Jakarta -
Kehamilan dapat terjadi ketika sel telur berhasil dibuahi oleh sperma dan calon embrio menempel di dinding rahim. Dalam proses pembuahan, kualitas sperma sering kali dikaitkan dengan output embrio yang sehat, Bunda.
Studi baru-baru ini bahkan menemukan fakta yang cukup mengejutkan tentang sperma Ayah. Studi yang diterbitkan dalam Molecular Psychiatry pada Januari 2025 menemukan, sperma Ayah dapat memengaruhi psikologi anak di masa mendatang.
Pengaruh psikologis ini dikaitkan dengan sesuatu yang negatif, Bunda. Menurut studi, pria yang mengalami kekerasan atau penelantaran di masa kecil menunjukkan perubahan yang jelas dalam susunan molekuler sperma mereka. Penanda biologis tersebut dianggap memainkan peran penting dalam regulasi dan perkembangan gen.
Temuan studi ini juga memberikan petunjuk baru tentang bagaimana stres di awal kehidupan tak hanya memengaruhi calon ayah, tetapi juga anak-anak mereka di masa depan, melalui proses yang dikenal sebagai pewarisan epigenetik.
Dilansir dari laman Psypost, pewarisan epigenetik atau epigenetic inheritance mengacu pada pewarisan informasi biologis dari satu generasi ke generasi berikutnya yang tidak melibatkan perubahan pada urutan DNA. Sebaliknya, ini melibatkan modifikasi kimia yang dapat memengaruhi cara gen diaktifkan atau dinonaktifkan, Bunda.
Sperma Ayah dapat memengaruhi psikologis anak di masa mendatang
Gagasan bahwa pengalaman masa kanak-kanak seorang Ayah dapat dikodekan secara biologis dalam spermanya dan berpotensi diturunkan melalui mekanisme epigenetik menarik minat para peneliti. Motivasi peneliti semakin diperkuat oleh penelitian sebelumnya yang menunjukkan hubungan antara kesulitan masa kecil ayah dan perubahan struktural pada otak bayi yang baru lahir.
"Kami telah menerbitkan studi sebelumnya yang menemukan hubungan antara paparan 'kekerasan' masa kecil yang dialami ayah dan materi putih (white matter) pada otak bayi baru lahir," kata penulis studi dan direktur Turku Brain and Mind Center di University of Turku, Jetro J. Tuulari.
"Hal ini mengejutkan karena ayah tidak memiliki pengaruh langsung terhadap perkembangan janin selama kehamilan. Itu juga memicu minat saya terhadap bidang penelitian ini," sambungnya.
Studi terbaru ini dilakukan dengan menggunakan data dari FinnBrain Birth Cohort Study yang telah berjalan lama. Peneliti lalu berfokus pada 55 pria Finlandia. Mereka dipilih berdasarkan seberapa banyak kesulitan yang dialami di masa kanak-kanak yang diketahui dari kuisioner Trauma and Distress Scale.
Para peneliti lalu membandingkan dua kelompok, di mana satu kelompok terdiri dari pria dengan skor tinggi (banyak mengalami kekerasan di masa kecil), dan satu kelompok dengan skor rendah.
Selanjutnya, peneliti menganalisis sampel sperma dari subjek untuk menyelidiki dua fitur molekuler utama, yakni RNA non-coding kecil dan metilasi DNA. RNA non-coding kecil bertugas untuk mengatur aktivitas gen yang dianggap berperan dalam perkembangan awal embrio. Sementara itu, metilasi DNA adalah penanda kimia yang dapat mengaktifkan dan menonaktifkan gen, serta dianggap sebagai pengatur penting selama masa perkembangan.
Dalam studi ini, tim peneliti juga tak lupa untuk mengendalikan variabel-variabel seperti usia, kebiasaan merokok, penggunaan alkohol, dan gejala masalah kesehatan mental.
Hasil penelitian terbaru
Hasil penelitian menemukan perbedaan yang mencolok antara kedua kelompok, Bunda. Salah satu molekul yang terlibat dalam perkembangan otak dan diwariskan dari sperma ke embrio selama pembuahan, terbukti berpotensi memengaruhi bagaimana otak terbentuk.
Ada satu yang membuat temuan ini sangat menarik, yakni bahwa tanda-tanda epigenetik tetap signifikan bahkan setelah disesuaikan dengan berbagai variabel gaya hidup dan kesehatan. Hal itu menunjukkan bahwa perubahan biologis jangka panjang yang berasal dari pengalaman di awal kehidupan seorang pria dapat memengaruhi psikologis anaknya, dan itu tidak terkait dengan gaya hidup yang buruk.
"Studi kami menemukan hubungan yang kuat secara statistik antara paparan penganiayaan atau kekerasan di masa kanak-kanak dan epigenom sperma, yang menyiratkan bahwa stres di awal kehidupan dapat berdampak jangka panjang pada gamet (sel yang berperan dalam pembentukan zigot)," ungkap Tuulari.
Perlu dicatat, studi ini tetap memiliki keterbatasan ya, Bunda. Meskipun mencakup sampel manusia terbesar untuk analisis sperma, jumlah subjeknya masih relatif kecil. Penelitian di masa mendatang tetap diperlukan untuk memantau kaitan kondisi sperma Ayah dan pengaruhnya ke psikologis anak.
Demikian hasil studi terbaru tentang sperma Ayah dan pengaruhnya ke psikologis anak. Semoga informasi ini bermanfaat, Bunda.
Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!
(ank/pri)