang diundang memimpin tahlil sudah datang. Pak Kertep dengan sigap menyambut dan mempersilakan duduk di tempat yang tak hanya digelari tikar,tetapi juga sajadah berlapis.

Sebelum membuka acara, kiai menebarkan pandangan ke sekitar ruangan, kemudian meminta izin kepada Pak Kerte untuk memulai.

“Assalamualaikum wr.wb. para bapak, saudara-saudara yang selalu dimuliakan oleh Allah Swt. Malam ini adalah malam ketujuh sepeninggal almarhumah Suleha binti Kerte.….” belum  selesai  kiai  berbicara, ada seseorang  menyeletuk. Sontak semua orang terkejut, menoleh, dan melihat kearah Paman Slamet. Pria agak tua, yang rumahnya hanya berjarak dua atap genteng itu menyeletuk. Suaranya sedikit bergetar karena bercampur dengan rasa malu.

“Saya mohon maaf, Pak Kiai, saya sudah lancang. Jika diperkenankan, saya mohon acara tahlilan ini juga dikhususkan untuk mendoakan istri saya, Hamida.” Pertanyaan, permohonan, atau apa sebenarnya yang ingin disampaikan Paman Slamet? Semua orang terkejut, saling menoleh, saling menatap, ada pula yang mengernyitkan alis, menggeleng  gelengkan  kepala, tidak  paham  dengan  apa  yang disampaikan Paman Slamet. Kiai yang bertugas memimpin tahlil menoleh kepada Pak Kerte selaku tuan rumah. Sementara itu, Pak Kerte hanya terdiam tanpa satu kata pun. Semua  orang  terdiam  seperti batu nisan,sama-sama berpikir, menafsirkan keinginan Paman Slamet dan mengait-ngaitkan antara Suleha dan Bibi Mida.

Sudah bukan rahasia umum, orang-orang Madura sangat rajin mengirimkan para wanita bekerja sebagai TKW. Di Desa Jamburingin, wanita jarang bersekolah  hingga  bangku SMP. Umumnya semua wanita berhenti sekolah di bangku SD. Hampir tidak ada satupun yang bersekolah hingga SMA.

Keadaan ini sebenarnya dialami wanita di seluruh desa yang ada di Madura. Bukan hanya karena harus menjadi TKW,tetapi sejak kecil wanita Madura sudah dijodohkan, dinikahkan, dan dijadikan  seorang  ibu. Bagi orang Madura, wanita dijadikan sebagai penopang keluarga.

Demikian juga  dengan  Bibi  Mida, tahun  2000-an ia berangkat keluar negeri untuk menjadi TKW, sebelum kemudian disusul oleh Suleha, putri Pak Kerte. Tahun-tahun pertama di luar negeri, setiap bulan Bibi Mida rajin mengirimkan uang gaji dari hasil jerih payahnya.

Ia juga kerap menelepon, bertukar kabar ini dan itu, tetapi yang sering diceritakan adalah manisnya bekerja di luar negeri, sehingga membuat yang mendengar ingin menyusul menjadi TKW. Namun, suami Bibi Mida tidak memiliki telepon sendiri, ia menerima telepon melalui pesawat telepon milik Pak Dulla, ayah saya.

Kebetulan, satu-satunya  rumah  yang  memiliki pesawat telepon adalah rumah  saya. Jadi  sudah  biasa  dipakai, dipinjam, dan dibuat repot oleh banyak orang. Jarak rumah di sini cukup jauh  antara  satu  rumah  dengan  rumah  lainnya. Jadi ketika ada telepon dari luar negeri, saya maupun keluarga di rumah harus berteriak-teriak sambil berlari ke rumah Bibi Mida memanggilkan suaminya.

“Paman… Paman… Paman Slamet ada telepon dari luar negeri. Bergegaslah, Paman!" kata-kata seperti itulah yang sering diucapkan adikku jika memanggil suami Bibi Lida.

“lya…lya, tunggu sebentar, Nak. Katakan tunggu sebentar” jawab Paman Slamet sambil berteriak dari jauh dan menyibak sarungnya.

Anehnya lagi, paman Slamet tidak datang sendirian ke rumah, ia  bersama  para  tetangga. Ya, semua  keluarga ikut serta, seakan telepon untuk suami Bibi Mida juga telepon buat mereka, sehingga keadaan rumah mendadak penuh. Semua orang ikut mendengarkan apa yang dibahas melalui telepon, meski sebenarnya mereka tidak mendengarkan secara langsung apa yang disampaikan Bibi Mida.

Orang-orang hanya mendengarkan suara Paman Slamet dan menerka-nerka apa yang sedang dibicarakan Bibi Mida dan suaminya. Jika penerima telepon tersenyum, semua orang juga ikut tersenyum. Penerima telepon tertawa, semua  juga ikut tertawa cekikikan. Sebaliknya, penerima  telepon  menangis,semua juga ikut sedih.

Orang-orang tidak merasa malu meminta gagang telepon untuk ikut berbicara dengan Bibi Mida tanpa mereka peduli bahwa suami atau orang tuanya masih merasa rindu kepada Bibi Mida. Yang tidak mendapatkan giliran berbicara dengan Bibi Mida, mereka menitipkan salam, atau sambil menyeletuk di dekat telepon.

“Da…Mida,bagaimana kabarmu, sehat kan?”

“Apakah kamu betah di sana?”

“Apakah majikanmu tidak pelit?”

“Bulan depan, Leha, anak saya akan menyusulmu.” begitulah ucapan orang-orang yang ikut bersuara di dekat penerima telepon.

Setelah Bibi Mida menutup telepon, orang-orang kembali ke rumah  masing-masing. Beberapa orang masih ada yang duduk-duduk di balai milik Paman Slamet. Kini yang tersisa di rumah hanya aroma. Aroma yang tertinggal bervariasi, ada bau minyak angin, balsem, minyak urut, daun sirih, dan adapula bau jamu.

Bertahun-tahun Bibi Mida sudah tidak menelepon, Paman  Slamet risau  dan gelisah. Suami dan seluruh kerabat merasa bingung dan berusaha mencari informasi tentang keberadaannya. Mereka datang ke kantor tenaga kerja, dan bertanya kepada TKW yang baru saja datang bekerja dari luar negeri. Bahkan setiap tahun, mereka selalu berpesan kepada orang-orang yang naik haji, berharap mereka bisa bertemu dengan Mida di Arab Saudi. Namun semua usaha sia-sia.

Paman Slamet sudah kehabisan cara. la bingung harus mengadu ke mana lagi. Pemerintah?Itu pun sudah sering kulakukan. Paman Slamet sudah datang ke Dinas Tenaga Kerja untuk menanyakan kabar istrinya. Namun, untuk kesekian kalinya ia harus mengelus dada. Sepuluh tahun lebih ia mencari kabar tentang istrinya, tetapi jawabannya sama. Mereka selalu berputar-putar tanpa memberi kabar yang jelas.

“Masih kami cari. Tunggu kabarnya, Pak!”

“Saya minta maaf, masih belum ada kabar”

“Yang sabar, Pak Slamet. Dubes Indonesia masih berupaya mencari informasi."

“Minggu depan, Dubes Indonesia akan memberikan informasi.”

“Bulan depan …”

“Tahun depan … .”

“Banyak berdoa ya, Pak..”

“Braaakk!!!”

“Kapan janji itu ditepati? Kapan saya bisa menerima kabar tentang istri saya. Kapan-kapan, hah!” Paman Slamet  memukul  meja. Kesabarannya  mulai  sampai  ke  ubun-ubun. Napasnya tersengal-sengal. Matanya melotot, merah membara melihat ke arah para petugas yang ada di kantor tersebut. Paman Slamet menatap orang-orang di Kantor Dinas Tenaga Kerja itu satu per satu. Celurit yang sudah diselipkan nyaris diarahkan kepada para petugas, andai tidak segera saya halangi. Ya begitulah kejadiannya, tatkala saya menemani Paman Slamet menuju kantor keparat itu.

Sekarang sudah memasuki tahun kesepuluh Paman Slamet menunggu kabar tentang istrinya, Bibi  Mida. Padaku, paman bercerita bahwa tahun ini merupakan lebaran ketiga tanpa kabar dari Malaysia. Dua  tahun  lalu, istri saya berkabar. la berjanji akan pulang pada saat lebaran, tetapi sudah dua janji ia ingkari. la tak kunjung  pulang  ke rumah. Setelah itu, ia tidak pernah lagi membuat janji. Mungkin merasa jauh  lebih baik dibandingkan membuat janji, tetapi ia  ingkari untuk ketiga kalinya.

Sekarang  aku mengerti apa tujuan Paman Slamet. la merasa khawatir nasib seluruh TKW Indonesia, termasuk kepada nasib istrinya. Itulah sebabnya, mengapa Paman Slamet meminta izin kepada kiai agar turut mendoakan, termasuk nasib istrinya, Bibi Mida.

Bibirku perlahan mulai terbuka,ingin berbicara. Saya pun ingin meminta kepada Pak Kiai agar mendoakan istri saya. Tetapi lidah ini terasa berat. Dada begitu berat

Desau angin  menyusup, mengiris dan menerbangkan aroma kembang sesaji, juga berkat, jajanan yang mulai dibagikan, terlebih sebentar lagi waktu buka puasa sudah tiba. Sementara itu, pikiran saya mengembara membayangkan istri saya, Bibi Mida dan Suleha, dengan cara apa dan bagaimana mereka mati? Kami di Madura hanya bisa menerima kabar bahwa orang-orang yang kami cintai meninggal dan atau tidak terlacak jejaknya.

Angin  terus  mendesir, mengusik  bulu  kuduk, dan menerbangkaningatan saya. Saya bagai terperangkap cerita, juga kabar dari nasib  istri  saya dan TKW  lainnya, termasuk Bibi Mida. Sementara, orang-orang yang hadir, yang awalnya terasa pengap perlahan mulai sejuk. Orang-orang yang terdiam  mulai  menoleh  ke  kanan dan  ke  kiri. Sepertinya, semua warga sudah memahami maksud Paman Slamet. Wajah mereka seolah-olah menyetujui permintaan Paman Slamet. Sementara itu, Pak Kerte dan Pak Kiai juga mengangguk, tanda bahwa mereka pun mengizinkannya. Tahlil kemudian dilanjutkan kembali.

Tahlil tampak lebih khusuk dibandingkan biasanya. Bukan karena berkat yang sudah disajikan. Tetapi itu! Anak-anak yang baru saja belajar mengaji terlihat khusuk berzikir dan bertahlil. Bacaannya sungguh bergelombang. Mata terpejam menandakan kekhusukan mereka memohon  kepada Tuhan Yang Maha Esa. Doa tidak hanya ditujukan kepada Suleha, melainkan untuk Bibi Mida, istri saya, dan seluruh TKW Indonesia yang bekerja di luar negeri dan bernasib sama.

Suara zikir yang awalnya lirih tiba-tiba menjadi kencang. Sungguh terdengar mengerikan. Hal ini juga membuktikan bahwa tahlil kali ini berbeda dengan tahlil pada umumnya. Sungguh berbeda.

2. Kesurupan

Karya: Abd. Rahem

Sambil menyunggi rumput, berpayung terik, Haji  Lukman dan orang-orang se kampung berjalan beriringan menuju rumah masing-masing. Peluh menetes dari sela kerutan dahi. Angin menerbangkan debu-debu dan mengayunkan rerumputan serta ilalang. Namun begitu, angin yang menerbangkan debu, mencecap ujung daun dan ilalang tak pernah bisa menjadikan udara panas menjadi dingin. Begitu pun para pengarit rumput, pantang pulang sebelum berpayung rumput untuk dibawa pulang hingga suara sapi piaraan tetap menggema.

Ketika iring-iringan itu melintasi pematang, Haji Lukman berhenti, sementara yang lainnya terus melanjutkan perjalanan. Sejenak Haji Lukman melepas caping dan bajunya yang basah oleh keringat. la meletakkan caping dan pakaiannya pada alas balai yang terbuat dari anyaman bambu.

Sambil menarik napas panjang, Haji Lukman mengedarkan pandangan matanya ke bentangan sawah. Sambil mengamati dan menikmati suasana sekitar, ia mengambil sebuah kotak yang terbuat dari kayu. Kotak itu tidak terlalu besar sehingga bisa dimasukkan kedalam saku. Di kotak itu Haji Lukman menyiapkan tembakau. Siang itu, Haji Lukman menikmati lintingan tembakau dan membiarkan jalan pikirannya mengitari aliran-aliran sawah.

“Mari pulang, Pak Haji,” suara Morakip membuat Haji Lukman terkejut.

“Silakan, Cong'. Saya masih ingin istirahat sebentar,” sahut Haji Lukman sambil membuat parikan dan berkidung. Tidak lama setelah lelahnya berkurang, ia memakai baju, menyunggi keranjang, lalu pulang.

Di kamar, Durahman sudah menunggu Haji Lukman pulang menyabit rumputdisawah. Sembari menunggu pamannya pulang, sesekali ia merebahkan tubuhnya. Sambil menyunggi keranjang, Haji Lukman menuju kandang untuk meletakkan rumput.

“Sudah lama, Dik?” Haji Lukman menyapa Durahman. “Sejak tadi,Paman,” sahut Durahman.

“Tunggu sebentar, saya mau mandi terlebih dahulu. Silakan minum kopinya.Tadi bibimu membuatkan sebelum saya  berangkat kesawah,” ucap Haji Lukman sambil mempersilakan Durahman menikmati kopi.

Durahman tidak menyahut apa pun, pertanda kalau ia menerima tawarannya. Sambil menyeruput kopi, ia menunggu Haji Lukman. Tidak lama kemudian, Haji Lukman datang dan menyalaminya.

“Sapi saya ditawar delapan juta, Dik” Haji Lukman mengawali pembicaraan sambil membenahi posisi kopiah hitam dan memasang kancing baju berwarna putih.

"Siapa yang menawarnya,Paman? Jika tidak terlalu butuh uang, tidak perlu Paman jual. Lebih baik paman pelihara sampai beranak," sahut Durahman.

“Nah ya itu, anakku Mat Sa'i yang ada di pesantren saat ini membutuhkan banyak uang. Sebentar lagi ia ujian,"kata Haji Lukman. Mat Sa'i, putra sulung Haji Lukman sudah lima tahun menjadi santri di Bangkalan. Sebentar lagi akan menjalani ujian akhir madrasah.

"Saya tidak bisa menyuguhi apapun, Dik. Bibimu sedang pergi melayat,” ucap  Haji Lukman sambil masuk ke dalam kamar tidurnya. Setelah keluar dari kamar, ia menunjukkan barang  pusaka dengan panjang dua jengkal. Barang tersebut dibungkus kertas hitam yang jika dibuka aroma bunga melati langsung tercium.

Di Kampung Neggara, Haji Lukman terkenal memiliki senjata tajam yang ampuh. Semua orang, apalagi sesepuh desa sangat paham tentang ini. Jimat tersebut merupakan warisan dari Kakek Pasar, sesepuh Haji Lukman. Kabarnya, pusaka itu juga bisa tahu kalau bakal ada seseorang yang akan menawar sapi hingga lima belas juta rupiah. 

Di  kampung  ini, Haji Lukman juga dijadikan  sebagai panutan. Selain kaya, ia juga terlihat gagah dengan postur tubuh tinggi besar dan berkumis baplang. Haji Lukman juga sangat dermawan. la baik terhadap semua tetangga dan dikenal berperilaku santun.

Jika ada warga yang ingin mengadakan acara, Haji Lukman biasanya menjadi tempat untuk dimintai pendapat. Misalnya ada kekurangan dana, Haji Lukman tidak segan-segan memberikan bantuan. Sifat-sifat seperti itulah yang membuatnya disegani banyak orang.

Bagaikan periuk bertemu tutupnya. Istri Haji Lukman, Hajah Nawati tergolong wanita dermawan, cantik, dan patuh kepada suaminya. Sambil membuka bungkus barang yang dibawanya, Haji Lukman berkata "Saya  mau  menitipkan  pusaka  ini, Dik" kata Haji Lukman. Durahman kaget melihat pusaka keris elok tiga.

“Bagaimana, Paman, jangan titipkan kepada saya,” Durahman seperti menolak permintaan Haji Lukman.

“Tidak  apa-apa, Dik. Kamu cukup merawat pusaka ini.  Kamu tidak usah takut. Siapa tahu saya meninggal lebih dulu,” ucap Haji Lukman. Pusaka itu lalu diserahkan ke Durahman. Wajah Durahman tampak pucat dan linglung. Tangannya gemetar ketika menerima pusaka itu.

“Tetapi,kamu   jangan   sampai   lupa, Dik. Setiap malam Jumat, pusaka ini harus kamu bakar  dengan dupa. Kelak, kamu berikan pusaka ini kepada putra pertamaku, Mat Sa'i jika ia sudah dewasa. Serahkan pusaka ini tepat pada malam Jumat manis setelah pukul 00.00," ucap Haji Lukman.

“Baik, Paman,” jawab Durahman sambil mengangguk.

“Sebelum diberikan kepada Mat Sa'i, mandikan pusaka ini dengan air tujuh sumber dengan bunga tujuh rupa dan warna. Baca salawat sebanyak sebelas kali tanpa bernapas. Lalu kamu fokus kepada Tuhan Yang Maha Esa dan niatkan dalam hati, tiada kuasa selain Allah yang Maha Pengasih," ucap Haji Lukman dengan penuh keyakinan kepada Durahman.

“Tidak ada lagi warisan yang bisa saya serahkan kepada anak cucu. Saya berharap pusaka ini tidak jatuh ke tangan orang lain. Kamu juga harus ingat, Dik, jangan sampai pusaka ini membuatmu sombong dan angkuh, apalagi berniat melakukan hal-hal  tidak  baik. Sebab, pusaka  ini  merupakan  pusaka  turun-temurun para leluhur keluarga, yaitu Buyut Pasar. Selain itu, pusaka ini ada penunggunya.”

“Pusaka ini bernama Malathe Sato'or. Nama Keraton Sumenep, dari Pangeran Banuwaju. Pada suatu ketika, pusaka  ini  hilang tanpa sebab, tetapi dengan bacaan  Surah  Kulhu, pusaka ini bisa kembali.

Hari Kamis, menjelang  sore, Durahman  berangkat  ke sawah mengarit rumput. Keranjang yang ia bawa belum terisi penuh, tiba-tiba  dari  arah  selatan, Syamsuni putranya berlari sambil memanggil-manggil. Durahman tercengang dan terkejut. Tidak biasanya dirinya dijemput.

“Pak, Pak, cepat  pulang, Pak,” ucap Syamsuni  dengan napas tersengal-sengal.

“Ada apa, Nak?” tanya Durahman sedikit kaget.

“Paman, Pak, Paman, Pak Haji, Pak”, Syamsuni masih sulit bernapas.

“Ada apa dengan, Paman?” Durahman bingung.

“Paman Haji meninggal dunia, Pak,” Syamsuni berlinang air mata. Tak banyak tanya dan kata, Durahman berlari menuju rumah. Arit dilemparkan dan keranjang pun ia tinggalkan.

Setibanya di  rumah Haji  Lukman, banyak  orang  berdatangan. Terdengar suara isak tangis melepas kepergian Haji Lukman. Bibi Nor pingsan. Ada tetangga yang mengaji, ada pula yang tidak  kuasa  menahan  tangis. Sebagian warga ada yang merawat Bibi Nor.

“Sa'i, pulang, Nak. Kamu selalu dirindukan ayahmu,” ucap Bibi Nor ketika ia sadar. la berkata seperti orang linglung. Sesekali ia berteriak seperti orang kesurupan. Tidak lama, ia pingsan lagi. Banyak perempuan yang menjaga dan memegang Bibi Nor. Ada yang mengusapi ubun-ubun Bibi Nor dengan air. Namun, ada pula yang berzikirdi sebelah Bibi.

“Kamu kerasukan ayahmu. Jika datang dari sawah,kamu langsung mandi," Bibi Nor mulai meracau. Baru saja sadar, ia kemudian pingsan kembali.

Innalillahi wainna ilaihirojiun, rupanya tadi itu kamu pamit kepadaku, Paman?” gumam Durahman sambil menangis.

“Kata Bibi,paman itu kesurupan. Paman mengeluh badannya terasa sakit dan meriang sepulang ayah dari rumah paman,” cerita Syamsuni kepada bapaknya.

"Ini sudah takdir. Pergilah kamu ke pesantren, Nak," Mat Sa'i”Durahman menangis sambil sesegukan.

“Baik,Pak,” Jawab Syamsuni sambil menangis.

Empat puluh hari setelah kepergian Haji-Lukman,Du-rahman pergi ke rumah Mat Sa'i. Sekitar pukul sepuluh malam. Durahman ditemui oleh Mat Sa'i. Suasana tampak sepi. Tak ada suara orang satu pun.Hanya Bibi Nor yang sudah tidur pulas. Keadaaan sunyi sepi. Yang terdengar hanya suara belalang, jangkrik, dan hewan lainnya.

Di kamar, Durahman dan Mat Sa'i saling bercerita. Bercerita tentang sawah, sapi, perjalanan Mat Sa'i ke pondok pesantren, hingga tentang Haji Lukman menjelang ajal. Ketika bercerita Haji Lukman, suara cecak mulai terdengar. Waktu menunjukkan sekitar setengah satu malam. “Saya ingin menyampaikan amanah dari ayahmu, Nak," ucap Durahman.

“Silakan, Paman. Amanah apakah yang dititipkan ayahku kepada Paman?”

Durahman langsung mengeluarkan sebuah barang dengan panjang sekitar dua jengkal. Barang itu dibungkus kain hitam. “Barang ini saya terima dari ayahmu, Nak. Sehari sebelum kepergiannya. la meminta saya menyerahkan barang ini kepadamu,” kata Rahman. Mat Sa'i lalu menangis sesegukan melihat barang itu karena teringat kepada ayahnya.

"Ауо kita ke halaman," uсар Durahman

Tengah malam, sekitar pukul satu, tak ada seorang pun di sekeliling rumah. Hanya Durahman dan Mat Sa'i di halaman. Mat Sa'i duduk bersila menghadap ke Barat. Semua perlengkapan yang dibutuhkan sudah disediakan. Sesuai dengan amanah Haji Lukman, ada kemenyan, air tujuh sumber; dicampur dengan bunga tujuh rupa dan tujuh warna.

Setelah membakar dupa, bibir Durahman tampak komat-kamit membacakan sesuatu. Setelah itu, Mat Sa'i dimandikan. "Ini, Nak, wasiat dari ayahmu. Pusaka ini bernama Malathe Sato'or nama Kabupaten Sumenep dari Pangeran Banuwaju."

Tangan Durahman tampak gemetar ketika menyerahkan pusaka itu Mat Sa'i pun juga gemetar. "Ayahmu juga berpesan jangan sampai pusaka ini kamu gunakan untuk niat-niat yang tidak baik dan jangan lah kamu bersifat sombong. Pusaka ini merupakan leluhur keluarga ayahmu yang juga seorang Buyut Pasar Pusaka ini ada penunggunya. Misal, pusaka ini hilang karena kamu lupa meletakkannya, atau mungkin ada sebab lain, kamu cukup membacakan surah kulhu sebanyak tiga kali. Lalu kamu panggil malathe sato'or, insyaallah pusaka ini akan kembali dengan sendirinya," Mat Sa'i hanya mengangguk.

Waktu semakin larut, ayam mulai berkokok, pertanda subuh akan segera tiba. Burung hantu berbunyi dan berterbangan kesana kemari. Suara cecak semakin  ramai. Durahman pamit pulang.

3. Mengingat Kemerdekaan Indonesia

anak pegang benderaIlustrasi/ Foto: Getty Images/rudi_suardi

Karya: Amirul Muttaqin

Malam itu, malam Jumat wage. Saya bersama adik-adik pergi mengunjungi rumah Kakek Sulaiman. “Assalamualaikum …”

“Waalaikum salam..wah cucu-cucu saya sudah besar. Duduk..duduk, Nak."

Kakek Sulaiman menerima kami dengan suara yang tidak begitu jelas. Suara Kakek terdengar serak. Maklum, kakek sudah sepuh.

Tahun kelahiran kakek bertepatan dengan perayaan para pejuang bangsa Indonesia. Usia kakek saat ini kurang lebih 90 tahun. Namun, semangat kakek masih membara dalam menegakkan kebaikan bangsa Indonesia.

“Nak…kalian ini termasuk anak-anak muda. Badan kalian akan bertambah besar dan pikiran kalian masih sangat kuat, belum pikun. Kakek ini sudah sepuh. Nanti, kalian yang akan meneruskanku," ucap kakek kepada saya dan adik-adik.

Saya bisa dikatakan sebagai cucu kakek yang paling besar dan harus mengajarkan kebaikan kepada adik-adik, serta berkewajiban menegakkan kebaikan untuk bangsa dan negara. Menegakkan kebaikan bangsa ini sama halnya dengan membela bangsa Indonesia seperti yang terjadi pada tahun 1945. Tahun ini, tepat pada tanggal 17 Agustus bangsa Indonesia terbebas dari penjajahan Belanda.

Kakek sering menceritakan kepada kami orang-orang yang membela bangsa Indonesia, terutama para pejuang dan pahlawan bangsa. Ketika saya berada di rumah kakek, selalu diceritakan tentang kemerdekaan bangsa Indonesia yang akan dirayakan setiap tanggal 17 Agustus.

"Nak…ketika zaman penjajahan Belanda, banyak masyarakat membela bangsa Indonesia  dari penindasan penjajah Belanda yang begitu sengit. Orang-orang pada zaman dulu tidak takut mati dalam membela bangsa Indonesia.

Ditambah lagi, pada zaman dulu tidak ada senjata api seperti sekarang ini. Senjata yang digunakan oleh masyarakat Indonesia dalam melawan penjajah Belanda adalah bambu yang diruncingkan. Senjata ini kini dikenal dengan sebutan tombak. Sementara orang yang berani melawan penjajah Belanda disebut Pahlawan," Kakek bercerita penuh semangat hingga tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam lewat tiga puluh menit.

Kakek masih bersemangat untuk melanjutkan cerita tentang bagaimana masyarakat Indonesia memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.“ Kakek tidak istirahat? Sekarang sudah pukul sepuluh malam lebih."

“Ya begitu itu kakekmu, Nak. Kalau sudah membahas tentang bangsa Indonesia, tidak ada yang mampu menghentikannya. Kalau hanya tiga jam, sepertinya masih kurang untuk bercerita," sahut Paman Parman sambil menonton televisi di sebelah kamar menyela perkataanku kepada kakek.

Benar juga ucapan Paman Parman. Kakek mulai bercerita kepada kami mulai selepas salat isya sampai hampir pukul sebelas malam. Cerita pun belum usai. Saya yang duduk di balai depan sudah terasa mengantuk. Namun, karena kakek begitu bersemangat saya pun ikut semangat mendengarkan ceritanya.

Kakek sungguh-sungguh bersemangat. Saya pun ingin meniru semangat juang beliau dalam memperjuangkan bangsa Indonesia.

Adik-adikku sudah terlelap. Namun, saya masih saja semangat untuk bertanya tentang kejadian pada zaman dahulu dan apa pula yang dimaksud pahlawan dalam cerita kakek.

Bagi Kakek Sulaiman, pahlawan diartikan dua hal. Yang pertama, pahlawan Indonesia. Pahlawan Indonesia ini orang yang membela negara dan bangsa Indonesia. Lebih-lebih dalam merebut kemerdekaan.

Pahlawan-pahlawan yang merebut  kemerdekaan, seperti Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, R.A.Kartini, dan sebagainya. Yang kedua, pahlawan daerah, seperti Ke'Lesap dan seterusnya.

Banyak ilmu yang diperoleh dari Kakek Sulaiman. Dari cerita kakek, saya banyak mengetahui sejarah-sejarah kemerdekaan Indonesia dan para pejuang atau pahlawan Indonesia.

Waktu menunjukkan pukul dua belas malam. Kakek masih saja bercerita. Namun, mata sudah tak tahan lagi, sampai tidak terasa, saya tertidur meninggalkan kakek yang tetap bercerita tentang perjuangan bangsa Indonesia.

Tanpa terasa sinar pagi mulai terbit dari Timur. Saya bersama adik-adik berpamitan pulang kepada kakek. Di dalam perjalanan, saya melihat banyak bendera merah putih. Bendera itu untuk memperingati kemerdekaan Indonesia.

Kemerdekaan Indonesia yang diperingati setiap tahun pada tanggal 17 Agustus. Warga biasanya meramaikan kemerdekaan dengan beraneka ragam lomba, seperti lomba lari karung, panjat pinang, tarik tambang, dan lain-lain.

Sesampainya di rumah, saya langsung berangkat ke sekolah. Di sekolah, saya diminta Pak Trio, Kepala Sekolah Yayasan Al-Karomah untuk menyiapkan acara 17 Agustus. Yayasan Al-Karomah ini merupakan Yayasan SMA yang ada di sebelah Timur dari rumah saya.

Dalam menyiapkan acara 17-an, para guru di Yayasan Al-Karomah, terutama pak Trio berharap kepada semua murid untuk ikut memeriahkan. Sebab, para guru bisa mengingatkan kepada para murid mengenai kemerdekaan bangsa Indonesia.

Tanggal 17 Agustus yang dinanti-nanti murid, guru, dan masyarakat telah tiba untuk dimeriahkan. Sepanjang  jalan sudah dipenuhi dengan lampu berwarna-warni dan bendera merah putih dengan beraneka ragam ukuran. Ada yang kecil, sedang, dan besar.

Paman Parman yang biasanya hanya menjual alat-alat tulis menjelang 17 Agustus, ikut menjual bendera dan lampu kelap-kelip. Ada yang berwarna merah, kuning, biru, dan putih. Singkatnya, semua orang turut memeriahkan hari kemerdekaan bangsa Indonesia.

Tanggal 17 Agustus kurang tujuh hari. Lomba-lomba di setiap yayasan pun sudah dimulai, khususnya di SMA Al-Karomah. Banyak teman kelas ikut lomba yang sudah disiapkan.

Seperti lomba tarik tambang dan panjat pinang. Saya juga mengikuti lomba itu dan merasa sangat senang karena saya bisa merasakan betul bahwa para pahlawan Indonesia ini patut diteladani dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia.

4. Sapi Kurban

Karya: Amirul Muttaqin

Lebaran Idul Adha masih setengah bulan lagi, tetapi di Pasar Keppo sudah ramai orang menjual sapi kurban.

Tidak seperti biasa, hari ini Pasar Keppo sangat ramai. Harga sapi kian bervariatif, mulai dari harga lima juta sampai dengan belasan juta rupiah. Harga sapi yang dijual di pasar, khususnya di Pasar Keppo mulai naik. Jika sebelumnya harga jual sapi hanya tujuh juta rupiah, sekarang naik menjadi delapan juta rupiah.

Menjelang lebaran Idul Adha memang menjadi hari baik bagi para penjual sapi kurban, khususnya bagi pedagang sapi. Para pedagang sapi dari berbagai kota berkumpul di Pasar Keppo. Pasar yang merupakan tempat menjual sapi yang sudah sangat terkenal di Kabupaten Pamekasan.

Tepat pada hari Selasa, banyak pedagang menawarkan sapi-sapinya. Tidak ketinggalan juga Matra'ie, pedagang sapi dari Desa Camplong, Sampang yang banyak dikenal orang. Sebagian besar warga Desa Camplong meminta bantuan Matra'ie untuk membelikan sapi.

Di saat bersamaan Matra'ie  juga memasarkan dua pasang sapi dagangannya. Dua pasang sapi tersebut sudah ditawar oleh Haji Sulaiman seharga enam juta lima ratus ribu rupiah per ekor sapinya.

“Kak Mat. sapi yang diikat di samping pohon mangga ini sudah ditawar berapa?” tanya pamanku kepada Matra'ie.

“Sapi itu sudah ditawar enam juta lima ratus ribu rupiah oleh Haji Sulaiman. Ada apa? Apa kamu ingin membeli sapi?”

“lya,” ucap paman sambil menghitung uang yang ada di dompetnya.

“Oh. kalau kamu memang ingin membeli sapi, sebaiknya jangan sekarang Dik. Soalnya saat ini harga sapi sedang melambung  tinggi. Kalau  untuk  dipelihara, sebaiknya membeli ketika harga sapi mulai normal. Tenang saja, nanti pasti saya temani.”

“Tidak, Kak. Saya ingin membeli sapi untuk disumbangkan ke Masjid Siratal Mustaqim di Selatan Nagger sebagai hewan kurban.”

“Oh ya, sebaiknya saya membeli sapi sekarang. Sementara sapi ini biar dipelihara terlebih dahulu."

“Iya. lagi pula saya ingin meminta tolong kepada Paman untuk mencarikan sapi dengan ukuran sedang sesuai dengan dana yang saya miliki untuk dikurbankan. Jangan terlalu mahal," ucap Paman Sofyan kepada Matra'ie yang masih menunggu kedatangan Haji Sulaiman.

Tidak lama kemudian, Haji Sulaiman mendatangi Matra'ie. Haji Sulaiman sekaligus membawa uang yang diletakkan dalam sebuah toples berwarna kuning kunyit. Setelah itu, ia menyerahkan uang sebesar tujuh belas juta rupiah kepada Matra'ie.

"Ini Mat uangnya," ucap Haji Sulaiman sambil menyuruh anak buahnya untuk membawa dua pasang sapi yang dibawa Matra'ie.

Matra'ie  yang memang lihai memilih sapi dengan kualitas bagus dan dengan harga murah, saat ini menawarkan sapi Paman Sofyan kepada pedagang sapi lainnya.

Hari telah panas bagai bara yang baru padam dari api. Perutku mulai keroncongan, tetapi Paman Sofyan masih belum menemukan sapi yang cocok.

“Duh…ayo kita pulang Paman Yan. Dari sekian sapi yang sudah dicarikan oleh Paman  Matra'ie, apakah tidak ada satu pun yang cocok untuk paman?" tanyaku kepada Paman Sofyan.

“Bukan  tidak  cocok, Nak. Tapi harganya terlalu mahal. Uang yang paman bawa tidak cukup untuk membelinya. Paman hanya membawa uang enam juta rupiah. Sementara harga sapi yang ditawarkan Kakak Mat sejak tadi di atas enam juta rupiah. Bukankah begitu, Kak Mat?" kata Paman Sofyan kepada saya dan Paman Matra'ie sambil berbincang-bincang yang baru saja melepas lelah.

Setelah beristirahat sebentar, saya, Paman Sofyan, dan Matra'ie melanjutkan mencari sapi dengan harga sekitar enam jutaan. Waktu hampir menunjukkan pukul dua belas, tetapi Paman Sofyan belum juga menemukan sapi yang pas dengan isi kantong.

"Mat, Mat, kamu mau membeli sapi ya? Ini ada sapi mau dijual dengan harga lima juta lima ratus ribu rupiah. Bagaimana, apakah kamu mau? Kalau tidak mau, ya tidak apa-apa, biar aku saja yang membeli" ucap teman sesama pedagang Matra'ie.

Ada di mana sapinya sekarang?" jawab Matra'ie kepada Buyan, teman pedagang yang tadi menawarkan sapi kepadanya.

“Ada di sana. Ayo kita lihat! Siapa tahu cocok buatmu, tetapi kalau menurutku sih lumayan."

Saya, Matra'ie, dan Paman Sofyan menuju ke tempat sapi itu berada. Sapi yang ditawarkan dengan harga lima juta lima ratus ribu rupiah menghadap ke selatan. Kepalanya mengangguk-angguk seperti sapi sonok yang sedang dipajang.

“Paman sapi ini cocok kalau mau dijadikan hewan kurban. Sapi ini gemuk. Jika sapi ini disembelih pasti banyak dagingnya," ucapku kepada Paman Sofyan yang masih ragu.

Tanpa pikir panjang, Paman Sofyan mengeluarkan uang dari saku celana yang beristleting.

“Baiklah, Kak  Mat, saya  beli sapi ini. Coba Kak Mat tanyakan lagi, siapa tahu masih bisa ditawar lima juta rupiah,” ucap Paman Sofyan kepada Matra'ie.

“Sudah  tidak bisa  ditawar  lagi.Harga  sapi  tetap  minta segitu, Dik. Saya tidak pernah bermain harga, apalagi sekarang  hari  sudah  siang,” pedagang  sapi  yang  tanpa  sengaja mendengar percakapan Paman Sofyan dengan Matra'ie langsung menjawab jika harga sapi tidak bisa ditawar lagi.

Setelah keduanya sepakat dan uang sudah dibayarkan, Paman  Sofyan  menaikkan sapinya ke atas pikap berwarna putih milik Matra'ie. Sapi yang sudah dinaikkan ke pikap dibawa oleh Matra'ie ke rumah Paman Sofyan yang hanya berjarak satu meter dari rumah Matra'ie.

Lebih dari setengah hari, Paman Sofyan baru mendapatkan sapi bagus yang sesuai dengan harga yang dinginkan untuk dikurbankan. Saya yang juga ikut mencari sapi ke pasar merasa lapar. Perut sudah keroncongan seperti bunyi seronen yang sedang ditiup.

"Mang, sebelum kamu pulang ayo kita makan. Saya juga sangat lapar”

Saya yang sedari tadi sudah menunggu tawaran makan dari Paman Sofyan merasa sangat senang. Mulai berangkat ke Pasar Keppo, saya belum sempat sarapan.

“Mau beli makan di mana, Paman?”

"Ayo beli di warung Buk Cepot. Rasanya lebih enak. Porsi nasi lebih banyak dan harganya murah."

"Memang harganya berapa, Paman?"

"Kalau tidak salah lima ribu rupiah"

“Ayo! Saya sudah lapar.”

Setelah makan di warung Buk Cepot, saya dan paman pulang ke rumah. Setibanya di rumah, Paman Sofyan ditanya oleh para tetangga karena mendapatkan sapi bagus dengan harga murah.

“Yan, beli di mana sapi ini? Bukankah sekarang harga sapi mahal?" kata Nenek Nyai kepada Paman Sofyan.

“Benar Nyai, harga sapi sekarang memang mahal. Kebetulan ada yang menawarkan sapi dengan harga murah karena butuh uang, Pedagang sapi itu juga kenal dengan Matra'ie," jawab Paman Sofyan.

Sapi yang dibeli di pasar masih dipajang di depan rumah. Dua belas hari lagi, sapi ini siap dijadikan kurban di Masjid Siratal Mustaqim. Masjid yang berada di sebelah selatan rumah. 

5. Teman Pondok

Karya: Andi Fathorazi

Saya baru pulang dari masjid. Di halaman yang luas, saya melihat seorang lelaki sedang berjalan menuju pondok.

Wajahnya menunduk seperti seseorang yang sedang menghitung seberapa banyak amal ibadahnya.

Yang saya tahu, kamu bernama Ahmad. Cara berjalan sangat mirip. Menunduk sambil melihat debu yang beterbangan. Kamu berjalan nyaris tanpa suara. Saya hanya bisa melakukan kebiasaan lama, tempat di mana saya pernah dibesarkan. Suatu ketika kamu berkata, hidup ini harus mengikuti cara nabi.

"Seperti inilah cara berjalan sesuai dengan apa yang diajarkan oleh nabi, bukannya tolah-toleh. ”Sungguh sangat sempurna, jika kita hidup sesuai dengan apa yang nabi ajarkan,hati terasa bersih. Manusia bisa suci dari dosa. Setiap apa yang kita lakukan mendapatkan pahala.

“Saya memiliki kelompok pengajian yang mengajarkan tentang semua itu. Apakah kamu mau ikut, Man?"tanpa berpikir panjang, saya langsung mengiyakan. Saya ingin membersihkan hati dari daki dunia. Saya ingin mendekatkan diri pada  Sang  Pencipta. Saya tidak ingin menyia-nyiakan hidup  tanpa arti. Saya juga tidak ingin hati saya terjebak hanya dengan urusan duniawi yang tiada makna. Caramu menjaga diri seperti air di tengah panas kehidupan.

“lya, saya ikut. Tapi, kapan acaranya, Mad?” kamu menjelaskan panjang lebar. Kamu yang menceritakan bahwa Masjid An-Nur berada di sebelah selatan pondok. Umumnya yang mengikuti pengajian ini para santri." Ceramah yang diberikan tidak  pernah melenceng dari Alquran dan hadis, seru. Nanti kita akan semakin memahami lslam melalui pengajian itu.”

Kamu  memang  orang  yang  taat  beribadah. Dari  sikap dan perilakumu, saya melihat kamu memang sosok yang berbeda dengan  teman  yang  lain. Kamu  tidak  banyak  tingkah. Hidup   sederhana. Kekuranganmu hanya satu, tidak bisa diajak bicara selain tentang ibadah. Masalah politik, misalnya, mendadak otakmu langsung tidak nyambung. Namun, jika ditanya soal ibadah seketika kamu mendadak pintar dan paham semuanya.

“Seperti inilah Islam. Apa yang diucapkan bermanfaat dan Insyaallah hati tetap suci dan jauh dari kekotoran.”

Sungguh  aku  kagum  kepadamu  karena  itulah  pagi-pagi aku sudah bisa berada di depan Masjid An-Nur. Saya melihat teras masjid sudah penuh, tetapi belum begitu padat. Benar apa yang kamu katakan, pengikut pengajian ini umumnya para santri. Masih sangat muda layaknya kamu dan aku. Dari  wajah-wajahnya tampak menyejukkan dan mereka tidak pernah saya temukan ditempat lain, atau mungkin karena memang saya yang masih baru ditempat itu.

Para  jemaah  putri  duduk  di  deretan  belakang  jemaah putra. Dibatasi dengan kain berwarna biru. Katamu, zina mata itu tidak diperbolehkan. Pengajian belum dimulai. Saya merasa ada di tempat yang anti dosa.

Teriknya  matahari  tak  membuatku  merasakan  panas sedikit  pun. Berbeda dengan dulu, ketika  panas  menyengat, aku kebingungan mencari tempat berteduh. Kali ini sangat berbeda, saya tetap saja duduk dan menikmati suasana.

Tidak lama kemudian,saya mendengar salam dari pengeras  suara, begitu santun. Pengajian  sudah  dimulai. Satu  jam setengah saya mendengarkan ceramah di pengajian itu. Satu wawasan yang menurut saya baru kuterima. Saya tidak  bisa membayangkan jika saya tidak bertemu denganmu. Beribadah itu tidak perlu buru-buru, jangan langsung kau kerjakan semua, ambillah pelan-pelan.

Caramu beribadah sudah saya tiru. Saya merasa nyaman berteman denganmu. Suatu hari, sesampainya di kamar selepas pengajian, saya hanya melihat satu orang berbaring sambil membaca buku. Saya bertanya, ke mana teman-teman yang lain?" ia hanya mengangkat bahu. Saya membuka kopiah dan membuka lemarimu. Saya terkejut. Lemari itu kosong.

“Hei…ke mana Ahmad, mengapa bajunya tidak ada?”

“Tidak tahu, mungkin sudah pindah.”

“Mad, mengapa kamu tidak memberitahu saya terlebih dahulu kalau mau berhenti?"

Bingung saya membuka lemarimu untuk kedua kalinya. Namun hasilnya tetap sama saja. Lemari itu kosong saya tidak tahu apa yang harus saya perbuat. Saya duduk di atas kasur yang tipis dan hanya melihat selembar kertas putih yang ditujukan kepada saya. Suratmu padaku.

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatu

Untuk teman yang sudah saya anggap seperti saudara sendiri, Rahman. Semoga kamu selalu dalam lindungan Allah SWT. Saya minta maaf karena belum sempat berpamitan terlebih dahulu. Saya sudah lama menunggumu. Tetapi  kamu tak  kunjung datang. Saya ingin kamu  tetap tenang dan jangan terkejut.Tadi,saya menerima telepon dari ibu. la meminta saya segera pulang. Ibu seorang diri di rumah dan meminta saya menemaninya. Saya diminta berhenti dari pondok. Maafkan saya jika selama ini berbuat salah. Semoga kita masih bisa dipertemukan kembali.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatu 

Tiga tahun saya tidak lagi bersamamu. Setahun kemudian, saya memutuskan keluar dari pondok. Saya sudah tidak  tahan  menghadapi  teman-teman sekamar yang semakin tidak karuan. Saya rindu padamu. Hari-hariku terasa sepi. Sampai suatu ketika, di sebuah toko buku yang berada di kota, kamu tampak tersenyum padaku sambil membuka buku filsafat.

Saya kaget bukan kepalang. Mungkin kamu juga teringat karena apa yang saya pakai saat ini tidak pernah berubah mulai kita berpisah. Tetapi kamu? Ke manakah sarung yang kamu pakai dulu? Lalu, di mana surban yang selalu menempel di bahumu? Lalu wajahmu, saya hanya mengingat senyummu, tetapi mengapa wajahmu tidak secerah dulu?

Saya sudah tidak berani menanyakan siapa namamu. Terpaksa hanya mengingat nama yang sudah diberikan orang tuamu. Tidak berubah, kamu masih saja tidak suka mengulur-ngulur  pembicaraan. Setelah saya menyebutkan namaku, kamu lalu menarikku keluar. "Saya Ahmad. Saya sudah tidak percaya lagi dengan agama.”

Pernyataanmu sungguh mengagetkan. Awalnya, sауа mengira kamu hanya bercanda. Namun, caramu menyampaikan dengan begitu pelan dan terlihat sungguh-sungguh membuat saya tercengang sampai kamu selesai  berbicara. Kurang lebih tiga jam lamanya dalam sehari. Setiap asar sampai magrib, di indekosmu, saya mendengarkan bagaimana kamu berhenti dari pondok.

Satu cerita yang membuat saya tidak terima. Apa yang kamu ucapkan sekarang tidak sama dengan dulu. Sekarang kamu tidak percaya lagi dengan agama, ibadah, dan iman. Sebab, kamu pernah kecewa. Hal itu yang membuatmu tidak lagi mau bersujud kepada Sang Pencipta. Sekarang kamu menertawai kebiasaan orang lain yang dulu pernah kamu lakukan di pondok.

Tidak ada gunanуa saya salat, berzikir, dan berdоа kepada Tuhan. la tidak pernah mengabulkan permintaan saya." Saya paham bahwa Tuhan tidak pernah memberi apa yang kamu minta. lbadahmu juga tidak mampu memberikanmu sesuatu.

Menurut saya, kamu berubah karena terpengaruh dengan sikap teman-teman waktu di pondok. Sampai kamu berani mengutuk Tuhanmu.

Menurut pengakuanmu, kamu tidak lagi beriman karena dalam iman masih banyak kekurangan. Iman ini artinya percaya. Padahal dulu, kamu pernah mengatakan bahwa percaya ini merupakan tingkatan paling tinggi dibandingkan dengan memberi bukti.

Kamu harus mengetahui bahwa apa yang kamu katakan itu mengganggu orang banyak. Itu adalah hakmu. Saya merasa kamu sudah masuk ke dalam jurang yang begitu dalam dan gelap. Saya juga paham bahwa apa yang kamu ucapkan salah.

Saya hanya bisa mengingatkanmu, kembalilah ke jalan yang benar.

Jika kamu masih bisa berubah seperti dulu, saya mau berteman denganmu. Namun, jika tidak, saya mohon maaf. Kamu dan saya sudah tidak sejalan. Sekali lagi, saya mohon maaf.

Itulah cerpen bahasa Madura beragam tema penuh makna. Semoga bermanfaat untuk pengetahuan Si Kecil, Bunda.

Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!

(fir/fir)

Read Entire Article
Berita Nusantara Berita Informasi Informasi Berita Berita Indonesia Berita Nusantara online Berita Informasi online Informasi Berita online Berita Indonesia online