Jakarta -
Selesai menyusui harapannya Bunda lebih bahagia karena berkurang satu tugas utama. Kenyataannya, ada juga risiko depresi yang menghampiri. Yuk, mengenal depresi pasca menyapih lebih lanjut, Bunda.
Warna warni menyusui memang tidak pernah habis dibahas ya, Bunda. Setelah berjuang dengan pasokan ASI kurang lebih dua tahun, kelulusan bayi dari ASI pun ternyata mendatangkan masalah baru. Tak sedikit para Bunda yang justru merasa depresi pasca menyapih.
Penting Bunda ketahui bahwa sebenarnya setiap anak pada akhirnya akan berhenti menyusui. Dan, mereka akan berhenti menyusui dengan sendirinya, sama seperti mereka berhenti menyusui karena perilaku balita dan anak kecil lainnya.
Depresi pasca menyapih
Bagi banyak keluarga, pendekatan dengan dituntun oleh anak mungkin bisa berhasil dan transisi dari menyusui ke tidak menyusui lagi berjalan lancar. Semua itu mungkin tidak terlalu terasa jika penyapihan dilakukan secara perlahan dan lembut.
Proses 'penyapihan alami' ini memungkinkan anak untuk berkembang sesuai kecepatannya sendiri, berhenti menyusui sesuai dengan waktu alami mereka sendiri. Daripada memilih waktu tertentu untuk berhenti menyusui, banyak ibu terus menyusui saat masih bisa menyusui dan melihat bagaimana hasilnya. Itu mungkin berarti menyusui selama bertahun-tahun lebih lama dari yang Bunda harapkan saat pertama kali menyusui bayi Bunda.
Apa pun pilihannya, proses tersebut mungkin tidaklah mudah dilalui sebagian ibu. Sering kali, rasa depresi justru muncul ketika fase tersebut dilewati. Hal ini wajar saja terjadi kok, Bunda. Bagaimana rasanya menyapih anak setelah dua tahun bersama mengASIhi memang melekatkan kedekatan emosional. Karenanya, ketika momen tersebut berakhir, hal ini bisa menjadi sangat emosional bagi para ibu dan menciptakan berbagai macan perasaan.
Bagi sebagian orang, ini mungkin saat yang menyedihkan karena rasa kehilangan akan masa lalu dan kesedihan karena ‘hari-hari istimewa bayi’ bersama mereka telah berlalu. Bagi sebagian lainnya, ini mungkin melegakan dan merupakan saat yang Bunda dambakan dan Bunda pikir tidak akan pernah hadir kembali seperti dikutip dari laman La Leche.
Atau mungkin gabungan keduanya juga bisa terjadi ya, Bunda. Mungkin di satu saat Bunda merasa lega karena intensitas menyusui telah berlalu dan di saat berikutnya Bunda merasa sedih karena tahap menjadi ibu ini akan segera berakhir, padahal tahap ini sangat penting bagi Bunda.
Risiko depresi pasca menyapih
Perasaan mendalam yang berkecamuk tak dipungkiri bisa memunculkan hal baru termasuk hadirnya depresi pasca menyapih. Depresi pasca-menyapih, yang terkadang juga disebut sebagai weaning blues, adalah "masalah kesehatan mental yang dapat muncul saat wanita dalam proses berhenti menyusui bayinya", kata Astrid S. Tiefholz, seorang konsultan laktasi di Karitane.
Sebagian ibu yang mengalami kondisi tersebut digambarkan Nicole Highet yang memiliki latar belakang dalam psikologi klinis disebabkan adanya faktor psikologis dan fisiologis seperti dikutip dari laman Abc.net.
Sebuah tinjauan studi tahun 2024 tentang pengalaman tersebut mengatakan bahwa hal itu sering kali salah diberi label sebagai depresi pasca persalinan yang terjadi pada akhir masa menyusui.
Fluktuasi hormon termasuk kadar prolaktin, oksitosin, dan estrogen semuanya dapat memengaruhi suasana hati dan kesejahteraan pengasuh yang menyusui selama proses penyapihan, kata Astrid S. Tiefholz, seorang konsultan laktasi.
"Mirip dengan banyak situasi saat terjadi perubahan hormonal dalam hidup, beberapa perempuan akan mengalami fluktuasi tersebut dengan sangat intens, dan yang lainnya hampir tidak menyadarinya sama sekali."
Gejalanya bisa mirip dengan yang dialami selama depresi pasca persalinan, katanya, dan meliputi perasaan kehilangan, hampa, sedih, mudah tersinggung, bersalah, dan bahkan duka.
"Depresi pasca-menyapih belum banyak diteliti sampai-sampai tingkat prevalensinya pun tidak jelas," kata Dr. Highet.
Salah satu penelitian yang termasuk dalam tinjauan tahun 2024 adalah proyek yang melibatkan lebih dari 40.000 wanita Norwegia.
"Ditemukan bahwa ibu yang berhenti menyusui atau memberikan makanan padat atau susu formula serta menyusui memiliki tingkat kecemasan dan depresi yang lebih tinggi pada enam bulan setelah melahirkan bayi mereka," kata Highet.
"Perempuan yang memiliki tingkat kecemasan dan depresi yang lebih tinggi selama kehamilan juga mengalami peningkatan gejala-gejala ini setelah penyapihan dibandingkan dengan mereka yang tidak."
Ia mengatakan bahwa ini adalah area yang memerlukan penelitian lebih lanjut. Tiefholz mengatakan wanita dengan riwayat masalah kesehatan mental akan memiliki risiko lebih besar mengalami depresi pasca penyapihan, begitu pula ibu yang baru pertama kali melahirkan, dan mereka yang menyapih lebih awal.
"Fluktuasi hormonal akan kurang intens bagi ibu yang telah menyusui selama tiga tahun lebih, dibandingkan dengan tiga bulan.
"Jika keputusan untuk menyapih belum menjadi sesuatu yang ibu siap atau nyaman untuk ambil bagian, itu bisa membuatnya jauh lebih sulit juga."
Karena menyapih juga bisa menyoal tentang perubahan dalam hubungan, kata Tiefholz, ibu dengan anak-anak dari segala usia bisa merasa sulit.
Cara mencegah dan mengelola depresi pasca menyapih
Dr. Highet mengatakan penting bagi ibu untuk menyadari kemungkinan depresi pasca-menyapih sehingga mereka mengetahui tanda-tandanya.
Beberapa strategi yang disarankannya termasuk menyapih secara perlahan daripada tiba-tiba, berbicara dengan konsultan laktasi, terkoneksi dengan asosiasi atau komunitas menyusui, dan mengakses dukungan profesional melalui psikolog atau psikiater dengan keahlian dalam kesehatan mental perinatal.
"Memprioritaskan perawatan diri juga penting serta menunjukkan banyak belas kasih pada diri sendiri."
Semoga informasinya membantu ya, Bunda.
Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!
(pri/pri)