Jakarta -
Tantangan menjadi orang tua di era sekarang semakin bertambah. Setelah menciutnya span of attention (rentang fokus) terhadap anak-anak, kini masih harus berhadapan dengan kekhawatiran lain.
Di tengah peradaban, kekhawatiran yang timbul akibat makin intensifnya penggunaan artificial intelligence (AI). Di antara harapan hidup sempurna yang ditawarkan AI, muncul juga bayangan kelam masa depan. Kekelaman makin nyata, saat dikaitkan dengan tidak responsifnya dunia pendidikan mempersiapkan semua perubahan yang hadir makin nyata.
Soal span of attention yang menciut akibat tercuri terutama oleh penggunaan perangkat digital, sangat serius dampaknya. Jenifer Oaten, 2024, dalam "Combating Attention Span Crisis, in Our Students", menyebut setidaknya ada dua ancaman yang dapat merugikan kelompok pembelajar.
Pertama, tak terbentuknya kemampuan untuk memberikan perhatian dalam jangka waktu tertentu. Ini sering disebut fokus yang diperlukan agar siswa terlarut dalam informasi pendidikan: memahami, menilai, dan merencanakan penerapannya.
Informasi pendidikan yang membutuhkan fokus dihadirkan bertahap: berbentuk bacaan, penjelasan pengajar, keharusan mendemonstrasikan pemahaman lewat penyelesaian tugas yang relevan. Ketika nihilnya fokus, meniadakan penyerapan informasi jenis ini. Saat dievaluasi, peserta pendidikan dengan fokus rendah hasil ujiannya buruk, kemampuan mengingatnya pendek. Selain itu, mengalami kesulitan menghubungkan ide-ide tunggal, jadi konsep yang terpadu. Seluruh tujuan pendidikan, gagal tercapai.
Hal yang kedua, memicu gangguan kesehatan mental. Perhatian yang mudah beralih akibat distribusi informasi yang massif oleh perangkat digital dapat menyebabkan tingginya stres dan kelelahan kognitif. Proses pembelajaran yang bermuara pada pembentukan keutuhan informasi, tak tercapai. Bertubi-tubinya kehadiran informasi, menyebabkan fokus berlompat-lompatan. Dari satu subyek ke subyek lain. Seluruhnya tanpa telaah yang memadai. Akhirnya memunculkan perasaan: proses belajar tak berujung. Alih-alih terbangun pemahaman baru, kelelahan kognitif yang justru dipanen. Tampilan gangguan kesehatan mental ini, berupa kecemasan, depresi, dan kelelahan. Otak dipicu terus-menerus memproses informasi.
Sedangkan soal intensifnya pemanfaatan AI, sebagiannya bukan ancaman. Di dunia pendidikan, AI tersimulasi mampu mengoptimalkan pencapaian. Lewat pemanfaatan AI, orientasi belajar siswa dapat terbaca polanya. Ini memudahkan rencana pola ajar yang tepat. Disusun berbasis keunikan masing-masing siswa. Begitu pula dengan para pengajar dapat menyediakan bahan ajarnya lebih menarik, murah dan cepat.
Sesederhana mengetikkan prompt pada AI generatif, misalnya: "uraikan proses kepunahan dinosaurus". Penjelasan tentang tema ini segera diperoleh. Diikuti dengan prompt berikutnya: "susunlah visualisasi yang menggambarkan proses kepunahan itu". Dalam hitungan detik, visualisasi yang dikehendaki, muncul. Transformasi informasi pendidikan berlangsung mudah, murah, tepat, dan menyenangkan.
Jikapun AI jadi ancaman, sebagian sumbangannya disebabkan oleh berubah totalnya jenis pekerjaan akibat kehadiran perangkat otamatis ini. Paradigma pendidikan di sebagian besar negara yang bermuara pada penyediaan tenaga kerja, berhadapan dengan perubahan totalnya jenis tenaga kerja yang dibutuhkan. McKinsey Global Institut, sejak tahun 2017 pun, lewat "Jobs Lost, Jobs Gained: Workforce Transitions in A Time of Automation" telah membaca perubahan itu.
Teknologi otomasi, termasuk AI dan robotika, di satu sisi menghasilkan manfaat yang sangat berarti bagi penggunanya. Meliputi efisiennya mekanisme kerja, yang mendorong naiknya pertumbuhan ekonomi. Namun seluruhnya diikuti penggantian pekerja oleh teknologi. Penggantiannya bergantung pada kecepatan pengembangan teknologi, beserta adopsinya. Diikuti adanya penurunan permintaan, beberapa jenis pekerjaan. Otomatisasi mengubah hingga 60 persen jenis pekerjaan atau sedikitnya 30 persen terjadi segera. Walaupun muncul berbagai jenis pekerjaan baru, tetapi menuntut orang-orang menemukan jalannya sendiri, untuk memperoleh pekerjaan baru itu.
Sedangkan pada laporan lain, di tahun yang sama, "Jobs Lost, Jobs Gained: What the Future of Work Will Mean for Jobs, Skills, and Wages" McKinsey menyebut: pada tahun 2030, antara 400 hingga 800 juta orang dapat tergusur oleh otomatisasi. Perlu dicari pekerjaan baru. Pekerjaan baru akan tersedia, berdasarkan skenario di masa mendatang, juga berdasar dampak otomatisasi. Akan muncul 75 juta hingga 375 juta orang terlantar. Seluruhnya mempersyaratkan peralihan kategori pekerjaan seraya mempelajari keterampilan baru.
Pada laporan itu yang direvisi di tahun 2024, lembaga ini menyebut: permintaan pekerja berketerampilan tinggi untuk bidang perawatan kesehatan maupun Science, Technology, Engineering & Mathematics (STEM) akan meningkat. Sebaliknya permintaan pada pekerjaan terkategori klerikal: staf kantor, pekerja produksi, dan layanan pelanggan, jauh berkurang. Otomatisasi berbasis AI generatif mendalangi peningkatannya. Seluruhnya menyebabkan 12 juta pekerja di Eropa maupun Amerika Serikat, harus berganti pekerjaan. Perlu dukungan dan peningkatan keterampilan agar dapat bersaing di pasar yang baru.
Ilustrasi AI/Foto: iStock
Dari seluruh intepretasi laporan di atas, putra-putri yang ada dalam aktivitas pendidikan hari ini, merupakan Gen-Z dan Gen- Alpha, ini artinya berada dalam rentang usia 14-27 tahun. Maka di tahun 2030, akan berusia 20-33 tahun. Rentang usia yang benar-benar berada dalam situasi persaingan sengit, memperebutkan lapangan pekerjaan. Memadaikah persiapan yang diberikan dunia pendidikan maupun pengasuhan, menghadapi drastisnya perubahan 6 tahun mendatang? Apa yang harusnya disiapkan para orang tua?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, ada perlunya memperoleh gambaran besar, saat AI makin tak terpisahkan dari peradaban. Masa itu oleh Johann Hari, 2022, dalam "Stolen Focus", disebut sebagai: "meningkatnya nilai mesin dan menurunnya nilai manusia". Dalam sebuah kalimat ilustratif, seluruhnya dapat diformulasi: sebuah kondisi yang muncul oleh terintegrasinya informasi, terberdayakannya data, dan penggunaaan hasilnya untuk pengambilan keputusan. Tentu saja di sini, terminologi pengambilan keputusan bukan sebatas konteks dunia kerja. Namun pada kehidupan sehari-hari yang lebih luas.
Konkritnya saat bangun tidur, selepas ritual rutin ke kamar mandi seseorang harus memutuskan: sarapan pagi apa yang hendak disantapnya. Dimulai dengan sajian kopi, kopinya Latte, Cappucino atau Americano? Makanannya salad, buah atau sayur? Atau boleh Nasi Gudeg lengkap dengan telurnya? Keputusan itu disusun berdasar "buangan" yang telah dianalisa perangkat toilet bersensor. Darinya akan terbaca kandungan gula darah, kolesterol, asam urat. Selain itu, detak jantung dan maupun tekanan darahnya, saat kaki menginjak pijakan toilet. Keadaan faal tubuh yang telah dibaca machine learning itu, terkirim ke perangkat dapur yang diperintahkan untuk menyiapkan sarapan.
Manakala untuk menyajikan sarapan, sensor lemari penyimpanan membaca: "persediaan bahan tak mencukupi" akan dilakukan pemesanan oleh lemari penyimpanan kepada marketplace sayur dan bahan makanan. Tentu saja, semuanya dapat terlaksana setelah lemari penyimpanan melakukan pembayaran, menggunakan aplikasi dompet digital.
Keadaan yang sering disebut sebagai internet of things (IoT) sangat minim melibatkan peran manusia. Hal itu meliputi terintegrasinya informasi, terberdayakannya data, dan munculnya hasil, yang dapat digunakan untuk pengambilan keputusan. Perangkat otomatisasi mengambil alih seluruhnya. Kecuali pada giliran, menikmati hasilnya. Pendidikan dan pengasuhan macam apa yang diperlukan dalam keadaan ilustratif, seperti itu?
Esme Addison, 2018 dalam "Future Parenting: Preparing Your Kids for A World of AI", menekankan pentingnya tanggung jawab saat menggunakan AI. Tanggung jawab bahwa setiap penggunaan perangkat berbasis AI, menghasilkan jejak digital. Ini dapat merugikannya, juga merugikan orang lain. Selain itu setiap anak memiliki kekuatan untuk membangun masa depannya. Juga dengan memanfaatkan AI. Karenanya penggunaan AI yang etis, merupakan kemutlakan.
Selain itu, pada salah satu penggunaan khususnya AI generatif, operasinya menuntut kemampuan mengartikulasikan ide, gagasan maupun konsep menjadi bahasa. Tujuan yang hendak dicapai melalui AI, harus dibahasakan sebagai prompt. Untuk keperluan ini penguasaan pembahasaan hingga tingkat yang kompleks sangat diperlukan. Ini mengantar pada tercapainya tujuan, penggunaan AI. AI tak mampu menghasilkan produk, tanpa data yang pernah dipelajarinya. Maka input data dalam bahasa yang tepat, memberi kekuatan AI memenuhi tujuan penggunaannya.
Tak cukup membahasakan dalam dalam prompt "susunkan resep makanan yang enak". Sebab dalam realitasnya "enaknya nasi goreng" akan berbeda dengan "enaknya gudeg Jogja". Diferensiasi enak itu, dibahasakan dengan tepat seperti apa? Demikian juga merdu. Merdunya suara Raisa, harus punya bahasa yang beda dari merdunya suara Yura Yunita. Sebab jika dibahasakan sebatas merdunya suara perempuan penyanyi, hasil yang diberikan AI tak memuncak.
Pada hal-hal macam inilah pendidikan dan pengasuhan dirancang; span of attention yang dipulihkan dan kemampuan pembahasaan yang rigid. Kecuali jika AI nya boleh tak akurat. Tidak begitu kan?
Penulis:
Firman Kurniawan S. Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital. Pendiri LITEROS.org.
(Firman Kurniawan S/fir)