Jakarta -
Kekerasan terhadap perempuan tak hanya mencakup kekerasan fisik atau psikis. Kekerasan Berbasis Gender yang Difasilitasi Teknologi atau Kekerasan Berbasis Gender Online mulai banyak terjadi pada perempuan.
Jenis kekerasan ini memang fenomena baru, tetapi telah meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir. Menurut data global dari Institute of Development Studies, prevalensi kekerasan terhadap perempuan yang difasilitasi teknologi atau Technology-Facilitated Gender-Based Violence (TFGBV) berkisar 16 sampai 58 persen.
Sementara itu, data dari Economist Intelligence Unit (EIU) menemukan bahwa 38 persen perempuan yang pernah mengalami kekerasan online, dan 85 persen perempuan yang menghabiskan waktu di ranah online pernah menyaksikan kekerasan online terhadap perempuan lain.
Jenis kekerasan gender berbasis online terhadap perempuan
Ada beberapa jenis kekerasan gender berbasis online atau yang difasilitasi teknologi, yang rentan dialami perempuan, yakni:
- Kekerasan siber dan cyberstalking (menguntit di dunia maya)
- Eksploitasi dan pelecehan seksual daring (online grooming)
- Doxing atau membagikan informasi pribadi ke publik
- Disinformasi gender, ujaran kebencian, pencemaran nama baik
- Pelecehan berbasis gambar/foto (deepfake, berbagi foto tanpa persetujuan)
- Intimate partner suveillance melalui ponsel atau aplikasi spyware
Jenis kekerasan berbasis gender online terhadap perempuan yang paling banyak dialami dan dilaporkan
Ada tiga kekerasan berbasis teknologi yang sering terjadi menurut EIU, yakni disinformasi dan pencemaran nama baik sebanyak 67 persen, pelecehan di dunia maya 66 persen, dan ujaran kebencian sebesar 65 persen.
"Paling menyeramkan itu memang kekerasan yang difasilitasi dan diperparah oleh teknologi. Kemudian, 2/3 dari yang disurvei tersebut merasa bahwa apa yang diterima atau dialami mereka di ranah maya itu akan dieskalasi atau dibawa ke dunia nyata," kata Officer in Charge for Country Representative UN Women Indonesia Dwi Faiz, dalam Media Briefing UN Press Club: Kekerasan Terhadap Perempuan di Jakarta Pusat, Senin (25/11/24).
Kasus kekerasan berbasis gender yang difasilitasi teknologi ini tidak semua dilaporkan ke pihak berwajib. Hal tersebut membuat data dari jumlah kasus kekerasan yang dilaporkan berbeda dengan yang dialami oleh perempuan, Bunda.
Dalam kesempatan yang sama, Senior Technical Advisor/Gender Taskforce UNDP Indonesia, Syamsul Tarigan, mengatakan bahwa kasus kekerasan paling banyak yang dilaporkan di Indonesia adalah image-based abuse atau kekerasan berbasis gambar. Hal tersebut juga dikaitkan dengan kejahatan, seperti pemerasan yang dilakukan pelaku pada korban.
"Dari data yang dilaporkan ke kepolisian dan teman-teman, itu sebagian besar terkait dengan image-based abuse, misalnya menyebarkan foto pacarnya. Jadi ini terkait juga dengan sexcortion, di mana ada pemerasan terkait foto-foto tersebut," ungkap Syamsul.
Ilustrasi Bermain Ponsel/ Foto: Getty Images/iStockphoto/SunnyVMD
Cara mencegah jadi korban kekerasan berbasis gender online
Kekerasan berbasis gender online terhadap perempuan dapat dicegah, Bunda. Menurut Dwi, tiga cara untuk mencegahnya, yakni:
- Level kebijakan, yakni membuat kebijakan yang dapat memperjuangkan hak perempuan korban kekerasan berbasis gender online, seperti yang dilakukan negara Meksiko pada tahun 2011.
- Pencegahan literasi, di mana kita sebagai digital citizen perlu menghormati privasi orang lain, apa pun gender-nya.
Pencegahan lain yang dapat dilakukan adalah memberikan pemahaman terkait kekerasan berbasis gender online, termasuk unsur pidana di dalamnya. Menurut Syamsul, pendidikan tentang cyber crime setidaknya perlu diberikan ke masyarakat untuk memahami dampak buruknya, Bunda.
"Para pelaku ini banyak yang tidak paham dengan unsur pidana bila menyebarkan tanpa persetujuan orang lain atau melakukan doxing. Jadi, yang perlu dilakukan adalah pendidikan terkait cyber crime ini ke kalangan remaja dan masyarakat umum," ungkap Syamsul.
Lantas, apa yang dapat dilakukan bila Bunda telah menjadi korban dari kekerasan berbasis gender online?
Syamsul mengatakan bahwa setiap perempuan yang mendapatkan kekerasan berbasis gender apa pun dapat melaporkan ke pihak berwajib atau menghubungi call center layanan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemenpppa) di SAPA 129.
"Bisa kalau mau langsung lapor ke SAPA 129," ungkapnya.
Demikian penjelasan terkait kekerasan berbasis gender online terhadap perempuan serta cara mencegah dan melaporkannya. Semoga informasi ini bermanfaat ya, Bunda.
Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!
(ank/rap)