TEMPO.CO, Batam - Suatu malam, Rahmah Nurlidaya terbangun dari tidur, ketika seorang warga setempat memanggil "dokter keluarga" itu ke rumahnya di Pulau Pecong, Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Perempuan yang akrab disapa Rahmah itu mendapat kabar bahwa salah seorang warga Pulau Pecong mengalami penurunan kesadaran akibat penyakit gula darah akut.
Rahmah bergegas menuju rumah pasien yang juga tetangganya itu. Dalam gelap malam, dokter umum ini melakukan terapi awal kepada pasien. Namun, kondisinya semakin memburuk sehingga diputuskan untuk merujuk tetangganya itu ke rumah sakit di Kota Batam.
"Malam-malam kami berangkat menggunakan perahu kecil ke Batam, kejadian sekitar pukul 12 malam," kata Rahmah bercerita menggenang kejadian tahun 2012 itu.
Pulau Pecong merupakan satu pulau kecil yang terdapat di Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam. Dari pulau tersebut butuh waktu perjalanan hampir dua jam menuju Kota Batam.
Masih jelas dalam ingatan Rahmah mengenai kejadian itu. Ia bersama tekong kapal dan seorang mantri (perawat desa terpencil), membawa pasien yang setengah sadar tersebut membelah lautan.
Perhatian Rahmah tidak lepas dari pasien yang terbaring. Ia hanya terkadang teralihkan kala ombak menghantam kapal kecil yang menjadi transportasi sehari-hari masyarakat di sekitar Pulau Pecong.
Di tengah jalan, tiba-tiba kapal kayu itu menghantam sebuah benda. Nyaris membuat kapal Rahmah terbalik. "Saya kaget, kami menabrak tunggul rumpon nelayan, kalau kapal terbalik, bisa lewat (meninggal) saya (tenggelam)," kata perempuan 38 tahun itu. “Alhamdulillah pasien itu tertolong, kejadian-kejadian seperti itu sering kami alami kalau bertugas di pulau."
Meskipun dihadang bahaya, bagi Rahma bekerja menjadi dokter di kepulauan adalah sebuah pengabdian. Bahkan beberapa kali ia punya peluang pindah dinas ke daerah kota, tetapi ia mengaku sudah nyaman bertugas di antara pulau.
"Sampai sekarang tidak ada rencana (untuk pindah ke kota), sudah nyaman saja disini,” kata dokter jebolan Universitas Yarsi Jakarta itu.
Sebelum diangkat menjadi aparatur sipil negara (ASN), Rahma merupakan putri daerah yang mendapatkan program dokter keluarga Pemerintah Provinsi Kepri.
Kisah Rahmah menyelamatkan seorang pasien tersebut hanya satu dari banyak pengalamannya mengabdi di pulau sejak 2011. Pengalaman tak lainnya, Rahmah pernah menjalani proses persalinan mengandalkan cahaya senter. Sebab, ketika itu Pulau Pecong belum dialiri listrik 24 jam.
"Jadi dulu di pulau kami itu listrik hidup 6 jam, ya kalau ada persalinan lampu sudah mati, terpaksa pakai senter," kata Rahmah.
Sekarang, menurut Rahmah, tidak hanya lampu menyala 24 jam, pelayanan kesehatan antar pulau sudah lebih baik. Warga pulau sudah bisa mendapatkan pelayanan cepat yang disediakan Puskesmas Belakang Padang di pulau-pulau yang berbatasan dengan negara Singapura dan Malaysia itu.
“Sekarang sudah lebih baik, selain sarana dan tenaga medis sudah tersedia, warga pulau juga dapat layanan gratis dari BPJS, jadi itu membantu mereka," kata Rahmah.
Melawan gelombang laut
Rahmah bergegas pergi siang itu selepas wawancara bersama Tempo, Sabtu, 3 November 2024. Ia mengambil pelampung dan mengenakannya sebelum keluar dari kantor Puskesmas Pulau Belakang Padang.
Tak hanya Rahmah, beberapa petugas medis lainnya melakukan hal yang sama, kebanyakan perempuan. Termasuk Kepala Tata Usaha Puskesmas Belakang Padang Aisyah yang sudah mengenakan pelampung berwarna hitam dan siap untuk menyebrang.
"Kami harus segera pulang, mengejar kapal yang lebih besar untuk kembali ke Batam, kalau sudah terlalu sore kapal kecil, saya takut," kata Aisyah yang juga hendak pulang siang itu ke Kota Batam.
Dokter Rahma (pelampung hijau) naik kapal hendak pulang ke Batam usai dinas di Puskesmas Belakang Padang, Kota Batam, Sabtu, 2 November 2024. Foto: Yogi Eka Sahputra
Iklan
Dari Belakang Padang, butuh waktu perjalanan sekitar 30 menit menuju Sekupang Kota Batam, menggunakan kapal pompong.
Bersama penumpang lainnya, para tenaga medis ini setiap hari menerjang ombak pulang dan pergi menjalankan tugas mereka. Tak hanya itu, para dokter termasuk Rahmah harus siap menghadapi gelombang laut kala harus merujuk pasien hendak di bawa ke rumah sakit rujukan di Batam. "Begitulah perjuangan kami kalau di daerah Kepulauan ini," kata Aisyah.
Ancaman gelombang tinggi sangat nyata kepada tenaga medis Belakang Padang. Salah seorang perawat di Pulau Belakang Padang hampir mengalami kecelakaan saat membawa pasien belum lama ini. Cerita-cerita menakutkan di laut seperti itu menjadi perbincangan tenaga medis di Puskesmas Belakang Padang.
Pulau Belakang Padang nampak dari atas. Foto: Yogi Eka Sahputra
Kepada Tempo, Aisyah mengatakan perjuangan tenaga medis di Puskesmas Belakang Padang menghadapi kondisi geografis kepulauan membuahkan hasil dalam indeks kesehatan masyarakat. Mengarungi bahaya laut dan tingginya ombak tak hanya membuat pasien mendapatkan pertolongan, namun ada angin segar untuk masa depan pelayanan kesehatan di pulau-pulau Belakang Padang yang setiap tahunnya mengalami perbaikan.
Saat ditemui di ruangan kerjanya, Aisyah menjelaskan data pelayanan puskesmas Belakang Padang. Ia mengatakan, angka stunting di Belakang Padang turun beberapa tahun belakangan ini. Begitu juga untuk angka kematian ibu melahirkan sudah tidak ada lagi di Belakang Padang.
"Angka jumlah penyakit juga sudah mulai turun, awalnya 20-an sekarang sudah tinggal 11 penyakit yang kita temukan di Belakang Padang," kata Aisyah.
Keberhasilan ini tak lepas dari upaya tenaga medis yang terus mengabdi di daerah pulau terluar perbatasan ini. Menurut Aisyah, butuh rasa pengabdian yang tinggi untuk bisa nyaman berdinas di daerah kepulauan, seperti yang diungkapnya Rahma sebelumnya.
Selain jasa pengabdian para tenaga medis, kata Aisyah, Puskesmas Belakang Padang menjadi perhatian pemerintah pusat dan daerah. Saat ini sudah terdapat dua ambulance, dua sepeda motor puskesmas keliling (pusling), serta sudah ada puskesmas pembantu di beberapa pulau terluar.
"Di puskesmas kita ini juga sudah ada USG, ini salah satu penyebab angka kematian ibu melahirkan menurun, kalau ada USG kita lebih cepat tahu kondisi bayi ibu hamil," kata Aisyah. “Kalau dulu, kami bisa menjalani persalinan di atas kapal,”
Sedangkan untuk tenaga medis, kata Aisyah, Belakang Padang memiliki tujuh dokter. Enam diantaranya merupakan dokter umumdan satu dokter gigi. Selain itu, ada sebanyak 13 orang bidan disebar di berbagai pulau di Belakang Padang.
Proses pengobatan pasien di pulau sudah terintegrasi, para bidan menjadi tempat pasien mengadu ketika sakit. Ketika kondisi pasien tidak membaik, setelah itu baru dibawa menggunakan perahu kecil menuju ke Belakang Padang.
"Kalau di sini juga tidak bisa kita tangani, kita akan rujuk ke Batam menggunakan ambulance laut milik puskesmas, sekarang setiap bulan kita merujuk rata-rata 7 pasien setiap hari yang didampingi dokter ketika dirujuk," kata Aisyah.
Menyadarkan masyarakat pentingnya menjaga kesehatan juga menjadi tugas berat para tenaga medis di kepulauan. Sebab, masih ada masyarakat yang percaya dengan tradisi tradisional.
"Tetapi sekarang sudah tidak begitulah, kalau mereka sakit, sekarang langsung telpon bidan, ini buah dari sosialisasi yang terus tenaga medis lakukan di lapangan," kata Aisyah.
Menurut Aisyah ataupun Rahmah, jumlah dokter tergolong sedikit di Belakang Padang. Mereka berharap, "Semoga kedepan ditambah, terutama diambil dari warga lokal yang sedang menjalankan pendidikan.
Pilihan Editor: Kemenkes Akan Sediakan Skrining Kesehatan Gratis di Hari Ulang Tahun Warga