TEMPO.CO, Jakarta - Sekitar 22 tahun lalu, tiga buah bom Bali mengguncang Pulau Dewata pada 12 Oktober 2002 dan merenggut 203 korban jiwa, salah satunya suami dari Ni Luh Erniati, Gede Badrawan.
Ketika itu bom meledak di beberapa titik, dua ledakan pertama terjadi di Paddy’s Pub dan Sari Club (SC) di Jalan Legian, Kuta, Bali pada pukul 23.05 WITA.10 menit berselang, tepatnya pukul 23.15 WITA, ledakan bom berikutnya terjadi di Renon, dekat Kantor Konsulat Jenderal Amerika Serikat. Kemudian pada 2005 kejadian serupa dengan skala lebih kecil kembali terulang, dan disebut dengan tragedi Bom Bali II.
Ni Luh Erniati, Ketua Yayasan Penyintas Indonesia (YPI) Bali yang juga keluarga korban Bom Bali I. Foto: Istimewa
Salah satu keluarga korban, Ni Luh Erniati, menuturkan saat malam terjadinya peledakan bom itu, Badrawan tengah bekerja di Sari Club sebelum akhirnya dinyatakan menjadi salah satu korban tewas. “Saat itu, suami saya ada di Sari Club, beliau sedang kerja malam waktu itu, dan saya ada di kos-kosan bersama anak-anak,” kata dia saat ditemui Tempo pada Selasa, 6 Agustus 2024.
Ketua Yayasan Penyintas Indonesia (YPI) Bali itu mengungkapkan, butuh waktu hingga empat bulan sampai jenazah sang suami berhasil diidentifikasi dokter forensik.
“Saya dapat informasi yang jelas tentang almarhum itu, setelah empat bulan, jadi selama empat bulan itu saya menanti. Menanti kalau tiba-tiba suami saya pulang,” ia menambahkan, “Saya cuma bisa nanya satu, dok gimana kondisinya, saya nggak kebayang kan, nggak kebayang sama sekali, dan dokter jawab, itu tujuh puluh persen (yang tersisa),” imbuhnya.
Karena itu, bukan perkara mudah bagi Erniati dan anak-anaknya untuk melanjutkan hidup. “Saya yang dulunya sebagai ibu rumah tangga biasa, tiba-tiba harus jadi bapak sekaligus jadi orang tua tunggal, saya harus kerja, saya harus menjaga mereka juga, sedangkan mereka masih kecil-kecil, itu situasi yang sangat berat,” ujarnya.
Erniati mengaku kejadian itu sangat membekas baginya hingga membuat dia harus menjalani konseling untuk bisa pulih. “Saya juga harus ke konseling, ke psikiater ke psikolog, dan harus minum obat beberapa lama, anak-anak juga saya konselingin. Dampaknya keras banget. Anak saya yang pertama itu, kan dia sekolah di Kuta, dia dapat bintang kelas, tapi setelah kejadian ketika saya ajak pindah ke sini ternyata dia itu nggak bisa nulis, nggak kebaca,” kata dia.
Hingga pada 2003, ia memutuskan pergi ke Denpasar, bersama kelima rekannya ia mengikuti pelatihan dan belajar cara menjahit. Bermula dari sana Erni mulai mengumpulkan modal untuk membuka usaha garmen sendiri.
Iklan
“Akhirnya saya kembali ke Denpasar, karena dikampung nggak tahu harus ngapain, saya memulai kerja bersama teman-teman yang juga sama nasibnya dengan kita, itu belajar jahit. Sampai akhirnya itu saya geluti terus, sampai akhirnya mendapatkan penghasilan, sampai sekarang,” ujarnya.
Lebih lanjut, berangkat dari keresahan yang sama sebagai korban, di tahun yang sama Erniati bersama lima keluarga korban lainnya membentuk sebuah wadah bagi para keluarga korban Bom Bali I yang mereka namakan Isana Dewata.
“Kita kasih nama Isana Dewata, Istri, Anak, Suami Dewata gitu, kami berkumpul. Itu awalnya cuma korban-korban tidak langsung, yang suaminya meninggal, yang istrinya meninggal sama anak-anak, kemudian berkembang kita gabung, udah dapat kan kontak-kontak korban langsung akhirnya kita ngumpul jadi satu. Di tahun 2016 kita sepakat nih, teman-teman Jakarta datang, kenapa kita nggak bikin satu, jadi jangkauannya lebih luas, terbentuklah YPI,” katanya.
Erniati mengungkapkan, lewat yayasan itu ia dan para penyintas turut ambil peran dalam mengkampanyekan perdamaian agar hal-hal serupa tidak lagi terjadi. “Kami penyintas juga tidak diam, tidak hanya pemerintah yang berusaha menahan agar tidak terjadi, tapi penyintas juga. Kami melakukan kampanye perdamaian bekerja sama dengan Aliansi Indonesia Damai namanya di Jakarta. Kami datang ke sekolah-sekolah, bertemu dengan mantan pelaku untuk sebuah perdamaian," ujarnya.
Peringatan Bom Bali tahun ini mengambil tema “Dari Korban Menjadi Penyintas: Perdamaian di Indonesia”. Berlangsung di Monumen Bom Bali Ground Zero, Kuta, Kabupaten Badung, pada Sabtu, 12 Oktober 2024 lalu, peringatan ini juga diisi dengan doa lintas agama.
NI KADEK TRISNA CINTYA DEWI | RACHEL FARAHDIBA R
Pilihan Editor: Kisah Keluarga Korban Bom Bali, Ni Luh Erniati: Hidup Setelahnya Tak Lagi Mudah