TEMPO.CO, Jakarta - Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, menyarankan agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak menunda-nunda pembahasan revisi Undang-undang tentang Pemilu. Menurut dia, pembahasan revisi UU Pemilu tersebut berpotensi digunakan untuk kepentingan politik jangka pendek jika dibahas saat momen menjelang dimulainya tahapan Pemilu.
“Kalau revisi UU Pemilu dibahas dua hingga tiga tahun lagi, itu pasti tidak akan penuh ruang fairness dan berpotensi digunakan untuk kepentingan jangka pendek,” kata Feri saat ditemui usai acara diskusi yang diselenggarakan Indonesian Journalist of Law di kawasan Bulungan, Jakarta Selatan, Rabu, 6 November 2024.
Feri mengatakan UU Pemilu sedianya merupakan regulasi yang sangat rentan dipakai untuk mengakali pelaksanaan pemilihan yang demokratis. Hal itu bisa diminimalisir jika pembahasan dilakukan lebih awal. “Publik bisa memberikan perhatian khusus dan mengkritisi setiap pasal yang bermasalah sebelum nantinya diterapkan pada Pemilu 2029,” katanya.
Sebelumnya, Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia mengatakan Rancangan Undang-undang tentang perubahan UU Pemilu akan dimasukkan dalam program legislasi nasional 2024-2029. Dia mengatakan salah satu isu perubahan yakni terkait penerapan sistem pemilu.
Doli mengatakan ada wacana untuk menyatukan UU Pemilu dengan UU Pilkada. Selain itu, dia melanjutkan, sejumlah regulasi yang berkaitan dengan politik dan pemilihan bisa direvisi sekaligus dengan menggunakan metode omnibus law.
“Saya tadi mengusulkan, kita harus mulai berpikir tentang membentuk undang-undang politik dengan metodologi omnibus law, karena itu saling terkait semua,” ujarnya di kompleks gedung DPR, Kamis, 31 Oktober 2024.
Iklan
Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Agustyati mengatakan sistem pemilu saat ini telah diputuskan untuk dilakukan secara serentak berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Namun tujuan untuk menguatkan sistem presidensial, serta melihat dari proses dan hasil pemilu, ternyata belum mencapai apa yang diinginkan.
“Pada Pemilu 2019 kita mengalami kompleksitas yang luar biasa, dan pemilu serentak lima kotak kita ulangi lagi pada Pemilu 2024,” kata Khoirunnisa saat rapat bersama Badan Legislasi DPR, Rabu, 30 Oktober 2024.
Khoirunnisa menyebutkan kompleksitas yang terjadi adalah soal banyaknya surat suara yang tidak sah karena masalah yang dialami oleh pemilih. Pada 2019, kata dia, ada sekitar 17 juta suara yang tidak sah dan pada 2024 ada sekitar 15 juta surat suara yang tidak sah.
Jika nantinya pembahasan revisi UU Pemilu bergulir, dia memprediksi perdebatan yang bakal terjadi adalah soal pemungutan suara dengan sistem terbuka atau tertutup. “Biasanya perdebatan kerasnya pada isu itu saja, padahal menurut kami banyak hal lain yang sebetulnya juga penting untuk ditelusuri kembali,” kata dia.
Khoirunnisa menambahkan revisi UU Pemilu diperlukan karena undang-undang tersebut paling banyak diuji di Mahkamah Konstitusi. Seiringnya pengujian terhadap regulasi tersebut, kata dia, menandakan ada banyak kekurangan yang perlu diperbaiki dari UU yang berlaku saat ini. “Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu telah diuji sebanyak 134 kali sejak disahkan,” ujarnya.