Kritik Orang Tua pada Anak Remaja Ternyata Bisa Berujung Depresi, Ini Kata Studi

12 hours ago 5

Jakarta -

Masa remaja menjadi salah satu periode krusial dalam perkembangan emosional dan mental, Bunda. Di fase ini, anak mulai menunjukkan jati diri, mencari pengakuan, dan sangat sensitif terhadap penilaian dari orang-orang terdekatnya, terutama dari Bunda dan Ayah.

Namun pada perjalanannya, komunikasi antara orang tua dan anak tidak selalu berjalan mulus. Salah satu hal yang kerap terjadi adalah bentuk kritik dari orang tua yang bertujuan sebagai motivasi, justru berdampak sebaliknya pada anak.

Kritikan yang diberikan orang tua kepada remaja bisa jadi diartikan salah. Dengan begitu, anak bukannya termotivasi, justru menjadi lebih depresi.

Penelitian kritik orang tua membuat remaja depresi

Sebuah studi yang diterbitkan dalam Psychological Medicine baru-baru ini menemukan bahwa remaja dengan depresi berat lebih sensitif terhadap kritikan orang tuanya. Mereka juga kurang sensitif terhadap pujian dari orang tua dibandingkan remaja yang sehat tanpa depresi.

Melansir dari laman Psypost, remaja yang sehat tanpa depresi ini akan memperlihatkan aktivitas otak yang meningkat dan suasana hati yang baik.

Depresi remaja adalah masalah kesehatan mental yang serius dan umum terjadi yang mengakibatkan rendahnya harga diri. Interaksi negatif antara orang tua dan remaja telah dikaitkan dengan perkembangan depresi, Bunda.

Meski begitu, sedikit yang diketahui tentang bagaimana remaja dengan depresi secara khusus menanggapi umpan balik dari orang tuanya. Karena itu, peneliti Lisanne van Houtum dari Universitas Leiden di Belanda bersama rekan-rekannya, memutuskan untuk menyelidiki respons emosional dan otak remaja dengan depresi terhadap umpan balik negatif maupun positif dari orang tua.

Para peneliti merekrut 20 remaja Belanda berusia 13,5 hingga 18 tahun yang didiagnosis mengidap distimia (bentuk depresi kronis ringan) atau gangguan depresi mayor yang akut dan parah. Tidak hanya itu, ada juga 59 remaja sehat berusia 12 hingga 18 tahun tanpa depresi. Untuk kedua kelompok ini, para orang tuanya juga diajak untuk ikut dalam penelitian.

Baik remaja maupun orang tua mereka pada awalnya disajikan dengan kata-kata 'umpan balik' yang merupakan deskripsi satu kata tentang karakteristik kepribadian. Mereka ditugaskan untuk menilai kata-kata ini sebagai negatif misalnya 'tidak dapat dipercaya'), netral (misalnya 'kacau'), atau positif (misalnya 'baik hati').

Para remaja kemudian ditempatkan di dalam pemindai Magnetic Resonance Imaging (MRI) untuk mengukur aktivitas otak mereka. Sebelum memulai tugas, para remaja diberi tahu secara keliru bahwa Bunda atau ayah mereka akan memilih kata-kata umpan balik positif dan negatif yang menurut mereka paling menggambarkan kepribadian remaja tersebut.

Setiap kata umpan balik diawali dengan 'Ibumu atau Ayahmu menganggapmu...'. Dalam praktiknya, para peserta benar-benar diperhatikan campuran kata-kata umpan balik yang telah diprogram sebelumnya, dan setelah melihat setiap umpan balik, para remaja melaporkan suasana hati mereka.

Setelah tugas ini, di luar pemindai MRI, para remaja diminta untuk mengingat kata-kata umpan balik sebanyak mungkin dalam dua menit.

Hasil penelitian

Dengan menggunakan pemodelan matematika, para peneliti menemukan bahwa remaja depresi dan remaja sehat mengalami penurunan suasana hati setelah kritik dan peningkatan suasana hati setelah pujian. Meski begitu, peningkatan suasana hati setelah pujian 'tumpul' pada remaja depresi dibandingkan remaja yang sehat.

Analisis pemindaian MRI mengungkapkan remaja dengan depresi menunjukkan peningkatan aktivitas otak dibandingkan dengan remaja sehat dalam menanggapi kritik, terutama korteks cingulate anterior subgenual (sgACC). Wilayah ini dihipotesiskan sebagai 'gerbang penjaga' antara wilayah otak yang mengontrol kognisi tingkat tinggi dan wilayah otak yang mengontrol emosi sehingga sangat penting dalam pengelolaan suasana hati.

"Peningkatan aktivitas sgACC dapat mengindikasi upaya koordinasi sirkuit (kognitif) dan emosional di otak," ujar Lissane.

Pemindaian MRI juga mengungkap peningkatan aktivitas pada remaja depresi dibandingkan dengan remaja sehat di kutub temporal, yang dianggap menyimpan pengetahuan sosial, selain area otak yang terkait dengan ingatan akan peristiwa hidup.

Temuan ini sejalan dengan dengan bagaimana remaja yang depresi secara bebas mengingat lebih banyak kritik daripada pujian setelah pemindaian MRI. Kelompok ini cenderung memiliki bias untuk memperhatikan umpan balik negatif dan menghafal umpan balik negatif dengan lebih kuat.

Seperti yang diprediksi, remaja dengan depresi menunjukkan pandangan diri yang lebih negatif. Ini terlihat jelas dalam bagaimana kata-kata umpan balik positif dinilai kurang dapat diterapkan pada diri sendiri, dan kata-kata negatif atau netral lebih dapat diterapkan pada diri sendiri dibandingkan dengan remaja yang sehat.

"Mengidentifikasi karakteristik kepribadian yang dihargai remaja tentang diri mereka sendiri mungkin menjadi kunci untuk meningkatkan suasana hati mereka yang tertekan. Orang tua bisa diajari untuk mengidentifikasi dan mengakui karakteristik anak yang berharga ini dan dengan demikian bisa mendukung perkembangan pandangan diri yang lebih positif," kata Lissane.

Meski suasana hati kedua kelompok membaik jika pujian selaras dengan pandangan diri para remaja, hal ini menghasilkan peningkatan suasana hati yang lebih kecil pada remaja yang depresi. Hal ini karena mereka sudah memandang diri mereka dengan negatif, Bunda.

"Remaja dengan depresi sangat sensitif terhadap kritik orang tua. Mereka memandang diri mereka sendiri sudah negatif dan kurang mengandalkan pandangan diri mereka ketika dihadapkan dengan kritik orang tua," papar Lissane.

Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!

(mua/rap)

Read Entire Article
Berita Nusantara Berita Informasi Informasi Berita Berita Indonesia Berita Nusantara online Berita Informasi online Informasi Berita online Berita Indonesia online