Hari Kesehatan Mental Sedunia, Waspada Kekerasan Seksual di Tempat Kerja

1 month ago 10

Jakarta -

Hari Kesehatan Mental Sedunia atau World Mental Health Day (WMHD) diperingati setiap tanggal 10 Oktober. Peringatan ini dibuat untuk meningkatkan kepedulian terhadap kesehatan mental, Bunda.

Sejak pertama kali dirayakan pada 1992, momentum yang diprakarsai oleh Federasi Kesehatan Mental Dunia ini telah mengangkat berbagai tema. Adapun tema yang diusung pada tahun ini adalah 'Saatnya Memprioritaskan Kesehatan Jiwa di Tempat Kerja'.

Salah satu gangguan kesehatan jiwa di tempat kerja yang kerap terjadi adalah kekerasan berbasis gender, yakni kekerasan seksual.

Bentuk kekerasan seksual di tempat kerja

Berdasarkan data kajian 21 tahun CATAHU, berbagai kasus kekerasan seksual di lingkungan kerja yang dilaporkan ke Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) adalah pencabulan, pelecehan seksual, atau pemerkosaan.

Kekerasan seksual dapat terjadi di banyak lingkungan kerja, mulai dari perusahaan swasta, lembaga pemerintah, lembaga swadaya masyarakat(LSM), hingga di industri hiburan.

Sepanjang tahun 2017-2021, ada 517 pelaku kekerasan seksual yang menjadikan tempat kerja tidak aman bagi perempuan. Mirisnya, sebanyak 326 pelaku merupakan rekan kerja. Sementara itu, 191 pelaku merupakan atasan.

Selanjutnya, ada 20 perusahaan yang secara khusus dilaporkan sebagai unit pelaku karena tidak mau memproses laporan kekerasan seksual oleh pekerja perempuan. Mereka juga dilaporkan karena melakukan proses penanganan yang justru merugikan korban.

Komisioner Komnas Perempuan Retty Ratnawati memaparkan, kekerasan seksual terhadap perempuan di tempat kerja dapat menyebabkan berbagai dampak buruk untuk kesehatan mental.

"Dampak kekerasan berbasis gender terhadap perempuan yang bisa terjadi di tempat kerja tersebut bisa mulai dari cemas, stres ringan sampai berat bahkan mungkin post traumatic stress disorder," papar Retty dalam keterangan rilis yang diterima HaiBunda, Kamis (10/10/2024).

"Sedangkan kekerasan seksual yang dialami korban dapat berdampak pada kondisi kerja yang tidak aman, terhambatnya proses kerja, tekanan psikis dan penurunan produktivitas kerja," imbuhnya.

Sementara itu, Komisioner Komnas Perempuan Theresia Iswarini menilai bahwa kesehatan jiwa di lingkungan kerja harus menjadi perhatian utama dalam penyelenggaraan layanan kesehatan secara menyeluruh. Sebab, hal ini berkaitan dengan kapasitas diri seseorang dalam menjalankan berbagai peran sosial di masyarakat.

"Hal ini karena dampak yang ditimbulkan tidak hanya mempengaruhi kualitas kerja individu tetapi juga kualitas hidup pekerja secara keseluruhan. Bagi pekerja perempuan, dampak tersebut tidak hanya mengarah pada dirinya sendiri tetapi juga pada keluarganya mengingat perempuan, dalam konsep gender, dituntut untuk bertanggung jawab memenuhi kewajiban domestiknya," kata Theresia.

Kurangnya infrastruktur negara

Akan tetapi, infrastruktur terkait kesehatan jiwa masih mengalami tantangan di berbagai wilayah di Indonesia, terutama di daerah kepulauan.

Pada 2022, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan bahwa fasilitas layanan kesehatan jiwa di Indonesia masih belum merata. Hanya sekitar 50 persen dari 10.321 Puskesmas di Indonesia yang mampu memberikan layanan kesehatan jiwa. Selain itu, hanya 40 persen rumah sakit umum menyediakan fasilitas pelayanan jiwa.

Ketersediaan psikiater yang hanya berjumlah 1.053 orang di Indonesia juga belum cukup untuk mengatasi masalah ini. Dengan jumlah tersebut, satu psikiater harus melayani sekitar 250.000 penduduk.

Angka tersebut masih berada jauh di bawah standar Lembaga Kesehatan Dunia (WHO) yang merekomendasikan rasio satu psikiater untuk setiap 30.000 penduduk.

Theresia mengatakan, negara sudah seharusnya menjalankan mandat kebijakan terkait pemulihan korban kekerasan seksual. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang No.12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang menyebutkan bahwa rehabilitasi mental dan sosial merupakan salah satu bentuk pemulihan yang harus diterima oleh korban kekerasan seksual (Pasal 70 ayat 1a).

"Kebutuhan atas infrastruktur dan tenaga layanan kesehatan jiwa ini penting untuk diperhatikan Negara mengingat CEDAW Pasal 13 memandatkan adanya kewajiban Negara Pihak untuk menjamin, atas dasar kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, akses terhadap layanan kesehatan, informasi dan pendidikan yang menyiratkan kewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak perempuan atas layanan kesehatan, termasuk kesehatan jiwa," ucap Theresia.

Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!

(anm/som)

Read Entire Article
Berita Nusantara Berita Informasi Informasi Berita Berita Indonesia Berita Nusantara online Berita Informasi online Informasi Berita online Berita Indonesia online